Menuju teras empat, Miftah harus berpindah (traverse) ke kiri menyusur celah tebing di bawah tebing yang menggantung (overhang). Untuk menuju teras lima, ia harus menyeimbangkan gerakan melewati jarak sekitar 10 meter. Beberapa kali ia terlihat kembali melompat-lompat untuk melewati jalur overhang ini. Panas matahari yang membakar kulitnya tak ia pedulikan. Seperti unta yang memiliki cadangan air di punuk, ia tak sedikitpun merasa haus. Terus memanjat dan menambah ketinggian di tebing yang menghadap Waduk Jatiluhur di arah selatan.
Turun tanpa tali
Sinar matahari perlahan berlindung di balik tebing. Bengisnya mulai melunak. Berganti dengan senja yang segera menggelayut. Setelah mencapai ketinggian hampir 150 meter dari kaki tebing, pemanjatan terpaksa dihentikan. Ia kembali turun menuju teras satu. Yang mengherankan adalah ia menuruni tebing dengan cara yang sama. Tanpa bantuan alat alias solo free climbing.
Saya bersama teman-teman pemanjat lain dari Kampung Cihuni menunggu di teras satu yang sedikit ditumbuhi rumput. Dari sini, Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) terlihat terbang datar tanpa mengepakkan sayap. Bukit-bukit batu andesit, permukiman, persawahan, dan Waduk Jatiluhur menghampar berjajar.
Aksi pemanjatan “gila” ini berakhir karena senja. Satu persatu dari kami mulai menuruni tebing dengan teknik rappeling –teknik turun meluncur dengan bantuan tali-. Tebing yang terletak di Kampung Cihuni, Desa Sukamulya, Kecamatan Tegalwaru, Purwakarta ini menyisakan kengeriannya. Menjulang tinggi ditutup kabut sore. Miftah, sang manusia cicak berhasil meniti tebing sampai teras empat tanpa pengaman apapun. WAHYU ADITYO PRODJO
Klik juga videonya DI SINI.