Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tamasya, Belajar Sambil Lestarikan Alam

Kompas.com - 22/02/2015, 13:41 WIB
KAWASAN hutan bakau di pantai timur Surabaya, sejak 2010 tak lagi sekadar menahan terjangan badai dan erosi akibat air laut. Suasana alam di tempat bertenggernya 146 jenis burung itu, menarik keinginan warga Surabaya untuk menikmati kawasan Ekowisata Hutan Mangrove.

Pamor wisata hutan bakau seluas 577,455 hektar meliputi Kecamatan Wonorejo, Rungkut, Sukolilo, dan Gununganyar, makin berkilau. Pemandangan hijau di pinggir pantai ini, salah satu daya pikat pengembang untuk mengubah peruntukan kawasan menjadi permukiman atau pergudangan. Untuk itu, tidak hanya Pemerintah Kota Surabaya, tetapi lembaga swadaya masyarakat (LSM), perusahaan, serta berbagai organisasi, termasuk warga secara sukarela tak kenal lelah mengamankan kawasan ini.

Hutan bakau pamurbaya ini tak hanya sebagai sabuk hijau bagi kota dengan penduduk 3 juta jiwa ini, tetapi juga rumah bagi berbagai jenis spesies yang tidak ditemukan di kawasan lain. Beberapa kelompok warga pun selain menjadi ”polisi” di kawasan hutan bakau, secara bertahap sudah mengolah berbagai jenis tumbuhan tanpa merusak, menjadi makanan, minuman, serta banyak produk terutama batik.

Sejak 2010, Pemkot Surabaya menetapkan hutan bakau menjadi tempat wisata yakni Ekowisata Mangrove Wonorejo dan Wisata Anyar Mangrove. Kedua kawasan ini sebagai upaya pemkot setempat melestarikan hutan bakau sekaligus mengurangi abrasi di pamurbaya.

Bertamasya ke hutan bakau relatif mudah, sebab sudah ada perahu dari Gununganyar berkapasitas 30 orang. Lama perjalanan untuk mengitari hutan bakau yang juga menjadi rumah bagi monyet ekor panjang sekitar 20 menit. Pengunjung juga bisa berjalan kaki menyusuri jogging track dari anyaman bambu di sepanjang hutan. Fasilitas ini nyaman dan sejuk karena berjalan di tengah rindangnya pohon bakau. Pemkot Surabaya terus melengkapi sarana pendukung wisata, yang benar-benar bersahabat dengan lingkungan hutan bakau.

Wawan Some dari LSM Nol Sampah menilai, ekowisata hutan bakau tak melulu hura-hura, tetapi sarat pembelajaran. Prinsip utama adalah konservasi sehingga, pengunjung idealnya turis dengan minat khusus, minimal cinta lingkungan.

Berbagai rambu seperti tidak buang sampah, tidak mengganggu flora dan fauna di wilayah itu secara otomatis dipatuhi. Turis kelompok ini pun mudah diajak menanam, merawat, dan mengawasi kawasan konservasi itu.

Wawan mengaku, untuk mengamankan pamurbaya setiap bulan LSM Nol Sampah mengajak berbagai warga membersihkan kawasan hutan bakau dari sampah plastik. Meski sampah itu bukan hanya produksi warga Surabaya, tetapi dibawa alur sungai dari berbagai daerah Malang, Jombang, Mojokerto, dan Gresik.

Para pencinta lingkungan ini tak hanya menyingkirkan sampah, tetapi juga menanam dan merawat bakau agar berkembang. Apalagi di pamurbaya ada 22 jenis bakau sejati tumbuh di tengah laut, dan 17 jenis bakau ikutan berkembang di darat.

Teguh Ardi Srinanto, Ketua Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan (KJPL) Indonesia menyatakan, kawasan pamurbaya merupakan habitat burung langka seperti bubut jawa, kuntul, dan raja udang. Kawasan ini juga sebagai referensi wisata baik dalam maupun luar negeri dan menjadi percontohan dalam proyek Mangrove Ecosystem Conservation and Sustainable Use (MECS).

Bakau di Bali

Penanaman bakau juga menjadi tren kegiatan sejumlah instansi, organisasi, serta pelajar di Bali. Bahkan, sejumlah wisatawan pun mulai mengagendakan berjalan-jalan dalam hutan bakau seperti Taman Hutan Raya Ngurah Rai. Ini merupakan kawasan bakau terluas di Bali.

Di Bali terdapat lahan seluas 3.000 hektar dengan pohon bakau hidup, di antaranya berada di Taman Nasional Bali Barat Jembrana sekitar 400 hektar dan Nusa Lembongan, Klungkung, sekitar 200 hektar. Lainnya ada di Taman Hutan Raya Ngurah Rai 1.373,5 hektar. ”Ini karena semakin banyak orang peduli dengan bakau. Bakau ini hanya membutuhkan kepedulian bersama,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Tahura Ngurah Rai Irwan Abdullah.

Beberapa nelayan yang sulit melaut setelah terbangunnya jalan tol di kawasan itu memilih berusaha membudidayakan kepiting. Rencananya, mereka yang membentuk kelompok ini ingin menjadikan ekowisata bakau selain kuliner. Namun, perizinan ekowisata masih terkendala. Pihak Pemprov Bali meminta para nelayan membentuk badan usaha atau koperasi.

Keberadaan hutan bakau tak hanya jadi perhatian warga Surabaya, Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) mulai pemuliaan bakau di Desa Labuhan, Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Madura. Kegiatan ini didorong penemuan bakau jenis stenggi atau penpis acidulu, sudah langka. Padahal, memiliki nilai ekonomi tinggi karena bisa dibonsai, dan dipakai bahan kerajinan tangan dalam bentuk akar bahar.

”Harga bonsai bakau ini bisa jutaan rupiah, karena nyaris punah dan diburu orang asing, sehingga harus dilestarikan,” kata Ulika Trijoga Putrawardana dari PHE WMO. Program pemuliaan tanaman mangrove langka ini dilakukan PHE WMO bekerja sama dengan Kelompok Tani Cemara Sejahtera, Desa Labuhan. Mereka konsentrasi dengan cara menghijaukan pesisir Desa Labuhan seluas 7 hektar.

Ketua Kelompok Tani Cemara Sejatera Desa Labuhan, Misnawar, mengatakan, mendukung program pemuliaan tanaman bakau di wilayahnya, karena warga dilibatkan sejak pembibitan hingga merawat pohon. Warga berharap program yang memanfaatkan tanah desa ini bisa diperluas hingga 15 hektar, karena jenis bakau di wilayah ini persis dengan pamurbaya.

”Kedua kawasan hutan bakau tak hanya sebagai sabuk hijau dan tempat wisata bagi daerah masing-masing, tetapi dari dahulu kala persinggahan burung migran dari Australia ke Siberia, pada Desember hingga akhir Maret,” kata Misnawar.

Burung migran yang mampir di dua kawasan hutan bakau yakni Surabaya dan Madura tersebut antara lain gajahan pengala atau Whimbrel numenius/phaeopus, cerek atau Plover charadrius sp, dan trinil kaki merah atau Common redshank/tringa totanus. Kawasan bakau ini juga dihuni burung pantai seperti trinil pantai atau Common sandpiper/actytis hypoleucos, dan burung air seperti cangak merah atau Purple heron/ardea purpurea serta kuntul kecil atau Litle egret/egretta garzetta. (Ayu Sulistyowati/Agnes Swetta Pandia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com