Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bersama Camar Menuju Pulau Liwungan

Kompas.com - 16/03/2015, 13:48 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

AWAN-AWAN bergumpal layaknya kapas-kapas yang bertebaran mengiringi perjalanan rombongan rekan-rekan Blogger Visit Tanjung Lesung. Biru langit terkadang hanya menampakkan sedikit warnanya. Pagi di hari terakhir kunjungan, Sabtu (14/3/2015), KompasTravel, para jurnalis media lain, travel blogger, instagramer, dan manajemen PT Banten West Jawa akan beranjak ke Pulau Liwungan.

Makanan olahan hasil laut berhasil menjejali perut. Tak hanya, perut yang kenyang, mata pun juga. Tempat kami bersantap ria langsung menghadap ke Samudera Hindia. Nyiur melambai-lambai serasa mengajak terbuai dalam alunan angin menuju laut. Biru air kolam renang tak mau kalah untuk menyihir belasan pasang bola mata. Namun, bus pariwasata tumpangan kami telah menderu-deru siap meninggalkan lapangan parkir penginapan.

Sawah-sawah menguning menghampar di sisi kiri jalan. Kadang terselip pohon kelapa tumbuh di tengah-tengah. Sementara bus mulai perlahan keluar dari labirin pepohonan hijau rindang. Riuh tawa lepas menghiasi suasana perjalanan. Semua tak sabar menuju pulau yang berjarak sekitar tiga kilometer dari daratan ini. Setelah bus meliuk-liuk dan kadang juga mengguncang-guncang isinya, kami tiba di titik penyeberangan.

“Ini berapa menit nyeberang ke pulau, Pak?" tanya Vira, travel blogger asal tanah Minang kepada salah satu nelayan.

“Sekitar 45 menit, Mbak,” jawab salah satu nelayan sambil membereskan tali-tali kapal.

Rombongan mulai naik ke dua kapal yang telah dipesan untuk mengantarkan kami ke seberang pulau. Air asin mulai membasahi kaki tatkala mulai meniti tangga naik ke kapal bermesin diesel ini.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Rombongan Blogger Visit Tanjung Lesung memberi makan burung camar di tengah perjalanan menuju Pulau Liwungan, Sabtu (14/3/2015).

Sang nakhoda kapal mulai menginstruksikan anak buah kapal untuk menaikkan jangkar. Semua penumpang telah mengambil posisi terbaik untuk membidik obyek-obyek lewat lensa kamera. Menurut Alya Shafirah, pihak manajemen PT Banten West Java, di sekitar keramba ikan akan ada burung camar yang terbang rendah untuk mencari makan. Sebuah ember yang berisi ikan-ikan laut berada di sudut kapal menunggu para penumpang untuk melemparkan ke laut.

“Itu.. itu.. burung camarnya,” kata salah satu nelayan sambil menunjuk keramba. Kontan semua penumpang mulai berdiri dan menekan tombol rana kamera ke arah burung-burung camar. Sambil terbang melayang-layang rendah, burung itu bersiap menukik untuk menyambar ikan. Hampir 100 ekor burung terbang mengelilingi kapal yang kami tumpangi. Menurut sang nelayan, waktu terbaik untuk melihat burung camar adalah mulai pukul 06.00 WIB.

Bagi para nelayan, burung camar adalah teman ketika melaut. Kepakan sayapnya selalu menyambut kapal yang akan merapat ataupun mengarungi laut. Sang camar hidup berkelompok dan bertengger di atas keramba ikan. Setia menunggu sang manusia laut datang kala pagi hari. Terkadang, para nelayan iba pada sang camar. Ikan-ikan kecil kerap dilempar untuk sekadar untuk sarapan pagi ketika sang nelayan ingin pulang.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Keramba ikan di tengah laut milik para nelayan di Kecamatan Panimbang, Sabtu (14/3/2015).

Keramba-keramba bambu mulai menghilang dari pandangan. Pelan-pelan kapal kayu merangsek memecah ombak. Menengok ke belakang, garis Pantai Tanjung Lesung dan perbukitan menyapa dari kejauhan. Baling-baling mesin berputar kencang mendorong laju kapal. Sang nakhoda dengan tenang mengendalikan kemudi kapal agar tetap pada jalur. Sementara kapal yang lain, terengah-engah mengejar kapal yang saya naiki. Hampir 30 menit kami berada di tengah laut. Aroma asin selalu menyelinap masuk lewat lubang hidung.

“Jangkar siapin.. Talinya juga buat ke jembatan,” kata nakhoda kapal. Saat ini, tinggal 100 meter untuk tiba ke pulau. Jembatan kayu dengan panjang sekitar 50 meter menjadi sandaran kapal. “Pelan-pelan. Hati-hati langkahnya,” kata anak buah kapal yang berada di jembatan. Satu lompatan kecil berhasil membuat saya menjejakkan kaki di Pulau Liwungan. Di ujung jembatan, satu rumah berbahan kayu dan beratapkan jerami menjadi awal pemandangan ketika tiba di pulau. Beberapa saung tampak tak terawat.

“Selamat datang di Pulau Liwungan,” kata pria paruh baya sambil menjabat tangan saya. Pria tersebut bernama Yanto (41) yang telah 7 bulan tinggal di Pulau Liwungan sebagai penjaga. Ia hanya tinggal bersama keluarga kecilnya di pulau ini. Namun sang istri sedang pergi ke daratan Pandeglang untuk berbelanja kebutuhan logistik yang telah habis. Ia bercerita biasanya ada nelayan yang dapat dititipkan untuk berbelanja. Sambil berbincang-bincang, kami pergi menelusuri hutan dan pantai.

Pulau Liwungan adalah sebuah pulau kecil yang mempunyai luas 45 hektar. Secara administratif, lokasi pulau masih termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten. Jarak tempuh dari pinggir pantai Desa Tanjung Jaya sekitar 45 menit dengan kapal nelayan bermesin diesel. Kelestarian pulau dijaga oleh satu keluarga yang ditugaskan oleh Pemerintah Daerah Pandeglang.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Pak Yanto, penjaga Pulau Liwungan sedang memeriksa satu-satunya sumber air bersih di pulau yang berluas 45 hektar, Sabtu (14/3/2015).

“Pak di sini kalau air bersih bagaimana? Ada sumbernya?” kata saya.

“Ada mas. Aman kok kalau untuk kebutuhan sehari-hari. Cuma ya kadang harus ngirit,” Yanto bertutur.

Sebuah sumur tua berjarak sekitar 50 meter di belakang rumah menjadi sumber pemenuhan kebutuhan air. Walaupun berada di tengah laut, airnya bening dan tak berasa asin ketika saya mencoba meminumnya langsung. Saya bersama Vira, Radit, dan Velisha kembali menelusuri hutan yang penuh ditumbuhi rumput dan beberapa pohon kelapa.

Kicauan burung menemani kami membelah hutan yang cukup membuat kami gerah. Buah kelapa yang telah dibelah tercecer di beberapa sudut jalur. Ranting-ranting pohon sedikit menghalangi medan penelusuran. “Saya lupa bawa golok buat bersihin jalur. Kemarin jalurnya sudah saya bersihin waktu nganter bule Jerman. Musim ujan jadi tumbuh cepet,” kata pria yang menjadi pemandu kami. Setelah berjalan hampir 100 meter, kami tiba di ujung pulau yang dikenal dengan titik Batu Pemecahan.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Pantai Batu Pemecahan di ujung barat Pulau Liwungan, Sabtu (15/3/2015).

Yanto menjelaskan jika datang ketika surut, kami dapat menelusuri garis pantai. Saat ini kami hanya menikmati berjalan di atas batu-batu karang dan mengabadikan beberapa momen ketika singgah di sini. Di ujung horizon, daratan Pulau Jawa masih terlihat. Di sekitar Batu Pemecahan juga merupakan titik snorkeling untuk mengamati ikan-ikan yang hidup di karang-karang. Namun saya tak dapat mencoba kesempatan berenang itu. Velisha sudah berteriak untuk segera kembali ke kapal karena hari telah makin siang dan harus segera pulang.

Kami menelurusi garis pantai untuk kembali. Untuk mempersingkat waktu, jalur membelah hutan tidak kami lewati lagi. Sepasang kaki melangkah sambil dihempaskan ombak kecil. Karang-karang tajam menghadang. Jika tak mau melewati air laut dengan dalam lebih dari 50 cm, jalur yang dipilih harus agak menjauhi pantai. Kepala pun dibuat merunduk agar terhindar dari benturan batang pohon yang menjulur tak beraturan. Kadangkala kaki tergores karena alas kaki yang tak menutup seluruh bagian. Dengan bersusah payah, setelah menelusuri garis pantai sejauh 150 meter, kami pun tiba di dermaga. Kami berpamitan dengan sang penunggu pulau. Selamat tinggal Pulau Liwungan...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com