Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Hening Merawat Warisan Parmalim

Kompas.com - 15/03/2015, 15:20 WIB

Semangat Sisingamangaraja

Mereka juga menunaikan persiapan pelaksanaan upacara agung ini. Dua hari sebelumnya, mereka berpuasa selama sehari semalam tanpa berbuka. Awal puasa dan berbuka dilakukan dengan memakan makanan pahit, disebut mangan napaet, sebagai simbol dan sekaligus wahana kontemplasi menghayati perjuangan hidup yang penuh kepahitan dan kegetiran.

Ria Sitorus (29), pemudi Parmalim yang aktif menulis sastra, mengemukakan, dalam upacara Sipaha Sada, para remaja ikut menyiapkan bahan makanan.

Untuk mengikuti upacara, para penganut Parmalim wajib mengenakan busana khusus sesuai tingkatan mereka dalam kehidupan. Pria remaja mengenakan jas berselempang ulos dari jenis ragi hotang dan sarung ulos dari jenis bintang maratur. Pria yang sudah menikah menggunakan surban yang disebut tali-tali berwarna putih menandakan kesucian.

Pemimpin umat menggunakan tali-tali berwarna hitam yang menandakan kepemimpinan dan tanggung jawab. Perempuan diwajibkan mengenakan sarung berbentuk ulos jenis runjat, kebaya, serta selendang (hande-hande) dengan variasi corak, seperti sadum, bintang maratur, dan mangiring. Sementara tatanan rambut memakai gaya sanggul toba, yakni menggelung rambut ke bagian dalam.

Barulah saat surya tepat di atas kepala, upacara dimulai dengan masuknya Ihutan, pimpinan umat Parmalim, ke Bale Partonggoan. Lazimnya tradisi Batak Kuno, bahan-bahan untuk pelean berasal dari hewan atau hasil pertanian terpilih.

Pelean lalu dibawa ke lantai dua Bale Partonggoan secara berantai. Di tempat ini, Raja Ihutan memastikan letak dan arah pelean. Selanjutnya, dia akan kembali turun untuk memimpin upacara Sipaha Sada yang berlangsung khidmat sekitar lima jam.

Ihutan Parmalim, Raja Manokkok Naipospos, mengatakan, dalam sejarah, generasi muda memegang peran penting dalam perjuangan kaum Parmalim yang menyembah Debata Mulajadi Nabolon sebagai Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Itu dimulai dari perlawanan Sisingamangaraja XII, raja muda Batak yang juga pemeluk Ugamo Malim, untuk melindungi adat istiadat mereka dari pengaruh Barat dan kaum Padri di Tanah Minang.

Setelah Sisingamangaraja mangkat pada 1907, pengikut Parmalim yang lalu dipimpin Raja Mulia Naipospos, kakek Raja Manokkok, membangun sekolah Parmalim, semacam asrama bagi generasi muda. Di sini, selain nilai-nilai dan tradisi Batak, mereka diajari pula berhitung hingga bahasa asing.

Sekolah itu ditutup pada 1945 seiring Indonesia merdeka. Namun, jalan terjal ternyata masih menghadang sekitar 6.000 penganut Parmalin di penjuru Nusantara dalam melindungi tradisi dan keyakinan.

Mereka seolah terpinggirkan oleh bangsa sendiri, dengan sulitnya pengurusan catatan sipil administrasi pemerintahan. Seakan penghayat kepercayaan di luar bingkai hukum negeri ini. Kembali lagi ditelan sunyi, kaum Parmalim erat merawat tradisi tanpa lupa identitas keindonesiaan mereka. (Gregorius Magnus Finesso)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com