Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak-anak Bercanda dengan Alam

Kompas.com - 04/02/2015, 13:26 WIB
ALAM punya daya magis bagi anak-anak. Persentuhan dengan alam yang makin jarang, terutama bagi anak-anak kota, membuatnya menjadi sesuatu yang dicari. Ketika pintu pertalian itu terbuka luas, anak-anak ini seolah lupa diri: suka cita menikmati persentuhan dengan sumber kehidupan yang nyata.

Emma (31) asal Berastagi, Sumatera Utara, tampak khawatir menyaksikan anak-anaknya turun ke sawah. Dari awalnya takut-takut, Iben (5,5) dan Elsi (4) begitu menikmati berjalan di pematang sawah hingga mencemplungkan diri ke lumpur. Di air genangan yang berwarna coklat keruh itu, mereka sibuk menjaring ikan.

Ketika seekor ikan masuk ke jaring, mata anak-anak itu segera membelalak lebar. Mereka memanggil-manggil Emma, lalu menyimpan ikan hasil tangkapan ke dalam plastik. ”Belum pernah turun ke sawah. Biasanya hanya main ke kolam renang,” kata Emma tentang kelakuan kedua anaknya.

Emma harus berulang kali berteriak-teriak agar kedua anaknya mau keluar dari kubangan air. Anak-anak itu sempat dijanjikan bisa memandikan kerbau di sawah. Sayangnya, hari itu si kerbau sakit kulit dan sedang dalam perawatan dokter. ”Kalau dipaksakan, takut anak-anak ketularan penyakitnya,” tambah Kepala Sekolah Komimo, Heryanto, tempat Iben dan Elsi beraktivitas.

Pada Selasa (27/1/2015) dan Rabu (28/1/2015), anak-anak dari Taman Kanak-kanak Komimo, Bogor, termasuk Iben dan Elsi, menikmati alam dalam program wisata edukasi yang digelar di Community Learning Centre di Kecamatan Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat. Anak-anak diajak menanam dan memanen sayur, menjaring ikan, hingga memberi makan sapi.

”Ini bagian dari aktivitas eksplorasi luar sekolah. Menyiasati keterbatasan alat bantu sekolah. Anak-anak diajak ikut terlibat supaya tidak berjarak dengan alam,” ujar Heryanto.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Anak-anak bermain lumpur sembari belajar di Community Learning Centre di Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat.
Tinggal di perumahan di kawasan perkotaan, menurut Emma, membuat anak-anaknya semakin berjarak dengan alam. Pada saat liburan, hiburan bagi anak-anaknya hanya berupa permainan di tempat perbelanjaan.

Demi mengantar anak-anak belajar dari alam pula, Emma dan suaminya memilih cuti dari pekerjaan sehari-hari. ”Waktu saya kecil, gampang bermain di alam. Begitu tinggal di kota, susah ajak anak-anak melebur dengan alam,” tambah Emma.

Orangtua lainnya, Yuniar dan Atik, melihat perubahan positif dalam diri anak-anak ketika mereka mulai bersentuhan erat dengan alam. Anak-anak itu, lanjut mereka, menjadi lebih gembira dan bisa bergerak dengan lebih leluasa.

Belajar beradaptasi

Mengenalkan alam kepada anak juga dilakukan pasangan Sukma Kurniawan dan NZ Anastasia. Anak semata wayang mereka, Azzam Rayyan Ibrahim (6,5), sudah diajak mengenal alam sejak usia 15 bulan.

”Waktu itu Azzam kami ajak camping di Curug Cibeureum. Dia belum bisa jalan, masih tetah (belajar jalan),” ujar Sukma, yang akrab dipanggil Dede ini. Baik Dede maupun Tasia adalah mantan mahasiswa pencinta alam. Keduanya sama-sama senang menjelajah dan bertualang di alam bebas.

Pertimbangan keduanya sederhana saja. ”Kami ingin meneruskan kecintaan kami pada alam kepada Azzam. Yang kami lakukan selama ini, kan, travelling, melakukan aktivitas luar ruang, dan sudah merasakan manfaatnya yang positif. Kenapa tidak dilanjutkan ke generasi kami. Nah kali ini dalam konteks keluarga,” kata Dede.

Dengan mengajak anak berkegiatan di alam, Dede ingin mengajak Azzam belajar beradaptasi dengan lingkungan sekaligus belajar disiplin. ”Kan, beda kalau kita travelling sama di rumah. Dia harus melakukan hal-hal di luar kebiasaan. Jadi harus keluar dari zona nyaman,” kata Dede.

ARSIP SUKMA KURNIAWAN Piknik keluarga di bentang alam
Di sisi lain, berkegiatan bersama di luar rumah juga akan membuat hubungan anak dan orangtua semakin erat. ”Kalau travelling kita bisa dapat kerja sama tim, saling ketergantungan. Beda dengan di rumah. Apalagi, anak sekarang umumnya tergantung sama pengasuhnya. Kalau di alam dia harus mandiri,” ujar Dede.

Setelah perjalanan ke Curug Cibeureum itu, pasangan Dede dan Tasia yang adalah seorang psikolog anak menjadikan acara trekking serupa sebagai acara rutin. Hingga pada usia 2,5 tahun, Azzam pun diajak mendaki ke Gunung Gede.

”Banyak orang yang enggak terbiasa nanya,emangnya enggak ngeri ya? Tapi karena kami sudah menjalani lebih dulu daripada Azzam, dan selama ini alhamdulillah baik-baik saja. Jadi ya sudah, kami pikir anak ini kami bawa dengan niat baik, jadi enggak mikir yang aneh-aneh,” kata Dede.

Yang justru lebih penting adalah kesiapan mental dan fisik orangtua. Baru setelah itu persiapan bagi si anak karena bagaimanapun orangtua yang lebih mengenal kondisi si anak.

Dede meyakinkan, berkegiatan di alam adalah hal yang sangat menyenangkan bagi anak. ”Enggak ada anak yang tidak suka dibawa ke alam. Saya sudah membuktikan saat trip ke Batu Tapak dengan 38 orang termasuk anak-anak. Enggak ada anak-anak yang minta pulang,” ujar Dede, yang mengelola akun @familytripid dan kerap membuat acara travelling keluarga.

Manfaatnya juga jelas. Mengutip buku-buku psikologi dan berbagai penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, anak yang berkegiatan di alam memiliki kemampuan kognitif yang berbeda dalam menyerap dan menyimpan informasi. Dalam praktiknya, sejak diperkenalkan dengan alam, Azzam yang hingga kini telah mendaki gunung sebanyak delapan kali menjadi anak yang lebih positif, lebih percaya diri, terbuka terhadap hal baru, dan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya.

Pengetahuan tentang alam pun sudah pasti tumbuh. Selama berada di alam, Dede dan Tasia selalu memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk belajar. ”Selain melihat dan bersentuhan langsung, kami juga memberikan pengetahuan baru. Seperti kalau di sungai masih ada biotanya, berarti airnya masih layak minum,” kata Dede.

KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH Berkemah di Tana Kita Camping Ground, di Sukabumi, Jawa Barat.
Mereka bahkan mengajak Azzam ke lokasi-lokasi dia bisa melihat berbagai contoh kehidupan masyarakat adat dengan kearifan lokal mereka. Seperti Kampung Naga dan Kampung Ciptagelar di Jawa Barat. Di sana Azzam harus menginap di rumah orang dan belajar mengenal tata cara hidup masyarakat adat. ”Eh waktu hari pertama, dia sudah telanjang kaki, main sama anjing dan anak-anak di sana,” kata Dede terkekeh.

Seluruh perjalanan mereka pun dilakukan dengan angkutan umum. Mereka pernah naik angkutan kota dari Bandung Selatan ke Bandung Utara, hingga ke Lembang, lalu susur Jawa Barat Selatan menggunakan angkot, hingga ke Gunung Bromo, di Jawa Timur, dan masih banyak lagi tempat lain. ”Ini untuk menumbuhkan kecintaan Azzam pada bangsa dan negara,” kata Dede.

Ismayadi Samsoedin dari Yayasan Upaya Indonesia Damai yang mengelola kawasan Community Learning Centre mengingatkan pentingnya keterikatan dengan alam sejak dini. Lewat kedekatan dengan alam, anak-anak bisa belajar tentang banyak hal. Termasuk, perubahan iklim dan keanekaragaman hayati. (Dwi As Setianingsih & Mawar Kusuma)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com