Bahkan ada cerita menarik tentang sumpit ini yang membuat ciut nyali serdadu Belanda pada zaman penjajahan. Meskipun serdadu Belanda menggunakan senapan untuk membunuh musuh, sementara Suku Dayak hanya bermodalkan sumpit, namun serdadu Belanda justru ketakutan terkena anak panah sumpit. Pasalnya anak panah sumpit tersebut beracun. Sebelum berangkat bertempur, Suku Dayak mengolesi mata anak panah sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren yang sulit dicari penawarnya.
Bagaimana nasib sumpit saat ini? Sekarang, sumpit tetap dipakai warga di Kalimantan tapi fungsinya mulai bergeser. Bukan lagi untuk berburu tetapi untuk dilombakan. Sabtu (14/2/2015) siang, lapangan Desa Peridan, yang termasuk dalam lingkup perkebunan kelapa sawit PT Sumber Kharisma Persada (SKP) dan PT Citra Narada Lestari (CNL), anak perusahaan PT Astra Agro Lestari Tbk menggelar lomba sumpit. Peserta adalah warga desa se Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Kecamatan Sangkulirang sendiri terdiri dari 15 desa dan berpenduduk 18.000 jiwa.
Nah, kembali ke lomba sumpit. Panas terik menyengat siang itu di Desa Peridan. Panitia mencatat sebanyak 27 peserta terdaftar untuk mengikuti lomba dengan kekuatan tiupan. Namun kali ini sasarannya bukan binatang buruan. Sebuah papan layaknya sasaran tembak terpasang di atas panggung. Jaraknya sekitar 20 meter. Para peserta sudah siap dengan membawa sumpit dan anak panah.
Bagi PT SKP dan PT CNL, lomba sumpit ini masuk ke dalam tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam upaya melestarikan tradisi sumpit. Sebagai perusahaan yang mengelola perkebunan sawit (PT SKP 7.485 ha dan PT CNL 1.145 ha) wajar lah kedua perusahaan ini begitu peduli dengan warga sekitar kebun dan memperhatikan tradisi warga seputar lahan agar keberadaan sumpit, tradisi khas Dayak tetap terjaga. Tidak hanya soal budaya saja, sektor lainnya seperti pendidikan juga menjadi perhatian utama kedua perusahaan ini.
Hal senada juga disampaikan Kepala Administrator PT SKP dan PT CNL Nyoman Sukram yang baru dua hari menduduki jabatan Kepala Administrator. Menurut Nyoman, globalisasi perlahan-lahan telah mengikis budaya setiap daerah. "Kita tidak ingin sumpit punah. Sumpit nantinya akan menjadi warisan anak cucu kita. Perusahaan mendukung lomba sumpit ini untuk melestarikan budaya. Kalau bukan kita siapa lagi. Kalau bukan sekarang kapan lagi," kata Nyoman.
Setiap peserta lomba sumpit diberi lima anak panah sumpit (saha). Setiap peserta diberi kesempatan menyumpit dalam posisi berdiri dan duduk dari jarak 20 meter.
Isbat, Ketua Adat Dayak Kutai kepada Kompas.com menuturkan, sumpit terbuat dari kayu ulin. Panjang 1 meter 80 cm. "Kalau dahulu, sumpit digunakan untuk berburu binatang, menangkap kijang atau rusa hutan (payau), sekarang untuk dilombakan," kata laki-laki berusia 62 tahun ini dengan semangat.
Nyoman Sukram pun menyadari hal ini. Oleh karena itu, dia berjanji akan menggelar lomba serupa di waktu mendatang di mana para peserta wajib mengenakan pakaian adat Dayak, khas Kalimantan. "Tahun depan kita bikin peraturan, peserta lomba sumpit wajib mengenakan pakaian adat Dayak," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.