Perayaan Natal bagi yang merayakan, mulai dari mempersiapkan dekorasi pohon cemara dan tentunya kado bagi keluarga. Merancang menu yang akan dihidangkan di hari Natal, hingga tibanya hari perayaan tersebut bersama keluarga. Saya dan keluarga memang tak merayakan hari Natal. Tapi dari sisi keluarga suami, sebagai tanda hormat kepada mereka, setiap tahunnya, tradisi berkumpul di hari Natal untuk menikmati santapan di kediaman mertua, sudah menjadi agenda tetap kami.
Desember datang di kota saya tinggal Montpellier, tentu saja dengan diiringi gemerlap hiasan Natal. Dari mulai jalanan, bangunan, pertokoan hingga perumahan semuanya berdandan cantik. Ada juga yang mendekorasi dengan boneka sinterklas sedang memanjat. Bila dilihat sekilas memang kelihatannya seperti seorang dengan pakaian sinterklas sedang mencoba menaiki kediaman seseorang lewat teras rumah.
Tahun ini ada kejutan seru di kota Montpellier tempat saya tinggal. Alun-alun kota biasanya didekorasi dengan pohon cemara raksasa. Tapi kali ini sebuah bola dunia raksasa yang menyedot tidak hanya penduduk setempat namun juga wisatawan yang liburan di kota ini.
Tapi satu hal yang membuat saya dan teman-teman Indonesia tergelitik adalah ketika kami bersama-sama mendatanginya, banyak sekali pulau-pulau Indonesia yang tak muncul. Hal ini membuat protes tapi akhirnya menjadikan kami tersenyum karena bagi kami, Indonesia begitu luas, besar dan kaya akan pulau, tentunya membuat yang membuat bola dunia raksasa ini bisa kehabisan tempat jika hanya menaruh seluruh kepulauan Indonesia secara lengkap.
Meskipun tak lengkap, namun bola dunia ini bisa membuat kami para warga Indonesia sedikitnya merasa senang, menatap Indonesia ada di tengah alun-alun kota yang kami tinggali, Montpellier.
Pasar natal yang selalu ada selama satu bulan juga menambah keramaian. Berbagai produk yang ditawarkan dari para penjual yang menyewa kios berbentuk rumah kayu gunung. Meskipun sudah bertahun-tahun menjadi agenda tetap di beberapa kota termasuk di kota saya tinggal, tetap saja, cuci mata atau membeli jajanan yang gurih tak pernah bosan dilakukan.
Tiga wanita dipilih untuk menyampaikan bahan sesuai dengan pengalaman dan bidangnya. Saya dipercaya untuk menyampaikan dari sisi seorang ibu yang mendidik kedua anak saya, dari sudut dua budaya.
Seorang pembicara wanita Perancis yang juga dosen, menyampaikan lebih dari sudut pandang teori dan hukum. Saat ia menyampaikan sejarah singkat tentang perkembangan kemajuan wanita dalam berkarir di Perancis, di sinilah, sebagai wanita Indonesia ada sedikit rasa bangga. Pasalnya, saat wanita Indonesia sudah memperingati Hari Perempuan pada tahun 1928, yang sepuluh tahun kemudian menjadi Hari Ibu, dan pada saat Indonesia merdeka dalam deklarasi mencetuskan negara wajib melindungi seluruh bangsa tanpa adanya perbedaan antara wanita dan pria, di Perancis pengakuan hak wanita rupanya masih menjadi bahan politik yang kerap diperdebatan.
Adanya perbedaan gaji antara wanita dengan pria hingga saat ini, baru pada tahun 1944 wanita mendapatkan hak memilih untuk pemilu dan baru pada 1965 wanita bisa memiliki pekerjaan tanpa harus memiliki izin resmi dari suami. Tentu saja untuk negara yang terkenal sebagai negara demokrasi dengan simbol liberté égalité fraternité membuat saya sedikit terkejut.
Barulah saya sadar, ketika diskusi antara sesama masyarakat Indonesia di KJRI itu berlangsung, rupanya, kami para wanita yang bermukim di luar negeri ini secara tak sadar memegang peranan dalam membangun karakter anak-anak kami kepada dua bangsa yang mengalir di darah mereka. Dan rupanya hal itu merupakan sebuah pilihan. Pilihan yang sangat sulit dan memerlukan banyak sekali perjuangan khususnya dalam kesabaran dan disiplin, bukan hanya kepada anak-anak kami, namun bagi diri kita sendiri, sebagai seorang ibu.
Bila saya merasa beruntung karena dua budaya ini bisa secara laras saya perkenalkan kepada keturunan kami, karena mungkin suami mengenal dengan baik bahasa dan budaya istrinya, dan karena melihat sisi suami itulah maka saya pun merasa ringan dalam menerima budayanya, dan lapang dada untuk memilah budaya tersebut agar bisa menemukan keserasian dengan tradisi yang sudah saya anut sejak kecil.
Dari diskusi inilah justru saya semakin merasa simpati dengan para wanita Indonesia yang selama bertahun-tahun hidup di perantauan, namun masih tetap bisa memperkenalkan budaya dan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya dengan keserasian. Mungkin memang kata yang cocok, bagi kami para perantau adalah, "Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung."
Usai diskusi, kami warga Indonesia masih dihibur oleh wadah Indonesia di Marseille, yaitu pesta akhir tahun. Tentu saja karena di bulan Desember berkaitan erat dengan Natal, maka pesta akhir tahun diwarnai dengan gempita perayaan Natal dan bisa ditebak, kedatangan Sinterklas bagi anak-anak yang membagikan kado adalah hal yang membuat pesta semakin semarak.
Di akhir tahun ini, kepada pembaca Surat dari Perancis, saya ucapkan Selamat Tahun Baru 2015. Insya Allah kita akan segera bertemu dengan catatan saya terbaru. (DINI KUSMANA MASSABUAU)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.