Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Tradisi Leluhur di Kampung Bena

Kompas.com - 23/01/2015, 11:45 WIB
SEGEROMBOLAN turis asing bergegas lari menuruni 17 anak tangga, dengan napas terengah, ketika menyaksikan dari atas bukit, sebuah kampung tua dengan bangunan tradisional yang unik berjejer rapi, dengan arsitektur tradisional Ngada. Sinar matahari memancar dari balik kaki Gunung Inerie, memantul tajam pada jajaran puncak rumah adat, yang tersusun di sebuah tanah dataran, diapit bukit Luba dan bukit Batakengo. Kampung itu mirip sebuah perahu.

Pada ujung memasuki kampung itu, terdapat rumah adat panggung berlantai kayu. Di situ duduk nenek Mone Tado (92) sedang memintal kapas dengan punggung membungkuk karena usia renta. Sementara saudaranya, Matheus Radhi (80), menggantung pakaian adat Bena, hasil tenunan Mone Tado. Luar biasa, Mone Tado pada usia 92 tahun itu masih melihat benang dengan mata telanjang.

Menurut Matheus Radhi di Bena, Kamis (15/1/2015), Bena merupakan salah satu kampung adat tertua di daratan Flores. Kata Bena berasal dari nama orang asli pertama yang berdiam di situ. Bena berada di sebelah timur Gunung Inerie (2.245 mdpl) dengan jarak 17,5 km dari Bajawa. Menjangkau Bena, bisa dari Bajawa, juga dari Watujaji setelah melewati Mangulewa dari arah Ende.

Upacara adat Reba Ngada, pertama kali diselenggarakan di Bena, 27 Desember, kemudian menyusul kampung adat lain. Sebagai kampung sulung, Bena tetap menjaga keaslian, warisan leluhur setempat. Semua tradisi peninggalan leluhur tetap dijaga dan dirawat di kampung itu.

Jika dari arah Bajawa, sebelum tiba di kampung itu, sekitar 50 meter dari arah bukit Luba, Bena tampak mirip sebuah perahu. Di kampung itu terdapat 45 bangunan rumah adat: sisi kiri 22 unit, dan kanan 23 unit. Di tengah dua jejeran rumah adat itu, terdapat pelataran (ruang publik) yang luas. Di situ, tempat kuburan leluhur dalam rumah adat berbentuk kerucut.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA Seorang wisatawan memperhatikan rumah-rumah adat yang berada di kampung adat Bena di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
Rumah-rumah adat berbentuk kerucut itu berdiameter 1–2 meter, sebagai tempat penyimpanan sesajian bagi leluhur, di pelataran tengah seluas hampir 1.500 meter persegi itu. Sisi kiri–kanan pelataran, terutama di pendopo rumah adat dipajangkan pakaian adat tradisional. Beberapa kaum perempuan tampak sedang menenun membuat turis asing berebutan mengambil gambar.

Ukiran yang terdapat pada beberapa bagian kayu rumah adat secara filosofis mempunyai arti penting, selain keindahan. Ukiran itu umumnya memiliki makna religius dan kosmos karena hanya dilakukan seniman yang paham tradisi setempat.

Setiap suku (klen) memiliki rumah keluarga inti, ”Sao Meze”. Nenek moyang perempuan disebut ”sao saka pu’u”, dengan miniatur tusuk rambut di atas atap rumah, dengan kelapa muda berukuran kecil. Rumah inti nenek moyang laki-laki disebut ”sao saka lobo”, dengan tampilan patung pria berbalut ijuk, di mana tangan sambil memegang parang dan tombak.

Ada sembilan suku yang menghuni 45 unit rumah adat. Satu suku bisa memiliki lebih dari satu rumah adat. Sembilan suku itu adalah Dizi Kae, Wato, Deru Solomai, Deru Lalulewa, Bena, Ago, Ngada, Dizi Aji, dan Kopa. Menurut sejarah, sejak dulu tidak ada suku lain masuk ke kampung ini, atau suku–suku ini keluar ke tempat lain.

Motif tenun ikat Bena, tidak jauh beda dengan motif lain di Ngada. Motif bergambar kuda, cakar ayam, garis dinamis, burung, kerbau, parang, dan ghiu. Ghiu berupa garis panjang melengkung mirip Gunung Inerie sebagai simbol bahwa manusia mengalami gelombang hidup.

Pada area halaman tengah (kampung) terdapat ngadhu, dan bhaga, simbol hubungan kekerabatan antara leluhur dan generasi itu sampai selamanya. Ngadhu merupakan representasi nenek moyang laki-laki dari satu klen (suku). Ngadhu ini tersimbol dalam bentuk sebuah tiang kayu memanjang yang diukir dengan motif sawa, beratap alang-alang dan ijuk dengan dua tangan memegang parang dan tombak. Bhaga merupakan representasi nenek moyang perempuan dari sebuah suku.

Rufina Bhupu, petugas pencatat buku tamu mengatakan, wisatawan asing sering berkunjung ke kampung Bena. Paling banyak Mei-November, sedangkan Desember–April turis asing sangat terbatas. Biasanya turis asing datang dalam rombongan.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Suasana di Kampung Adat Bena, Ngada, Flores, NTT, Selasa (15/6/2011). Kampung berusia sekitar 1.200 tahun ini kental dengan arsitektur kuno dan budaya megalitik.
”Satu hari bisa 150 orang, terbukti dari nama-nama yang tertera di dalam buku tamu. Di sini belum dipungut retribusi dari pemda. Kampung adat ini masih dikelola masyarakat Bena. Setiap pengunjung diwajibkan memasukkan uang ke kotak secara sukarela. Tetapi kadang satu gerombolan turis hanya memasukkan Rp 1.000, dibandingkan pengunjung lokal, dari luar Ngada yang memasukkan Rp 100.000 per orang,” kata Bhupu.

Bukit batu

Ujung selatan kampung Bena, letaknya lebih tinggi sekitar 10 meter dari ujung utara kampung. Pada ketinggian di ujung selatan kampung ini, terdapat onggokan batu asli mirip bukit kecil. Lokasi paling ujung selatan itu terdapat jurang dengan kedalaman hampir 1.000 meter.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com