Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenangan di Pulau Biawak

Kompas.com - 17/01/2015, 12:09 WIB
MATAHARI baru bangun dari tidurnya ketika rombongan wartawan, agen perjalanan, dan staf Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat tiba di Pantai Tirtamaya, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, pertengahan tahun lalu. Umar Budi Karyadi (57) menyambut kedatangan kami di sana. Ia yang memandu kami menuju Pulau Biawak, sekitar 40 mil (sekitar 74 kilometer) dari daratan Indramayu.

Tidak dinyana, pertemuan pagi itu adalah yang terakhir kali dengan Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, Olahraga, dan Kebudayaan Kabupaten Indramayu tersebut. Pada 27 November 2014 silam, Umar meninggal dunia, saat tertidur di atas perahu yang mengantarkannya ke Pulau Biawak. Saat itu ia hendak menemani rombongan wartawan televisi swasta untuk mendokumentasikan Pulau Biawak.

”Sayang sekali kalau pulau ini dieksploitasi untuk keperluan pariwisata semata. Harus ada kepentingan konservasi yang juga dijaga, utamanya untuk pelestarian satwa yang hidup alami di sini. Saya berharap di pulau ini tidak dibangun banyak gedung untuk tempat makan atau penginapan. Nanti banyak sampah. Biarkan alami begini saja. Kalau mau dikembangkan sebaiknya untuk wisata minat khusus,” kata Umar kala itu.

Laut sedang surut. Rombongan harus menunggu tiga jam di Pantai Tirtamaya sampai air pasang, supaya kapal cepat (speedboat) tidak karam dan bisa dibawa menuju dermaga. Kapal dinakhodai Ibu Karniyah (43), asal Desa Singaraja, Indramayu.

”Naik speedboat, perjalanan ditempuh sekitar 1,5 jam sampai dua jam. Naik perahu nelayan empat jam sampai enam jam, tergantung dari kondisi gelombang dan cuaca,” tutur Umar.

Tidak tertata

Dua biawak menyambut di dekat gapura di depan dermaga pulau. Di dalam pulau seluas 120 hektar (ha) itu, lebih banyak lagi biawak berkeliaran. Bau anyir menguar dari tubuh biawak yang ukurannya ada yang sampai satu meter itu. Pawang membawakan ember penuh ikan untuk diberikan pada biawak-biawak itu

Kendati merupakan satwa asli pulau tersebut, belum ada catatan atau informasi yang lengkap tentang biawak yang tinggal di pulau itu, misalnya tentang jenis, jumlah, dan asal-mulanya.

Satu rumah panggung dari kayu yang dibangun Kementerian Perhubungan tahun 2006, kini terbengkalai. Rumah itu pernah dijadikan pusat informasi Pulau Biawak. Kini, bagian bawah rumah panggung itu menjadi tempat sembunyi biawak, sementara bangunan kosong-melompong menyisakan debu dan perabotan rusak.

Sherly Fernandes (33), penyelam Indramayu yang juga pemandu wisatawan, menyebutkan, umumnya turis-turis puas dengan keindahan bawah laut perairan Pulau Biawak. Keindahan bawah laut pulau itu, dinilai tak kalah, misalnya dengan Kepulauan Seribu di DKI Jakarta. Sayang, Pulau Biawak belum dikelola baik.

Bermacam-macam ikan hidup di perairan Pulau Biawak, antara lain nemo (parrot fish), butterfly fish, kerapu, kakap merah, tenggiri, barakuda besar, dan banyak jenis ikan lainnya. Sherly tidak tahu persis namanya. Disporabudpar Kabupaten Indramayu pun mengaku tak memiliki data-data penting itu.

”Dulu pernah ada penelitian dari Unpad (Universitas Padjadjaran) dan ITB (Institut Teknologi Bandung). Nama-nama ikan dan satwa lainnya dicatat detail, tapi entah ke mana catatan itu. Dulu, pusat informasi menyimpan data itu,” katanya.

Di tengah minimnya fasilitas, Pulau Biawak dengan alamnya yang menantang masih menarik. Ratusan orang datang untuk menyelam dan snorkeling saat cuaca baik dan musim liburan. Kunjungan paling ramai adalah pada April-Juni. Bulan-bulan lain, Juli-September, terlalu riskan bagi nelayan yang mengantarkan mereka, karena angin barat yang ombaknya tinggi dan berangin kencang. Pada Desember-Maret, perjalanan ke pulau ini juga terganggu hujan deras dan gelombang tinggi.

Bagi turis yang ingin menginap, mereka ditempatkan di lima rumah, yang sebenarnya adalah tempat istirahat penjaga mercusuar. Lantaran kian banyak turis datang, 10 kamar di rumah-rumah itu akhirnya disewakan.

”Untuk diving (menyelam), per orang tarifnya Rp 1,8 juta. Itu sudah termasuk biaya sewa perahu, makan, dan menginap di sini semalam (biasanya Sabtu-Minggu). Kalau snorkeling, biayanya Rp 450.000 per orang. Wisatawan yang mau berlibur ke sini, sebaiknya dalam kelompok kecil saja, misal 5-10 orang,” ungkap Sherly.

Pembenahan

Mercusuar yang dibangun Belanda di pulau itu tahun 1872 hingga kini masih dioperasikan. Hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi upaya pengembangan pariwisata di Pulau Biawak.

”Kapal-kapal akan bingung kalau terlalu banyak lampu, sebab lampu mercusuar terkalahkan oleh nyala lampu lain,” kata Subur Sudirman (57), salah satu penjaga mercusuar di Pulau Biawak. Ada dua penjaga mercusuar di pulau tersebut.

Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Jabar sadar akan banyak hal harus dibenahi di pulau yang bernama asli Pulau Rakit ini. Sedikit di antaranya adalah kondisi dermaga, ketersediaan kapal, fasilitas menyelam-snorke ling, penginapan, dan tempat makan wisatawan.

”Ke depan, di sini dapat dibangun camping ground, lapangan outbound, dan wisma-wisma panggung dari bambu atau kayu. Tahun 2014, kami menganggarkan Rp 1,6 miliar dari APBD provinsi dan kabupaten untuk pengembangan sarana-sarana itu,” kata Yulianingsih Yusuf, Kepala Seksi Promosi Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat.

Para agen perjalanan melihat potensi terbesar pulau itu ialah untuk wisatawan minat khusus. ”Melihat segala fasilitas yang ada, pulau ini cukup berat bagi wisatawan umum yang sekadar ingin melihat pemandangan bagus dan liburan santai. Mereka yang datang ke pulau ini harus yang suka tantangan dan mau menghadapi medan berat,” ungkap Nursiana Esther, agen perjalanan wisata Salvindo Tour, Bandung. (Rini Kustiasih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com