Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menapaki Sejarah Korea Selatan

Kompas.com - 21/01/2015, 15:47 WIB
SEOUL di bulan Desember 2014. Meskipun langit mendung, upacara pergantian penjaga Istana Deoksugung, yang terletak di sisi Balai Kota Seoul, siang itu tetap berlangsung. Puluhan penjaga yang mengenakan kostum tradisional bertukar posisi dan bergantian menjaga istana.

Upacara ini menarik perhatian wisatawan karena kostum tradisional yang dikenakan para penjaga tersebut berwarna-warni: kuning, merah tua, biru, hijau, merah marun, lengkap dengan topi, senjata beraneka rupa, dan umbul-umbul. Upacara pergantian penjaga istana baru dimulai pada 1996 setelah para sejarawan Korea melakukan riset sejarah.

Upacara tersebut dilangsungkan di gerbang Daehanmun Istana Deoksugung. Tradisi pergantian penjaga ini merupakan pengalaman istimewa bagi wisatawan karena seakan dibawa ke masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Korea. Upacara ini bisa dinikmati setiap hari pukul 11.00, 14.00, dan 15.30, kecuali hari Senin.

Meski hujan turun rintik-rintik, wisatawan tetap bertahan mengikuti upacara sampai selesai. Mereka menanti kesempatan berfoto bersama dengan para penjaga seusai upacara. Wisatawan pun diperbolehkan meminjam atau mengenakan kostum tradisional yang disiapkan di depan pintu gerbang istana untuk dipakai saat berfoto bersama dengan para penjaga.

KOMPAS/ELOK DYAH MESSWATI Museum Nasional Korea yang modern dan sistematis.
Menghargai sejarah

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Korsel benar-benar memperlakukan sejarah dan peninggalan masa lalu secara istimewa. Museum Nasional Korea yang megah dan modern, berikut penataan galeri pamer yang sistematis, membawa pengunjung museum kembali pada sejarah kuno Korea hingga abad pertengahan dan awal era modern.

Di galeri sejarah kuno Korea, saya belajar tentang kebudayaan asli Korea dan mengikuti perkembangannya sejak masa purbakala hingga periode penyatuan Kerajaan Silla sampai Kerajaan Balhae. Sekitar 7.525 artefak dipamerkan dari periode Paleolithicum. Peninggalan purbakala tersebut dipamerkan dalam 11 ruangan.

Adapun untuk periode abad pertengahan hingga awal sejarah modern, sekitar 1.800 artefak dipamerkan dari masa Dinasti Goryeo dan Joseon. Artefak yang dipamerkan sangat beragam, mulai dari senjata, peralatan memasak dan makan/minum, berbagai patung, kerajinan seni, juga mahkota emas.

Tujuh ruang pamer digunakan untuk memajang 710 benda terkait Buddha, seperti patung-patung, kaligrafi, lukisan, benda-benda seni yang terbuat dari logam, juga keramik.

Lemari kaca dengan sentuhan modern, penataan yang sistematis, mempermudah siapa saja yang hendak memahami sejarah Korea. Bahkan, anak-anak Korea pun betah berlama-lama di dalam galeri pamer dalam rombongan-rombongan kecil. Bagaimana proses ekskavasi sebuah benda purbakala juga difilmkan dan ditayangkan di layar televisi yang disiapkan di dalam galeri pamer.

KOMPAS/ELOK DYAH MESSWATI Museum Dokdo Seoul
”Korea ini luar biasa. Mereka begitu berhati-hati menyimpan benda-benda masa lalu dan menempatkannya di tempat terbaik,” kata Theara S Sam, seorang kawan jurnalis dari Kamboja.

Mempertahankan wilayah

Satu hal yang menakjubkan dari Korsel adalah kegigihan mereka mempertahankan wilayah. Tak sejengkal pun mereka surut langkah dalam kaitan Dokdo, sekelompok pulau kecil di Semenanjung Korea. Pulau yang disebut Liancourt Rocks itu telah menjadi sengketa selama bertahun-tahun antara Korsel dan Jepang. Kedua negara mengklaim bahwa Liancourt Rocks tersebut merupakan wilayah mereka. Jepang menyebut pulau tersebut sebagai Takeshima.

Kepulauan karang berukuran mungil tersebut terdiri atas dua pulau besar dengan luas 0,18745 kilometer persegi. Jarak Dokdo dengan Pulau Ulleungdo yang merupakan wilayah Korsel hanya 87,4 km. Adapun jarak Dokdo dengan Kepulauan Oki yang berada di Prefektur Shimane Jepang sekitar 157,5 km. Dokdo memiliki cadangan gas bumi yang belum dieksplorasi.

Agar generasi muda Korsel memahami posisi Dokdo, Pemerintah Korsel mendirikan Museum Dokdo di Seoul. Segala hal yang dipamerkan di museum ini merupakan hasil riset mengenai kehidupan dan kondisi alam di Dokdo selama 60 tahun terakhir. Bahkan, di pintu masuk stasiun televisi terbesar di Korea, Korean Broadcasting System (KBS), terpampang peta Dokdo.

KOMPAS/ELOK DYAH MESSWATI Museum Dokdo Seoul
Riset akademik di Dokdo dimulai pada 1947, disponsori oleh Joseon Alpine Club. Riset ini terus berlanjut dengan berbagai macam survei pada 1952 hingga 1978. Pada 1999-2000, Kementerian Maritim dan Perikanan Korsel melakukan riset terkait ekologi di Dokdo. Hasil studi atas Dokdo ini dimasukkan ke dalam subyek ilmu pengetahuan sejarah dan lingkungan alam.

Pengunjung sipil sampai saat ini dilarang masuk atau mengunjungi Dokdo berdasar Article 33 of the Cultural Heritage Preservation Act sejak Dokdo ditetapkan sebagai Dokdo Natural Preservation Zone pada tahun 1982. Meski demikian, pulau kecil lainnya, yakni Dong-do, telah dibuka untuk pengunjung sipil dengan mengajukan permohonan terlebih dahulu.

Sangat kuat memegang teguh kesatuan wilayah dan piawai dalam menyajikan fakta-fakta sejarah kepada anak-anak muda penerus bangsa, itulah yang bisa kita pelajari dari bangsa Korea. Semoga museum-museum di Indonesia bisa menularkan semangat serupa bagi generasi mudanya. (ELOK DYAH MESSWATI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com