Permukiman nelayan pada Sabtu (13/12/2014) siang yang sangat terik itu tampak sepi. Para lelaki sedang berburu ikan di laut. Hanya para perempuan, anak-anak, dan orangtua tampak bercengkerama di halaman rumah.
Beberapa keluarga, seperti Ahmad Yani (41) dan teman-temannya, hari itu memilih tak melaut. Mereka menunggu rombongan wartawan yang diajak The Nature Conservancy dan Yayasan Penyu Berau melihat pengelolaan Taman Pesisir Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Di tengah ketenangan Kampung Payung-payung, Ahmad Yani mengungkap bara kegelisahan warga. Warga gelisah karena rumah yang mereka huni turun-temurun itu kini terjepit lahan yang dikuasai pemodal.
Masyarakat setempat yang menggantungkan hidup dari berburu ikan di laut mulai khawatir terhadap masifnya pengembangan infrastruktur wisata Derawan. Kampung itu berada di Pulau Maratua, bagian dari Taman Pesisir Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, di Kalimantan Timur.
Di pulau terluar Indonesia yang memiliki empat kampung itu, lahan-lahan kosong warga tak luput disasar investor. Rumah warga pun tak luput dari incaran investor dengan iming-iming uang relatif besar bagi nelayan setempat yang hidup sederhana.
Awal kegelisahan
Masifnya ekspansi lahan investasi di Maratua berlangsung sejak dua tahun lalu. Tepatnya sejak pemerintah berencana membangun lapangan terbang. Kini, proyek itu terus berlangsung dan mengenai sebagian permukiman yang dihuni 140 keluarga.
Lapangan terbang dimaksudkan memudahkan akses wisatawan menikmati Taman Pesisir Kepulauan Derawan yang menawarkan berbagai atraksi wisata alam bahari nan unik. Itulah yang mendongkrak minat para investor membangun resor.
Bayangkan, turun dari pesawat, lalu bergegas menuju resor terdekat sebelum menikmati hamparan pasir putih di Pulau Maratua, lengkap dengan perairan yang sangat bening. Jelas itu jauh lebih efisien dan murah dibandingkan kondisi kini yang harus menyeberang dengan menyewa kapal cepat dari Tanjung Batu ataupun Tarakan.
Namun, perencanaan pembangunan infrastruktur itu dirasakan tak memperhitungkan nasib warga. Mereka seperti tak terlindung dari perburuan lahan oleh para investor dari Jakarta, Balikpapan, bahkan luar negeri.
”Saya ditawari Rp 150.000 per meter persegi. Saya tidak mau karena nanti mau tinggal di mana. Saya hanya bisa melaut, tak bisa pekerjaan lain,” katanya. Sementara lahan di luar pemukiman umumnya dihargai Rp 35.000-Rp 50.000 per meter.
Selain Nelson, ada Ahmad Yani yang masih bertahan dari bujuk rayu investor. Namun, entah sampai kapan mereka bisa bertahan. Godaan uang ratusan juta rupiah terus membayangi para pemilik lahan.
Namun, berkaca dari pengalaman pembangunan infrastruktur wisata di Maratua dan Kepulauan Derawan pada umumnya, investor tak hanya membangun cottage, resor, dan vila di tepi pantai. Investor juga membangun penginapan dan restoran menjorok ke tengah laut hingga ratusan meter.