Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Meriam Bambu di Flores Menyambut Kelahiran Yesus Kristus

Kompas.com - 21/12/2014, 12:31 WIB
Kontributor Manggarai, Markus Makur

Penulis

MEMASUKI bulan Desember, warga Flores, Nusa Tenggara Timur mulai menyiapkan berbagai tradisi dalam menyambut Kelahiran Yesus Kristus. Pembuatan kandang Natal bernuansa Kandang Betlehem berjejer di Jalan Transflores Labuan Bajo-Maumere. Juga di kota-kota membangun kandang Natal. Di Paroki Santo Arnoldus dan Yosep Waelengga, setiap komunitas basis membuat kandang Natal dinilai oleh tim pastoral.

Di Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, NTT, sementara berteduh saat hujan mengguyur, tiba-tiba terdengar suara dentuman. Suara itu awalnya terdengar hanya sekali, tiba-tiba terdengar bertubi-tubi. Ternyata anak-anak muda dan orangtua memainkan tradisi meriam bambu. Hampir seluruh warga di Pulau Flores memiliki kesamaan dalam menyambut Kelahiran Isa Almasih, yakni menyuarakan meriam bambu di kampung-kampung.

Suasana menjadi panik. "Ada perang ko?" tanya seorang bapak yang berteduh di salah satu kios di Kelurahan Karot. Karena tidak ada yang menjawab, bapak tua tersebut, gelisah, lalu nekat mengendarai kendaraan ke arah pusat Kota Ruteng, meskipun hujan belum berhenti.

Di tengah hujan gerimis, bunyi ledakan dan tembakan itu semakin keras. Suasana tiba-tiba berubah menjadi sepi, sunyi. Terdengar jelas suara teriakan dan hura-hura warga, menyusul ledakan bertubi-tubi di udara, dilanjutkan dengan suara meriam yang keras, membuat suasana kembali mencekam.

Suara ledakan dan tembakan itu tetap terdengar sampai hujan berhenti pukul 20.27. Setelah hujan berhenti, banyak anak-anak  yang turun ke jalanan, berlari menghampiri suara ledakan dan tembakan tersebut. Bapak Teo yang panik, segera menghidupkan motornya dan pergi tergesa-gesa karena panik dan takut dengan suasana tersebut.

Anak-anak dan orang tua masing-masing yang berkerumun di jalan saling bertanya, dari mana suara itu. Setelah beberapa menit tiba-tiba suara ledakan terdengar, semua warga menengadah ke atas, dan cahaya warna-warni terlihat jelas di langit. "Wow keren!" sahut Rio, anak kelas 3 SDK Karot, ketika menyaksikan kembang api warna-warni tersebut.

"Itu kembang apinya," ujar Nanik sambil menunjuk ke arah cahaya dan warna-warni.

Namun aneh, begitu suara kembang apinya hilang, suara tembakan masih terdengar. "Ramai suara meriam bambu," sahut Dami, pemuda karot ketika mendengar suara seperti bunyi tembakan itu.

"Meriam? Memang ada meriam di sini?" tanya pak Ahmad yang berlibur ke Ruteng.

"Meriam bambu Pak!" ujar Dami menanggapi pertanyaan pak Ahmad.

Sementara menyaksikan kembang api atau petasan, tiba-tiba hujan turun, semua berlari berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Lalu anak-anak bahu membahu memikul bambu, ada yang membawa botol berisi minyak tanah, ada yang membawa kain dan kayu. Kemudian mereka meletakkan bambu tersebut, bagian depannya di alas dengan batu sehingga lebih tinggi dari bagian belakang.

Tono, segera memerintahkan Mikael untuk memasukkan minyak tanah di dalam bambu tersebut melalui lubang yang sudah dipahat rapi dengan ukuran yang sangat kecil. Setelah memasukkan minyak tanah, Tono lalu memberikan abu dapur ke Miko untuk memasukkan ke dalam lubang tersebut. "Cepat masukkan lalu nyalakan api," kata Tono.

Setelah semua dimasukkan, maka Tono memberi isyarat agar segera memasukkan api ke dalam lubang tersebut. Tanpa basa-basi, Miko lalu menyudutkan ke dalam lubang bambu tersebut, api pun menyala di dalam lubang bambu tersebut, asap keluar melalui dua lubang, lubang yang kecil, dan lubang bagian depan bambu tersebut yang sudah dipotong.

Miko sesekali meniup, sampai asap mengepul keluar dari dalam bambu tersebut. Setelah sepuluh menit, dan bambu mulai panas, Tono dan Miko mulai beraksi, Tono meniup sampai asap di dalam bambu tersebut keluar, kemudian Miko menyudutkan api melalui lubang kecil, suara keras seperti tembakan pun terdengar. Blarr!!

Belasius Nalur, tokoh adat Flores menjelaskan bahwa bunyi meriam hanya pada bulan Desember. Semua orang memahami kalau bulan Desember adalah bulannya meriam bambu. Namun, lanjut Belasius, dari perspektif budaya Manggarai dan Flores, meriam bambu menandakan bahwa ada orang yang meninggal dunia. Dikampung-kampung masih berlaku, hal ini disebabkan karena jarak antar-kampung sangat jauh dan medannya sangat berat.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com