Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Legong Keraton Lasem Hidupkan Semangat yang Pudar

Kompas.com - 02/03/2015, 18:16 WIB

WARTINI (10) selesai berdandan. Kostum tari Legong Keraton Lasem sudah lengkap dikenakan pada perlombaan, Minggu (8/2/2015) siang itu, di Puri Satria, Denpasar.

”Deg-degan.... Ini pengalaman pertama lomba tarian ini. Saingannya bagus-bagus,” kata Wartini, pelajar kelas IV sekolah dasar, malu-malu saat menanti. Ia menanti nomor urutnya bersama dua teman dipanggil ke panggung oleh juri.

Ini merupakan perlombaan Legong Keraton Lasem kedua setelah 10 tahun lalu. Sebanyak 45 sanggar tari mengikuti lomba. Panitia sempat menolak belasan sanggar karena terbatasnya waktu dan tempat lomba. Ini merupakan semangat pelestarian yang menginspirasi munculnya kembali lomba ini, bersamaan dengan ulang tahun ke-227 Kota Denpasar.

Minggu siang itu, Wartini yang belajar Legong sekitar tiga tahun menjadi penari Condong pada cerita tarian utuh Legong Keraton Lasem berdurasi 25 menit itu. Condong tampil sebagai pembuka dan penutup tarian yang menggambarkan seorang abdi yang berwatak lembut dan serius.

Perlombaan Legong ini menceritakan tentang kisah hidup Prabu Lasem dan Putri Rangkesari dari Kerajaan Daha sekitar abad ke-12 Masehi.

Sebelum dua penari memerankan bidadari, berganti menjadi prabu dan putri, salah satu di antaranya menjadi Condong. Selanjutnya, muncul penari sebagai burung gagak berhadapan dengan sang prabu.

Rangkaian cerita ini ditarikan tiga orang. Tetabuhan yang mengiringi, Semar Pegulingan.

Ni Ketut Arini (72), salah satu penari sepuh dan pengajar Legong di Denpasar, terharu melihat anak SD menarikan cerita Legong Keraton Lasem. Absennya perlombaan Legong dengan cerita lengkap sempat membuatnya sedih.

Kini, ia bersemangat karena anak-anak memiliki kesempatan tampil dan mempermudah jalan pelestarian. Tak hanya Sanggar Warini milik Arini, sejumlah sanggar lain juga bisa berbagi pengalaman ketika perlombaan.

”Lomba ini menjadi kabar gembira. Tari-tari Legong bisa berkembang. Hanya saja, saya berharap ada revitalisasi tari ini. Sebab, saya melihat beberapa bagian sudah berubah dari aslinya,” kata Arini.

Asal kata Legong diduga dari dua kata bahasa Bali leg yang berarti gerak yang luwes dan elastis serta gong yang berarti gamelan. Karena itu, Legong bisa diartikan sebagai tarian yang luwes dengan diiringi seperangkat tabuhan gamelan.

Namun, belum ada sumber pasti kapan Legong berkembang. Ada yang menyebutkan bermula dari Legong topeng yang dikembangkan Anak Agung Rai Perit di Puri Paang, Sukawati, Gianyar. Selanjutnya, para murid Anak Agung Rai Perit mengembangkan Legong di daerahnya masing-masing.

Menurut Wayan Dibia, pengamat seni pertunjukan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Bali, sulit menemukan dokumentasi permanen yang menunjukkan pementasan di Bali. Meskipun kebanyakan tradisi lisan, pihaknya berupaya mengumpulkan perkembangan Legong dari Sukawati (Gianyar) sampai perkembangannya di Badung dan Denpasar.

Tentu tarian Legong mengalami penyesuaian gaya masing-masing kabupaten.

Berdasarkan catatan Proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya Bali tahun 1974, Legong berkembang di Gianyar, Badung, Denpasar, Tabanan, Buleleng, Jembrana, dan Karangasem. Tokoh-tokoh Legong di antaranya adalah I Gusti Lanang Gde Sudana Jelantik dan Anak Agung Raka Saba yang membangun Legong gaya Desa Saba Blahbatuh Gianyar, Wayan Lotring membangun Legong gaya Kuta.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Sumber kkk
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com