Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelusuri Jantung Budaya Pecinan Petak Sembilan

Kompas.com - 21/02/2015, 12:38 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

HUJAN masih jatuh dari awan, ketika saya bersama satu orang teman meninggalkan Kota Depok, Kamis (19/2/2015) menuju jantung kebudayaan Pecinan di Jakarta Barat. Moda transportasi favorit masyarakat Jakarta, Depok, dan Bogor yaitu kereta rel listrik menjadi pilihan kami. Target pemberhentian terdekat dengan tujuan kami kali ini adalah Stasiun Kota.

Sekitar pukul 14.00 WIB, moncong kereta tiba di Jalur 12 Stasiun Kota. Tua, muda dan anak-anak dari segala kalangan turun menyudahi perjalanannya. Di bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya ini, orang-orang lalu lalang datang dan pergi, duduk menunggu kereta datang, bahkan sekadar makan siang. Mungkin juga di antara mereka akan berwisata di tengah bangunan-bangunan peninggalan kolonial Hindia Belanda. Namun kami mempunyai tujuan sendiri yaitu Kawasan Pecinan Petak Sembilan, Glodok, Taman Sari, Jakarta Barat.

Kawasan Pecinan Petak Sembilan merupakan saksi bisu perkembangan masyarakat Tionghoa di Jakarta. Sederet bangunan kuno, ruko (rumah toko), pertokoan, vihara, dan sekolah didominasi oleh para masyarakat keturunan Tionghoa. Daerah lain yang juga didominasi seperti Jembatan Lima, Glodok, dan Cideng. Oleh karena itu daerah Petak Sembilan juga disebut kawasan Pecinan. Kami berdua segera menyusuri kawasan pasar menuju tujuan pertama yaitu Vihara Dharma Bhakti.

Rintik-rintik hujan masih turun membasahi payung kuning yang saya bawa. Air kecoklatan menggenang. Sisa-sisa sayur pasar yang tak laku bercampur dengan sampah membusuk hingga baunya menusuk hidung. Namun kami tetap menyusuri jalan-jalan bersejarah bagi perkembangan etnis dan budaya Tionghoa yang berbaur dan menciptakan kebudayaan baru ini.

Warna merah yang menjadi simbol antusiasme, semangat, dan keberuntungan bagi orang Tionghoa menghiasi kawasan Pasar Petak Sembilan. Lampion-lampion terpasang di atas Jalan Kemenangan yang sempit. Orang keturunan Tionghoa berkumpul bersama merayakan Tahun Baru Imlek di ruko-ruko yang mereka tinggali. Beberapa toko tutup, tapi tidak untuk toko yang menjual kue manisan dan kuliner-kuliner di Jalan Gloria.

Tak hanya warna merah yang menyemarakkan Imlek di Petak Sembilan, beberapa sayuran pasar yang menghijau seperti kol, kacang panjang, daun bawang, dan kangkung dijajakan rapi di atas meja. Hari ini, Petak Sembilan bergeliat. Orang-orang keturunan Tionghoa dari Jakarta dan sekitarnya beramai-ramai mengunjungi Vihara Dharma Bhakti untuk berdoa. Sementara orang-orang non Tionghoa yang lain memanfaatkan momen bahagia tersebut untuk melihat satu budaya yang menjadi bagian nusantara ini.

Di sekitar vihara sore hari ini rupanya telah ramai. Berbagai awak media nasional telah menunggu untuk mencari berita. Para penggemar fotografi juga tak mau kalah untuk kehilangan momen. Selain itu, para pencari rizki dadakan juga telah sibuk menadahkan tangannya. Lilin bercorak bunga setinggi hampir satu setengah meter menyala menerangi vihara. Merah dan kuning mendominasi. Di tengah vihara, beberapa orang keturunan Tionghoa tampak sedang berdoa menggunakan dupa dengan khusyuk.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Lilin-lilin besar yang berada di Vihara Dharma Bakti, Kamis (19/02/2015). Menurut pengelola vihara, lilin-lilin ini mampu nyala hingga tiga bulan.

Semakin ke dalam, asap dari dupa semakin tebal. Bukan hanya dupa seukuran ranting yang dibakar, melainkan juga diameter 10 cm juga dibakar. Asapnya membumbung memenuhi ruangan vihara. Namun hal itu tidak mengurangi kekhusyukkan doa di awal tahun ini. Di dalam vihara tertua di Kawasan Pecinan Glodok ini, jeruk, apel, kue keranjang, pisang, dan sesaji lainnya untuk para dewa telah diletakkan di altar sembahyang. Tanda rasa syukur dan terima kasih kepada Thian Yang Maha Kuasa.

Di kawasan Vihara Dharma Bakti terdapat empat buah bangunan vihara. Masing-masing dapat digunakan untuk berdoa. Menurut Susanto (70), salah satu pengurus vihara, umur vihara lebih dari 350 tahun. Ia bercerita vihara pernah hangus terbakar pada tahun 1740. Namun kembali dibangun kemudian pada tahun 1755. Vihara tertua ini menyimpan nilai sejarah yang kuat tentang perkembangan kebudayaan Tionghoa.

Bergeser ke bangunan vihara lain, lilin-lilin besar masih berjajar hampir memenuhi satu vihara. Lilin-lilin tersebut membentuk satu pola yang dimanfaatkan pengunjung vihara untuk berfoto. “Lilin-lilin ini kuat nyala selama tiga bulan,” kata pria yang bermarga Yap ini. Semua aktifitas, ornamen, dan benda-benda di vihara ini tampak menarik bagi para pemburu foto.

Manann Donoghoe, mahasiswa asal Australia yang sedang belajar bahasa Indonesia di Universitas Indonesia mengatakan bahwa tempat ini sangat menarik untuk dikunjungi. Ia mengakui budaya Tionghoa di Jakarta adalah hal baru yang ia ketahui semenjak kuliah di Indonesia, enam bulan yang lalu. “Saya bersama teman-teman akan belajar lagi budaya ini. Sangat menyenangkan,” katanya.

Kami menuntaskan perjalanan kebudayaan ini, karena hari semakin sore. Rasa keingintahuan tentang kebudayaan Pecinan sedikit terbayar ketika mengunjungi Petak Sembilan. Arsitektur bangunan masyarakat Pecinan Glodok dengan segala hiasannya serasa membawa saya menuju Kota Tiongkok. Perbincangan antara warga Tionghoa dengan bahasa Mandarin menambah kesan China Town makin kental.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com