Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hiruk-pikuk Pamor Khas Kembang Jepun

Kompas.com - 25/02/2015, 13:19 WIB
BERKUNJUNG ke Surabaya jangan lupa mampir di Jalan Karet di kawasan Kembang Jepun. Di kiri-kanan jalan sepanjang 100 meter di kawasan pecinan Surabaya umumnya terdapat bangunan tua dan sarat sejarah, termasuk tiga rumah abu. Semua bangunan berstatus cagar budaya sehingga pemilik tidak semena-mena melakukan perubahan, terutama bagian depan dan luar bangunan.

”Bangunan paling ujung itu sudah ditawar Rp 3 miliar, tapi belum ada peminat. Mau dibuat toko atau depot tanpa lahan parkir? Mau dirombak bisa kena sanksi karena berstatus cagar budaya,” kata Hanny Hartono, pemilik Depot Sari di Jalan Karet 112, memberi contoh betapa sulitnya memoles kawasan pecinan itu agar turis betah meski sekadar memandang bangunan tua sarat sejarah.

Sejatinya pecinan Surabaya, kata generasi ketiga depot dengan menu andalan sop buntut itu, adalah Jalan Karet yang dulu disebut Jalan Pecinan Kulon. Sebagai pusat perdagangan dan dekat ke Pelabuhan Tanjung Perak, kawasan itu sangat berpotensi jadi tempat piknik. Apalagi akhir-akhir ini, puluhan kapal pesiar dari sejumlah negara mampir di Tanjung Perak sehingga turis dapat digiring mengitari kawasan kota tua Surabaya ini.

Asal mula bangunan di Jalan Karet memang ruko. Bagian luar umumnya tak tersentuh perawatan. Padahal bagian dalam banyak berubah sesuai kebutuhan pemilik atau penyewa gedung. ”Jalan sempit dan searah membuat pembeli tak nyaman. Perlu penataan agar Jalan Karet nyaman sehingga layak jual untuk wisata,” kata Hanny.

Beberapa model kegiatan digelar di kawasan Kembang Jepun agar kawasan kota tua ini tak hanya riuh pada siang hari. Meskipun hanya deretan toko berlantai dua, Kembang Jepun tetap berpotensi menjadi salah satu tujuan wisata. Bahkan cocok untuk wisata sejarah atau sekadar napak tilas perlawanan arek Suroboyo untuk mengusir penjajah pada 1945.

Seperti diungkap Ina Silas dari House of Sampoerna, Kembang Jepun sangat layak menjadi salah satu obyek wisata di Surabaya. Faktor perdagangan multikultural yang berlangsung hingga sekarang justru realitas kehidupan pembauran. Pedagang tidak didominasi suku tertentu, tetapi pembauran budaya Tionghoa, Arab, Madura, dan Jawa berdagang dengan cara dan gaya masing-masing yang justru menarik.

Turis yang berkunjung ke kawasan itu, menurut Ina, tak perlu naik kendaraan bermotor, tetapi jalan kaki, naik sepeda, atau becak. Di sekitar Jembatan Merah masih ada becak berseliweran di wilayah bebas becak. Turis dapat menikmati bangunan cagar budaya serta suasana perdagangan tradisional yang masih kental. Pemandu wisata pun kerap membawa turis ke Kembang Jepun yang dekat dengan Pasar Pabean dan kompleks Mesjid Sunan Ampel.

Untuk lebih menambah kemolekan kawasan itu, lanjut Ina, Pemerintah Kota Surabaya dapat mulai menata, termasuk membangun jalur pedestrian di sepanjang jalan raja Wali, tetapi belum sampai Kembang Jepun.

Soal promosi, sekumpulan penarik becak sudah menciptakan paket naik becak keliling kota tua Surabaya naik becak atau dari House of Sampoerna ke kawasan Ampel. Dalam upaya agar kawasan pecinan lebih siap menjadi destinasi wisata, menurut Ina, sebaiknya Pemkot Surabaya melibatkan masyarakat setempat, tak sekadar menyerahkan kepada investor.

Kenyamanan

Seperti diutarakan Direktur Heritage Surabaya, Freddy H Istanto, perkembangan Surabaya ke segala arah, kecuali wilayah utara, Jembatan Merah hingga Kembang Jepun justru stagnan. Penduduk memilih menyingkir dari jantung perdagangan karena jika siang hiruk-pikuk tak tertahankan. Situasi siang kontras dengan malam hari karena kawasan ini bak kota mati.

Padahal, kata Freddy, kawasan utara menyimpan jejak sejarah yang khas. Pada tahun 1870-an, Surabaya dibentuk Belanda sebagai kota benteng. Dalam peta, Surabaya dibagi tiga, yakni barat Kalimas milik Belanda, timur Kalimas dibagi dua, pecinan di selatan Jalan Kembang Jepun yang didominasi saudagar Tionghoa dan di utara ada kampung Melayu dan Arab. ”Jejak ini masih sangat kuat sebagai penanda kota dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai tempat wisata,” kata Freddy.

Kawasan seperti Jalan Panggung dan Pabean dapat dikembangkan untuk wisata pecinan, termasuk Jalan Karet. Di Jalan Panggung, misalnya, penjual minyak wangi bisa bersanding dengan pedagang ikan basah dan barang kebutuhan pokok lain. Di kawasan ini juga nuansa budaya Arab masih sangat khas, terutama menjelang Ramadhan, termasuk kuliner ala Timur Tengah.

Wisata pecinan, ungkap Freddy, bisa digarap mulai di Jalan Karet dengan tiga rumah abu besar, yakni Rumah Abu Han, The, dan Tjoa, dengan karakter masing-masing. Nuansa pecinan di Jalan Karet pun dapat diperkuat dengan memasang lampion dan dekorasi oriental.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyebutkan, pemerintah kota sudah menyusun rencana itu. Namun, ada beberapa kendala dalam mempercantik kawasan itu karena perlu ada revitalisasi. Pengelola atau pemilik gedung tua seperti rumah abu perlu lebih terbuka kepada publik dan dibarengi dengan kegiatan ekonomi dan budaya.

Mengeksekusi rencana itu, Pemkot Surabaya memang perlu dukungan dari komunitas Tionghoa di Surabaya. Kawasan ini dapat menggelait kembali melalui berbagai pertunjukan secara rutin dan terjadwal sehingga turis tak hanya melihat gedung tua, tetapi mendapat berbagai hiburan dan kuliner khas Surabaya.

Kelak kawasan kota tua itu tak lagi hanya riuh di siang hari pada saat jam kerja, setelah itu gelap gulita. (AGNES SWETTA PANDIA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com