Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ni Ketut Arini, Kesetiaan untuk Tari Bali

Kompas.com - 14/03/2015, 10:35 WIB
NI Ketut Arini (72), penari asal Denpasar, Bali, ini tidak pernah berhenti menari. Mengajar tari Bali di sanggarnya atau melayani panggilan melatih di luar negeri menjadi keseharian Arini, panggilannya. Oleh karena kesetiaannya pada tari, Arini ingin tetap menjaga dan melestarikan seni tari Bali melalui ratusan anak didiknya sampai kapan pun itu.

Menari, bagi Arini, bagai menyatu dalam jiwanya. Sejak berumur sekitar tiga tahun, dia sudah belajar menari. Jiwa seni dalam tubuh Arini mengalir dari ayahnya, seorang penabuh gamelan. Seringnya dia melihat pementasan tari Bali di puri-puri keraton membuat obsesi Arini pun bertumbuh.

Tahun 1957 dia sudah menjadi penari pilihan untuk upacara Sang Hyang Dedari di Banjar Pande Sumerta Kaja, Denpasar. Pada waktu itu, bisa tampil dalam upacara tersebut menjadi kebanggaan bagi seorang penari.

”Saya bertekad harus menjadi penari. Saya harus serius belajar (menari). Bahkan, saya tidak pernah berhenti belajar menari sampai sekarang,” kata Arini.

Legong menjadi salah satu tarian keahlian Arini. Terbukanya keran pariwisata membuka peluang masyarakat untuk naik ke pentas tari. Alasannya, tarian seperti Legong sebelumnya terbiasa hanya dipentaskan di keraton.

Arini kemudian bercerita, banjar-banjar pada masa remajanya ramai menjadi tempat latihan sekaligus pementasan tari-tarian. Turis-turis mancanegara pun sering berdatangan ke banjar untuk menyaksikan tari-tarian yang dipentaskan.

Seiring berjalannya waktu, banjar pun kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan adat hingga pementasan tari-tarian untuk pariwisata. Anak-anak dan remaja juga giat dan bersemangat berlatih tari. Kegiatan tari-menari itu kemudian tidak hanya untuk kepentingan pada upacara-upacara adat di pura-pura.

Entah mengapa, lanjut Arini, kegiatan tari-menari serta pementasannya lambat laun menghilang memasuki tahun 1980-an. Pementasan tari-tarian Bali kemudian berpindah ke hotel-hotel serta obyek-obyek wisata. Sesekali pementasan tari masih berlangsung, tetapi biasanya hanya ketika ada seremoni.

Kondisi tersebut menjadi keprihatinan Arini. Dia khawatir anak-anak muda tidak lagi berminat untuk belajar menari. Banjar-banjar pun terkena imbasnya, dan mulai sepi dari kegiatan tari-menari.

”Beruntung, saya belajar dari guru-guru terbaik di Bali kala itu. Oleh karena itulah, saya ingin terus berbagi ilmu (menari Bali) kepada siapa pun yang mau belajar,” kata Arini dengan serius.

Belajar dari maestro

Memiliki darah seni mempermudah Arini memahami karakter tari-tarian yang dipelajarinya. Dia berkeyakinan, keseriusannya dalam belajar di sekolah seni hingga berguru kepada para maestro tari Bali tidak akan sia-sia.

I Wayan Rindi dan I Nyoman Kaler merupakan dua di antara guru-guru tari terbaik bagi Arini, khususnya untuk tari Legong. Selama hampir 40 tahun, ibu empat anak ini menggeluti tari Legong. Tidak heran kalau 15 jenis tari Legong yang ada telah dikuasainya.

Kepiawaian Arini menarikan tari-tarian Bali membuat dia sering kali diminta untuk mengajar di luar negeri, seperti Jepang dan Filipina. Tak sedikit pula mahasiswa asing dan penari asal mancanegara juga berdatangan ke sanggar yang berada di rumahnya.

Mereka belajar menari Bali di sanggarnya. Arini memang tidak pernah menolak siapa pun yang datang untuk belajar menari. Dia justru merasa senang jika semakin banyak anak muda yang mau belajar menari Bali.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com