Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mangut Gabus dan Legenda Ki Ageng Mangir

Kompas.com - 12/03/2015, 08:53 WIB

MANGUT lele, itu mudah ditemukan di banyak tempat makan di Yogyakarta dan sekitarnya. Namun, mangut ikan gabus, itu tergolong menu langka. Di tepian Sungai Progo kami menikmati lezatnya mangut gabus, sambil mengenang legenda Ki Ageng Mangir.

Guncangan mobil diayun jalanan Desa Sendangsari, berakhir di sebuah turunan landai, di tepi Tempuran Ngancar atau persuaan Sungai Bedhog dan Sungai Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gemeresik pepohonan di lereng yang teduh menyusup di antara pondok-pondok kecil di Rumah Makan Legokan Ngancar.

Mendaki tangga dapur utama, senyum ramah Basri (62) dan Surat (53), suami-istri pengelola warung makan itu, menyambut.

”Hari ini, semua menu tersedia, kecuali ikan sidat. Sudah dua hari ini tidak ada tangkapan ikan sidat. Stok kami habis diborong tamu dari Jakarta,” tutur Basri.

Segala menu yang disajikan di Rumah Makan Legokan Ngancar adalah olahan berbagai jenis tangkapan para warga Dusun Mangir yang memancing atau menjala ikan di muara Sungai Bedhog. Ikan sidat sayangnya tidak tersedia, tapi tebaran harum gurih ikan gabus yang sedang digoreng menjanjikan.

”Ikan gabus pilihan terbaik setelah ikan sidat tentunya,” kata Surat tertawa.

”Mau digoreng saja atau dimangut?” tanya Surat menawarkan cara masakan ikan gabus dengan santan yang gurih dan sedikit pedas itu.

”Udang goreng ada, wader goreng juga ada. Sambalnya kami punya banyak jenis sambal, tapi saya sarankan mencoba sambal belut,” Basri menawarkan.

Sementara Surat bergegas memetik batang keladi dari kebunnya, menyiapkan sayur lompong pesanan.

Ki Ageng Mangir

Di warung Basri dan Surat, tiap sajian baru dimasak setelah dipesan. Kami menunggu 40 menit sebelum santapan datang. Teh panas dengan gula batu menjadi teman pas duduk-duduk di pondok-pondok kecil yang berjajar di tepi tempuran Sungai Bedhog dan Progo.

Pintu air yang memisahkan Sungai Bedhog dan Sungai Progo yang juga menjadi ”jembatan” penghubung antara Dusun Mangir dan Dusun Siangan selalu penuh dengan pemancing. Langkah kaki menelusurinya membawa mata menatap hamparan Sungai Progo yang luas, memisahkan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo.

Mangir, nama dusun di tepi muara itu, menyeret ingatan tentang nama besar Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Ki Ageng Mangir dan Dusun Mangir merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah berdirinya Mataram—kerajaan cikal bakal Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.

Mangir adalah dusun kecil yang ada jauh sebelum berdirinya Mataram dan tak pernah tunduk kepada Kerajaan Pajang. Ketika Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram pada 1556, Dusun Mangir juga tak tunduk kepada kerajaan baru yang beribu kota di Kotagede, Yogyakarta, itu.

Ki Ageng Mangir, generasi ketiga dari pemimpin perdikan Mangir, menginginkan orang Mangir menjaga martabatnya sebagai orang merdeka. Ki Ageng Mangir menolak menyembah manusia lain karena meyakini tiap manusia sederajat di hadapan Sang Pencipta. Ki Ageng Mangir menolak kasta dan primordialisme, pada masa 200 tahun sebelum Revolusi Perancis menumbangkan monarki absolut Perancis.

Begitu kontroversial pemikiran Ki Ageng Mangir, hingga kadang orang Mangir dilekati cibiran sebagai ”para pembangkang”. Meski selalu mempercakapkannya dengan rendah hati dan hati-hati, orang Mangir jelas membanggakan sejarah perdikan Mangir dan Ki Ageng Mangir.

Sejarah panjang Dusun Mangir tersisa dalam banyak situs sejarah yang dihormati warganya. Mulai dari situs Lembu Andini, Linggayoni, Batu Lumpang, Batu Gilang, hingga tentu saja petilasan Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Letak Rumah Makan Legokan Ngancar sendiri terletak 300 meter arah barat daya petilasan Ki Ageng Mangir Wonoboyo.

KOMPAS/ARYO WISANGGENI GENTHONG Penyajian santapan di Rumah Makan Legokan Ngancar yang terletak di tepi Tempuran Ngancar, persuaan Sungai Bedhog dan Sungai Progo, di Dusun Mangir, Desa Sendangsari, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (23/2/2015).

Dusun di Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, itu menjadi salah satu daerah yang diguncang gempa tahun 2006. Gempa itu pula yang mengawali riwayat Rumah Makan Legokan Ngancar. Basri awalnya membangun gubuk sederhana sebagai tempat mengungsi bagi warga yang rumahnya rusak berat. Gubuk itulah yang kini menjadi pondok-pondok tempat bersantap.

”Warga pencari ikan mengeluh, harga jual tangkapan mereka terlalu murah. Akhirnya, saya mencoba menjamu teman sekantor yang ternyata menyukai suasana Tempuran Ngancar. Mulailah kami mencoba membuka rumah makan,” kata Basri.

Sayur lompong

Mangir memang punya banyak cerita, tetapi Rumah Makan Legokan Ngancar bukan hanya kondang adonan legenda dan fakta sejarah Dusun Mangir. Persis saat kaki selesai menjelajah Tempuran Ngancar dan tepian Sungai Progo, Suginah keluar dari dapur Surat, menyuguhkan menu-menu pesanan.

Ikan gabus goreng jadi sasaran pertama, mencicipi rasa asli ikan yang menyerupai lele. Namun, ikan gabus punya tekstur daging yang lebih lembut, juga rasa yang lebih gurih, benar-benar lezat disantap bersama nasi hangat. Bahkan tanpa imbuhan rasa seperti sambal atau sayur sekalipun.

”Sekarang, cicipi mangut ikan gabusnya,” tawar Basri tersenyum, menyodorkan sepiring santan mangut kekuningan, dengan aroma kencur yang menyegarkan, membalur kuyup ikan gabusnya. Basri pantas membanggakan masakan istrinya. Santan mangut itu sungguh segar, meresap di daging lembut ikan gabusnya.

Di kuah santannya, rasa kencur yang menyegarkan berpadu dengan aroma cabai dan sedikit rasa manis. ”Semua ini resep turun-temurun. Saya tidak pernah belajar resep lain selain yang biasa kami masak di rumah sendiri,” ujar Surat tertawa.

Sayur lompong Surat juga istimewa dan wajib dipesan pengunjung pertama rumah makan ini. Rasanya sedikit manis, juga sedikit pedas, ”daging” batang daun lompongnya kenyal dan segar. Sesekali tangan menjumput ikan wader—”teri” ikan air tawar yang gurih—mencocolkannya ke semangkuk sambal bawang.

Yang lebih istimewa lagi adalah sambal belut racikan Surat. Sambal itu istimewa karena Surat piawai mengolah belutnya agar tak terasa liat. Bumbu cabainya, dengan rasa pedas yang sedikit menyentak, berpadu dengan aroma kencur, hmm…, sempurna untuk menikmati nasi hangat berkuah mangut.

Mangut ikan lele memang lezat, tetapi mangut ikan gabus masakan Surat dan Suginah memang berlipat lezatnya. Baik karena ikan gabusnya yang memang lebih enak disantap dibandingkan lele maupun karena racikan bumbu Surat.

Semilir angin bertiup dari arah hulu Sungai Gedhog menyejukkan keriuhan bersantap di tepian Tempuran Ngancar, ditemani desir lembut air Sungai Bedhog menyapa Sungai Progo. (ARYO WISANGGENI G)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com