Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenangan Sepenggal Pameungpeuk

Kompas.com - 25/03/2015, 12:27 WIB
KABUPATEN Pameungpeuk di selatan Garut, Jawa Barat, memesona sebagai primadona vakansi tuan dan nyonya Belanda. Jejaknya antara lain bisa dilihat dari foto-foto tua tahun 1920-an di situs Museum Tropen, Belanda. Bagi penduduk lokal, keindahan gunung dan laut di Pameungpeuk itu kini banyak yang tinggal kenangan.

Thilly Weissenborn (1889-1964) adalah perempuan fotografer pertama di Hindia Belanda yang jatuh hati sekaligus mendokumentasikan keindahan Indonesia masa lampau. Karya perempuan asal Jerman yang lahir di Jawa Timur, menetap di Belanda, dan 20 tahun tinggal di Garut ini antara lain foto pantai di Pameungpeuk, foto interaksi warga lokal dengan pihak kolonial Belanda, hingga indahnya kelokan tajam perbukitan dari kota Garut menuju Pameungpeuk.

Dalam foto karya Thilly antara lain terlihat turis Belanda ditemani penduduk lokal sedang tertawa sembari duduk santai di pasir Teluk Cilauteureun, Pameungpeuk. Kini, hanya warga lokal yang menyebut pantai tersebut sebagai Pantai Cilauteureun, wisatawan justru mengenalnya dengan nama Pantai Santolo. Jepretan Thilly memperlihatkan pula jembatan rel lori besi di pantai ini sebagai sarana pengangkutan hasil perkebunan, seperti teh dan karet.

Kehadiran jembatan lori dan bangunan bekas dermaga masih melekat dalam ingatan penduduk lokal, tetapi kini wujudnya telah menghilang. T Bachtiar (56), dosen di Uninus Bandung, Jawa Barat, yang lahir dan besar di Pameungpeuk masih merekam kehadiran pelabuhan alami hingga jembatan lori di Cilauteureun ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Seperti terekam dalam kamera Thilly, pantai-pantai di Pameungpeuk, dalam kenangan Bachtiar, merupakan pantai perawan yang unik.

Keunikan pantai Pameungpeuk itulah yang membuat Bachtiar selalu rindu pulang kampung. Dulu, di Pantai Cilauteureun terdapat air terjun laut. Hingga Bachtiar duduk di bangku SMA, air terjun laut sepanjang 30 meter dengan tinggi 1 meter itu masih bisa dijumpai. Air terjun laut terbentuk karena aliran air sungai di muara Sungai Cilauteureun seperti tiba-tiba berhenti mengalir karena terhalang air laut yang lebih tinggi dari permukaan sungai.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Infrastruktur jalan dari kota Garut menuju Pameungpeuk sudah terbangun sejak era penjajahan Belanda dengan kelokan tajam dan pemandangan hutan serta air terjun.
Dari fenomena air laut yang terjun ke muara sungai inilah, Cilauteureun memperoleh namanya yang bermakna air yang berhenti mengalir. Sayangnya, air terjun laut ini pun tergerus pembangunan. Dengan alasan meratakan pantai agar nelayan bisa mudah mendarat pada musim kering, air terjun laut dimusnahkan untuk pembuatan kanal. ”Setelah air terjun laut hilang, nelayan tetap sulit mendaratkan perahu. Inilah kekeliruan pembangunan,” kata Bachtiar.

Gumuk pasir

Kekeliruan pembangunan lain yang justru menghancurkan keelokan pantai bisa dijumpai di Pantai Sayang Heulang yang terletak bersebelahan dengan Pantai Cilauteureun. Jika Pantai Cilauteureun memesona mata dengan hamparan pasir putihnya yang luas, Pantai Sayang Heulang unik dengan hamparan pantai berkarang sepanjang lebih dari 100 meter. Akibatnya, ombak pecah jauh sebelum mencapai pasir pantai.

Dulunya, Pantai Sayang Heulang juga memiliki gumuk pasir. Lagi-lagi, sayangnya, gumuk pasir sepanjang 3 kilometer di pantai ini diratakan demi alasan pembangunan pariwisata pada tahun 1980-an. Hanya tersisa sebagian gumuk di bagian timur pantai. Gumuk pasir ini awalnya membentang dari muara Sungai Cipelebuh sepanjang 15 kilometer dan seharusnya menjadi senjata ampuh penangkal tsunami alamiah.

Padahal, gumuk pasir sejatinya merupakan atraksi wisata alami yang sangat menarik. Selain di Pameungpeuk, gumuk pasir serupa di Indonesia hanya bisa dijumpai di Parangtritis, Yogyakarta. ”Seharusnya cukup melestarikan gumuk, tak perlu membangun tembok penangkal tsunami seperti di Jepang,” ujar Bachtiar yang juga merupakan pegiat geotrek dan menulis sejumlah buku, seperti Bandung Purba dan Lalang Bumi.

Pantai-pantai di Pameungpeuk punya sejarah unik sebagai pangkalan kawasan militer zaman Belanda dan Jepang. Hingga kini, masih banyak peninggalan bungker yang ditemui di sepanjang pantai. Sempat tertutup untuk masyarakat umum, pantai kemudian berkembang menjadi destinasi wisata regional. Lahan yang dulunya menjadi kawasan militer tersebut kini dikelola oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional sebagai lokasi peluncuran roket.

Selain pantai, destinasi wisata lain yang menarik di Pameungpeuk adalah Gunung Nagara. Gunung di bagian utara ini punya nilai mistis yang kental. Warga sekitar percaya, Gunung Nagara merupakan tempat tinggal harimau jelmaan dari Prabu Siliwangi.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Pantai Sayang Heulang memiliki hamparan pantai berkarang sepanjang lebih dari 100 meter.
Dengan jarak tempuh 84 kilometer dari kota Garut, perjalanan menuju Pameungpeuk melalui Cikajang sekaligus menjadi pengalaman tak terlupakan. Memasuki kawasan perkebunan teh dan hutan berkayu raksasa, stamina tubuh diuji oleh pengalaman menyusuri jalanan dengan banyak kelokan tajam. Kelokan ekstrem ini terbentuk karena jalan aspal ini dibuat mengikuti kontur bukit dan lembah yang seolah berlapis-lapis.

Pada beberapa ruas jalan, tampak papan peringatan bahaya longsor. Di banyak titik, rimbunnya pepohonan hutan serta perkebunan teh memang sudah tergantikan dengan pertanaman sayur sehingga memunculkan potensi longsor. Akar sayur tak sanggup menahan limpahan air hujan yang menerobos di antara pori-pori tanah pegunungan Garut selatan yang bersifat lempung mengembang.

Wisata Belanda

Infrastruktur jalan dari kota Garut menuju Pameungpeuk sudah terbangun sejak era penjajahan Belanda. Penjajah memiliki kepentingan membangun jalan untuk mempermudah akses pengangkutan hasil perkebunan teh dan karet. Dulunya, perkebunan teh membentang dari Cikajang hingga Neglasari. Kini, tanaman teh hanya dijumpai sepenggal-sepenggal. Perkebunan karet di kawasan seperti Cilaut, Nagara, dan Cimari juga tak lagi berproduksi.

Selain kejutan kelokan tajam, pemandangan pepohonan hutan, dan perkebunan teh, jalanan menuju Pameungpeuk juga menghadirkan kecantikan air terjun alami. Keindahan air terjun dengan sungai-sungai berair jernih ini semakin menjadi limpahan pemandangan jika wisatawan menempuh jalan dari arah Ciwidey atau Pengalengan menyusuri pantai selatan menuju Pameungpeuk. Rute tersebut merupakan jalur favorit bagi mereka yang melengkapi diri dengan kendaraan offroad karena banyak ruas jalan yang rusak.

Karena keelokan bentang alamnya, tak heran jika Pameungpeuk menjadi destinasi wisata sejak masa kolonial. Obyek wisata yang digadang-gadang untuk promosi tak lain adalah Pantai Cilauteureun. Teluk Cilauteureun menjadi zona wisata yang luar biasa yang menghadap langsung ke Samudra Indonesia. Thilly menjadi salah satu fotografer yang berperan mempromosikan wisata Garut.

Situs Museum Tropen membubuhkan keterangan tentang biografi Thilly yang merupakan anak dari pasangan, Herman Weissenborn dan Paula Roessner, pemilik perkebunan kopi di Kediri, Jawa Timur. Pada 1892, keluarga kembali ke Den Haag, Belanda. Thilly belajar fotografi dari kakaknya yang membuka studio fotografi di Den Haag pada 1903 sebelum kemudian kembali ke Hindia Belanda lalu menjadi fotografer profesional.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Pantai Cilauteureun di Pameungpeuk, Jawa Barat.
Koninklijk Indische Tropenmuseum menyimpan foto album utama yang diproduksi di studio Foto Lux milik Thilly. Pada masa itu, studio foto memproduksi album utama dengan cetakan foto gelatin perak dengan sinar alami. Di atas foto-foto itu terdapat tanda: Foto Lux, Garut. Kumpulan foto karya Thilly juga diterbitkan penerbit Sijthoff, Amsterdam, Belanda, dalam buku setebal 151 halaman bertajuk Indische Foto’s (1917-1942) van Thilly Weissenborn.

Karier pertamanya sebagai fotografer dimulai dari studio foto, O Kurkdjian & Co di Surabaya, Jawa Timur. Dengan jumlah fotografer mencapai 30 orang, studio foto ini memproduksi banyak karya fotografi yang diterbitkan sebagai panduan wisata biro pariwisata Hindia Belanda dengan judul Come to Java pada 1922.

Tinggal di Garut, Thilly mengelola studio Foto Lux yang kemudian menjadi miliknya. Studio beralamat di Societeitstraat 15 (sekarang Jalan Ahmad Yani). Pada 1930, Thilly meresmikan perusahaannya sebagai NV Lux Fotograaf Atelier. Seiring penjajahan Jepang, Thilly harus mendekam dalam kamp interniran di Karees, Bandung, sejak 1943. Setelah Perang Dunia II dan Kemerdekaan RI, Foto Lux milik Thilly sudah rata dengan tanah. Sebagian karyanya dapat diselamatkan dan merekam memori tentang keindahan Pameungpeuk masa silam. (MAWAR KUSUMA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com