Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keindahan Sekaligus Kegelisahan di Maratua

Kompas.com - 29/12/2014, 17:52 WIB
HAMPARAN perairan sebening kaca berpasir putih adalah halaman depan permukiman Kampung Payung-payung di Kecamatan Maratua, Kepulauan Derawan. Dermaga kayu sepanjang 200 meter tempat kapal-kapal bersandar menunjukkan kontur landai perairan.

Permukiman nelayan pada Sabtu (13/12/2014) siang yang sangat terik itu tampak sepi. Para lelaki sedang berburu ikan di laut. Hanya para perempuan, anak-anak, dan orangtua tampak bercengkerama di halaman rumah.

Beberapa keluarga, seperti Ahmad Yani (41) dan teman-temannya, hari itu memilih tak melaut. Mereka menunggu rombongan wartawan yang diajak The Nature Conservancy dan Yayasan Penyu Berau melihat pengelolaan Taman Pesisir Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Di tengah ketenangan Kampung Payung-payung, Ahmad Yani mengungkap bara kegelisahan warga. Warga gelisah karena rumah yang mereka huni turun-temurun itu kini terjepit lahan yang dikuasai pemodal.

Masyarakat setempat yang menggantungkan hidup dari berburu ikan di laut mulai khawatir terhadap masifnya pengembangan infrastruktur wisata Derawan. Kampung itu berada di Pulau Maratua, bagian dari Taman Pesisir Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, di Kalimantan Timur.

Di pulau terluar Indonesia yang memiliki empat kampung itu, lahan-lahan kosong warga tak luput disasar investor. Rumah warga pun tak luput dari incaran investor dengan iming-iming uang relatif besar bagi nelayan setempat yang hidup sederhana.

Awal kegelisahan

Masifnya ekspansi lahan investasi di Maratua berlangsung sejak dua tahun lalu. Tepatnya sejak pemerintah berencana membangun lapangan terbang. Kini, proyek itu terus berlangsung dan mengenai sebagian permukiman yang dihuni 140 keluarga.

Lapangan terbang dimaksudkan memudahkan akses wisatawan menikmati Taman Pesisir Kepulauan Derawan yang menawarkan berbagai atraksi wisata alam bahari nan unik. Itulah yang mendongkrak minat para investor membangun resor.

Bayangkan, turun dari pesawat, lalu bergegas menuju resor terdekat sebelum menikmati hamparan pasir putih di Pulau Maratua, lengkap dengan perairan yang sangat bening. Jelas itu jauh lebih efisien dan murah dibandingkan kondisi kini yang harus menyeberang dengan menyewa kapal cepat dari Tanjung Batu ataupun Tarakan.

Namun, perencanaan pembangunan infrastruktur itu dirasakan tak memperhitungkan nasib warga. Mereka seperti tak terlindung dari perburuan lahan oleh para investor dari Jakarta, Balikpapan, bahkan luar negeri.

KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA Wisatawan menyelam di perairan Pulau Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Sabtu (6/12/2014). Kepulauan Derawan, dengan pulau utama Derawan, Sangalaki, Maratua, dan Kakaban, menyimpan keindahan bawah laut yang memesona.
Ada warga yang terlena melepas tanah untuk hidup konsumtif. Ada pula yang bertahan, tetapi dibayang-bayangi kekhawatiran. Nelson (40), warga Payung-payung, beberapa bulan lalu dibujuk agar melepas rumah dan tanahnya.

”Saya ditawari Rp 150.000 per meter persegi. Saya tidak mau karena nanti mau tinggal di mana. Saya hanya bisa melaut, tak bisa pekerjaan lain,” katanya. Sementara lahan di luar pemukiman umumnya dihargai Rp 35.000-Rp 50.000 per meter.

Selain Nelson, ada Ahmad Yani yang masih bertahan dari bujuk rayu investor. Namun, entah sampai kapan mereka bisa bertahan. Godaan uang ratusan juta rupiah terus membayangi para pemilik lahan.

Namun, berkaca dari pengalaman pembangunan infrastruktur wisata di Maratua dan Kepulauan Derawan pada umumnya, investor tak hanya membangun cottage, resor, dan vila di tepi pantai. Investor juga membangun penginapan dan restoran menjorok ke tengah laut hingga ratusan meter.

Akibatnya, tak jarang pengelola melarang nelayan lokal berburu ikan dan menambatkan perahu di sekitar resor. Alasannya, demi kebersihan dan keamanan wisatawan.

”Kami memancing di sekitar resor selalu diusir dan dibilang pencuri ikan. Kalau begini caranya, habis nanti orang Payung-payung karena mau tak mau dijual juga tanah dan rumahnya. Itu karena tak bisa melaut lagi,” ungkapnya.

Padahal, secara turun-temurun nelayan setempat hanya mampu memancing di perairan depan kampung saat cuaca tidak bersahabat. Selain itu, ikan-ikan karang yang biasa ditangkap nelayan hidup di ekosistem terumbu karang setempat.

Tercerabut dari tempat hidupnya menjadi ancaman di depan mata. Mereka ada di posisi lemah dan tanpa pendampingan. Solusi memindahkan nelayan yang telah turun-temurun tinggal di sana tanpa diskusi dan analisis sosial jelas tak bijak.

Apalagi, mereka berada di pulau terluar Indonesia. Sebenarnya, mereka adalah benteng dan informan penting bagi negara ini. Setiap waktu, nelayan-nelayan asing juga mencari ikan di kawasan tersebut.

Kebijakan pemerintah

Di tengah kondisi itu, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad memastikan, pemerintah wajib mengevaluasi jika penguasaan lahan mencederai keadilan masyarakat lokal. Apalagi, kepemilikan lahan untuk usaha ”hanya” akan berstatus hak guna usaha yang masih dalam kewenangan pemerintah.

”Pemerintah merupakan kolaborasi bersama pusat dan daerah,” kata Sudirman, yang dihubungi dari Derawan, Minggu (14/12/2014).

KOMPAS/AMIR SODIKIN Keindahan pantai di Pulau Maratua yang masuk dalam gugusan Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau Kalimantan Timur tak diragukan lagi, tetapi justru pengusaha Malaysia yang lebih tertarik menggarap paket wisata di pulau ini. Biasanya wisatawan yang datang ke Kepulauan Derawan justru mendapat informasi dari Malaysia, bukan dari Indonesia.
Ia mengatakan, pengelolaan dan kepemilikan lahan di pulau kecil terluar telah dibicarakan KKP dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang. Pertemuan itu menginisiasi penyusunan rencana induk pulau-pulau kecil terluar.

Mekanismenya, kepemilikan pulau kecil terluar berpenghuni diprioritaskan bagi masyarakat setempat yang tinggal turun-temurun. Penguatan kepemilikan dilakukan dengan sertifikasi kepemilikan kepada warga setempat.

”Jadi, kalau ada investasi masuk, lahan tetap milik warga. Terserah bentuk kerja samanya sewa lahan atau berbagi kepemilikan usaha,” ujarnya. Adapun status pulau kecil terluar yang bernilai ekonomi dimiliki KKP, sedangkan yang masuk kategori pulau strategis dimiliki Kementerian Pertahanan.

Waktu terus berlalu, masyarakat di Pulau Maratua dan pulau-pulau terluar lain masih terus berjibaku tanpa pendampingan cukup menghadapi kekuatan modal. Investasi yang seharusnya mendongkrak kesejahteraan warga kali ini justru menjadi sosok besar yang menakutkan. (ICHWAN SUSANTO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com