Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Hening Merawat Warisan Parmalim

Kompas.com - 15/03/2015, 15:20 WIB

KEBERSAHAJAAN, welas asih, dan semangat menaati aturan menjadi tiga pilar keyakinan yang mewujud dalam harmoni hidup penghayat Parmalim, kepercayaan asli kaum Batak. Berabad-abad, kredo ini lentur menghadapi tantangan peradaban hingga terus diwariskan ke generasi berikutnya. Di jalan hening, mereka setia merawat warisan nilai leluhur dan moyangnya.

Angin malam kian menusuk tulang, kala Pitua Silalahi (16) dan delapan remaja seusianya memasuki pelataran Bale Pasogit, rumah ibadah Parmalim di Desa Huta Tinggi, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Jarum jam menunjukkan pukul 23.35. Kaki-kaki mereka dientakkan ke lantai, seiring rancak irama gondang hasapi. Lelah tak tergurat di wajah walau siang harinya mereka menunaikan ritual Sipaha Sada hingga berjam-jam.

Mengenakan baju serba putih bersarung mandar (sarung Batak) dan ulos melintang di badan, 12 kelompok remaja, termasuk yang diikuti Pitua, menarikan tortor (manortor) di hadapan tetua Parmalim.

”Untuk lomba ini, kami berlatih gerak dan pantun selama tiga minggu. Saingannya bagus-bagus. Tapi, kalah dan menang enggak penting, yang lebih penting bisa ikut meramaikan acara dan belajar manortor yang benar,” ujar Pitua yang pelajar SMA itu.

Setelah semua kelompok pentas, tetua-tetua adat yang menyaksikan pertunjukan dari kejauhan maju satu per satu memberikan masukan. ”Gerakan saat berjinjit harusnya ritme tubuh ditarik ke atas. Bukan ditekan ke bawah,” ujar seorang tetua adat mengomentari gerakan inti tortor yang didominasi gerak jinjit berulang-ulang.

Kelompok-kelompok remaja penari tortor itu merupakan wakil desa atau komunitas penghayat Parmalim di lokasi mereka menetap. Pada Jumat (20/2/2015) itu, ratusan penghayat ”Ugamo Malim” mengikuti perayaan Sipaha Sada, upacara menyambut tahun baru penanggalan Batak, sekaligus memperingati kelahiran para pemimpin spiritual Parmalim. Ugamo dalam bahasa Batak berarti ’agama’, sementara Malim menyerap bahasa Melayu bermakna ’orang-orang dengan ilmu agama tinggi’.

Sedikitnya 500 orang dari seluruh Indonesia berkumpul di Kompleks Penghayat Parmalim di Desa Huta Tinggi yang terletak sekitar 15 kilometer sebelah timur Balige, ibu kota Kabupaten Toba Samosir. Bus-bus dan mobil berderet mengantarkan para penganut Parmalim menunaikan salah satu ritual wajib mereka itu.

Kaum muda

Menariknya, justru yang terlihat lebih banyak di antara mereka adalah kaum muda dan anak-anak. Ini pemandangan cukup langka di kelompok penghayat keyakinan lokal tradisional di tengah arus deras modernitas.

Menurut Monang Naipospos, juru bicara komunitas penghayat Parmalim, kaum muda sengaja disediakan ruang berkreasi untuk menumbuhkan kecintaan mereka kepada komunitas asal nenek moyang. Ketika menginjak usia remaja, mereka juga mulai diberi tanggung jawab dalam berbagai kegiatan adat, misalnya menyiapkan makanan bagi penghayat selama menunaikan ritual yang biasanya berlangsung beberapa hari.

Saat masih kecil, generasi muda Parmalim biasanya mewarisi keyakinan yang dianut orangtuanya. Namun, kata Monang, ketika menginjak remaja, mereka tetap diberi ruang untuk memilih apakah akan tetap mengikuti tradisi itu atau tidak.

Sopian Silalahi (22), pengikut Parmalim yang juga mahasiswa Jurusan Bahasa Jerman Universitas Medan, menuturkan, sejak kecil, dia sudah sering diajak orangtuanya mengikuti upacara di Desa Huta Tinggi. Menginjak usia remaja, dia mulai memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikan budaya asli Batak dalam ritual-ritual Parmalim.

Tak hanya melebur dalam ritus, Sopian juga mengamalkan keyakinan Parmalim dalam hidup sehari-hari. Salah satunya taat aturan, di antaranya dalam berlalu lintas. ”Saya risi dengan teman-teman kampus yang merasa bangga jika melanggar rambu lalu lintas. Bagi kami, itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan,” katanya.

Di lingkungan kampus, anak-anak muda Parmalim acap berkumpul. Selain peribadahan setiap Sabtu, mereka juga bertemu untuk belajar memainkan alat musik gondang Batak, mulai dari seruling, terompet, hingga taganing (satu set gendang bernada). Lagu-lagu tradisional Batak acap terlantun saat mereka berkumpul, alih-alih lagu pop modern. Mereka juga taat pantangan, seperti tidak makan babi, anjing, dan darah hewan.

Dalam berbagai ritual, anak-anak muda ini juga menghayati tradisi seperti halnya orang-orang tua. Seperti halnya saat upacara Sipaha Sada. Mereka bergiliran menyambut para tamu dari jauh dan mengarahkannya ke bilik-bilik tempat istirahat yang berada di sekitar kompleks peribadatan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com