Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyambut Cap Go Meh di Pulau Kemaro

Kompas.com - 03/03/2015, 14:48 WIB
SITI Fatimah, putri dari Kerajaan Palembang, disunting oleh Tan Bun An, saudagar asal Tiongkok. Oleh Tan, Siti diajak ke negeri asal mereka untuk menjenguk keluarganya. Saat kembali ke Palembang, pasangan ini mendapat hadiah berupa tujuh guci.

Guci itu baru dibuka oleh Tan saat kapal mereka berada di alur Musi. Tan terkejut karena guci yang dihadiahkan ternyata berisi sayuran. Ia pun membuang guci-guci itu ke sungai. Namun, saat membuang guci terakhir, guci itu pecah di dek kapal dan terbongkarlah isi guci yang sesungguhnya.

Mengetahui bahwa guci berisi harta, Tan kemudian terjun ke sungai untuk mengambilnya kembali. Naas, Tan tidak muncul lagi ke permukaan. Begitu pula saat anak buahnya dan Siti menyusul terjun ke sungai dengan maksud menolong, mereka mengalami nasib serupa. Sejak saat itu, penduduk sekitar sering berkunjung ke Kemaro untuk mengenang mereka.

Legenda tentang Pulau Kemaro ini terpahat dalam prasasti di sisi kanan depan kelenteng yang dibangun oleh dinas pariwisata setempat. Tidak disebutkan apakah pendirian kelenteng ini ada hubungannya langsung dengan legenda itu. Yang pasti, citra Pulau Kemaro kemudian lekat dengan budaya Tionghoa di Palembang.

Selain kelenteng dan makam, di pulau seluas 180 hektar itu juga terdapat pagoda berlantai sembilan yang jarang ditemui di tempat lain.

Pada setiap perayaan Imlek, pulau yang berada sekitar 5 kilometer dari Jembatan Ampera ini banyak didatangi orang. Jumlah mereka makin banyak saat Cap Go Meh tiba, yakni 13 hari setelah Imlek. Saat itu, tidak hanya warga Tionghoa penganut Tridarma yang datang untuk bersembahyang, tetapi juga masyarakat umum yang sekadar ingin jalan-jalan.

Lampion dan kios

Di luar ruang Kelenteng Hok Cing Bio tampak tergantung lampion-lampion yang sudah dipasang beberapa pekan lalu. Lampion itu melengkapi ratusan lampion yang ada sebelumnya, yang membentang mulai dari dermaga hingga jalan-jalan kecil di sekitar kelenteng.

Puluhan kios baru berbahan kayu dengan atap daun rumbia juga telah didirikan. Kios itu melengkapi kios lama yang kondisinya telah lapuk. ”Kios itu dibangun untuk menyambut Cap Go Meh. Saat itu, jumlah pengunjung banyak sekali. Jalan saja sulit, apalagi yang punya anak, harus berhati-hati agar anaknya tidak terpisah,” tutur Marlina, petugas kebersihan di lingkungan kelenteng.

KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM Kompleks Kelenteng dan Pagoda Hok Cing Bio di Pulau Kemaro, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (24/1/2014), dilihat dari Sungai Musi. Pulau di tengah Sungai Musi ini menjadi tujuan ratusan ribu orang dari sejumlah daerah setiap perayaan Cap Go Meh atau bulan purnama pertama setelah Imlek.
Kondisi Kemaro yang berada di tengah sungai memang cukup lengang. Sesekali suara mesin perahu yang melaju di sela-sela tongkang batubara yang tengah tertambat tidak jauh dari kelenteng memecah kesunyian. Sementara di seberang, gedung pabrik Pupuk Sriwijaya kokoh berdiri.

Linda, juru kunci kelenteng, sibuk memasang hio di beberapa altar persembahan. Menurut dia, tidak ada persiapan khusus yang membedakan penyambutan Imlek tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya.

”Saat Imlek, biasanya pengunjung datang ke sini khusus untuk sembahyang saja. Sementara mereka yang ingin jalan-jalan bisa memanfaatkan area luar kelenteng. Mereka semua warga Palembang, baik yang menetap maupun yang telah lama merantau ke luar daerah,” katanya.

Jejak Cheng Ho

Masyarakat Tionghoa di Palembang telah ada sejak berabad-abad silam. Saudagar asal Tiongkok menjadi salah satu dari beberapa etnis yang melayari Sungai Musi saat Kerajaan Sriwijaya berdiri. Bahkan, Laksamana Cheng Ho disebut-sebut pernah beberapa kali datang ke Sriwijaya dalam rangka diplomasi kebudayaan. Nama Cheng Ho pun diabadikan menjadi nama salah satu masjid di ”kota pempek” ini.

Bambang Budi Utomo dalam buku "Cheng Ho: Diplomasi Kebudayaan di Palembang" yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menyebutkan, 600 tahun lalu, Kaisar Tiongkok Yung Lo memerintahkan Cheng Ho memimpin armada besar dalam rangka muhibah ke berbagai penjuru dunia. Dalam waktu 28 tahun, tujuh kali Cheng Ho memimpin armada pelayaran itu. Empat kali di antaranya merupakan kunjungan ke Palembang.

Selain untuk menjalin misi kebudayaan, tujuan kedatangan Cheng Ho ke Palembang juga untuk meringkus pelarian bajak laut dari Tiongkok bernama Ch’en Zuyi. (Defri Werdiono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com