Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pontianak, dari Telur Berdiri hingga Gangguan Kuntilanak

Kompas.com - 29/03/2015, 14:17 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

KOMPAS.com — Panas!Itulah kata pertama yang tepat untuk menggambarkan Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Bukan seperti panas Kota Jakarta, bukan juga seperti Surabaya.

Hanya di Pontianak, tepatnya di Tugu Khatulistiwa, momen kulminasi atas Matahari terjadi. Pada saat itu, posisi matahari tepat berada di atas kepala sehingga seolah-olah menghilangkan semua bayangan benda-benda di permukaan Bumi.

Menurut staf pengajar Prodi Astronomi dan Staf Peneliti di Observatorium Bosscha, Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, fenomena terbit dan terbenam matahari bagi penduduk Bumi disaksikan di titik yang selalu tepat di arah titik timur atau di titik barat.

"Hanya pada momen tertentu saja matahari terbit tepat di arah titik timur dan terbenam di arah titik barat. Momen itu adalah momen matahari di arah ekuinoks, yaitu dua titik potong ekliptika dan ekuator langit," ujar Moedji di Pontianak, Kamis (19/3/2015).

Pada momen ini, pembagian waktu di berbagai belahan Bumi terbagi rata sekitar 12 jam. Di tahun ini, momen Matahari di ekuinoks terjadi dua kali, yaitu 21 Maret 2015 dan 23 September 2015.

Wisata Sungai Kapuas

Pada momen Matahari di ekuinoks, berbagai kegiatan dilakukan di sekitar Tugu Khatulistiwa untuk mengundang pengunjung atau wisatawan datang ke sana.

Arimbi Ramadhiani Anak-anak bermain menggunakan sekoci di tepi Sungai Kapuas, Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (21/3/2015).

Contohnya, wisata menggunakan kapal menyusuri Sungai Kapuas dan melewati Jembatan Kapuas. Biasanya kegiatan ini dilakukan pada malam hari, ditemani dengan gemerlap lampu-lampu di Jembatan Kapuas.

Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia, mencapai 1.143 kilometer. Sungai ini menjadi kehidupan masyarakat sekitar. Para penduduk biasa mencari ikan di Sungai Kapuas. Para ibu rumah tangga memanfaatkan sungai untuk mencuci pakaian mereka, sementara anak-anak terlihat bermain-main menggunakan sekoci kecil di tepi sungai.

Para wisatawan bisa menyusuri Sungai Kapuas menggunakan kapal yang disediakan. Kapal ini bisa mengangkut sekitar 30 orang sekali berlayar. Rutenya berangkat dari Taman Alun Kapuas. Wisatawan hanya perlu menyiapkan biaya Rp 10.000 hingga Rp 15.000.

Tugu Khatulistiwa

Penyusuran Sungai Kapuas terhenti di Tugu Khatulistiwa. Tugu ini sendiri terdapat dua buah, yaitu tugu asli dan duplikatnya. Duplikat tugu lima kali lebih besar dan terlihat dari jarak berpuluh-puluh meter di kejauhan. Sementara itu, tugu asli berada di dalam tugu duplikatnya.

Arimbi Ramadhiani Jembatan Kapuas, Pontianak, Kalimantan Barat.

Tugu asli dibangun saat zaman kolonial Belanda, yaitu tahun 1928, untuk menentukan titik ekuator. Karena masih menggunakan teknologi seadanya, tugu ini tidak berdiri tepat pada posisi 0 derajat. Tugu Khatulistiwa berada pada 0 derajat, 0 menit, 3,809 detik Lintang Utara; dan 109 derajat, 19 menit, 19,9 detik Bujur Timur. Sementara itu, posisi 0 derajat 0 menit dan 0 detik terletak 117 meter ke arah Sungai Kapuas dari arah tugu. Di posisi tepat ini dibangun patokan baru yang bentuknya lebih kecil dari tugu.

Di sekitar patokan baru juga dibuat garis putih memanjang. Di atas garis ini, telur bisa tegak berdiri tanpa bantuan apa pun. Saat peringatan titik kulminasi, pengunjung berebut untuk membuktikan fenomena ini.

Faktanya, sebagian besar telur yang diletakkan di sepanjang garis tersebut memang bisa berdiri. Meski begitu, ada beberapa pengunjung yang sempat gagal mendirikan telur, alasannya karena kurang konsentrasi.

"Ayo Pak, konsentrasi Pak. Pelan-pelan," ujar pemandu acara mengiringi kegiatan pengunjung mendirikan telur, Sabtu (21/3/2015).

Menurut pantauan Kompas.com, ternyata tidak hanya di garis tersebut telur bisa berdiri tegak. Di dekat tugu asli pun, beberapa pengunjung mencoba mendirikan telur dan berhasil. Namun, memang telur yang berdiri tidak sebanyak di garis putih tersebut.

Arimbi Ramadhiani Meriam Karbit yang dipercaya bisa mengusir kuntilanak, hantu penganggu di Pontianak, Kalimantan Barat.

Meriam pengusir kuntilanak

Para ahli sejarah mengemukakan bahwa saat membuka lahan tempat tinggal tahun 1771, Raja Pontianak Syarif Abdurrahman Alkadrie sempat diganggu oleh hantu kuntilanak. Untuk mengusirnya, Raja menyalakan meriam. Syarif, yang kemudian diakui sebagai pendiri Kota Pontianak, menembakkan meriam ke arah daratan.

Meriam yang digunakan disebut meriam karbit. Meriam ini terbuat dari kayu besar dengan diameter 50-100 sentimeter. Panjangnya 4-7 meter. Meriam ini diisi dengan air, dan karbit dimasukkan sebagai mesiunya. Karbit yang bereaksi dengan air akan menghasilkan gas yang mengakibatkan ledakan jika disulut dengan api.

Suara ledakannya menggelegar hingga mampu menggoyahkan bangunan sekitar. Saat perayaan titik kulminasi, meriam ini menyambut kedatangan para pengunjung. Bahkan, dari kejauhan, bunyi meriam ini cukup membuat hati berdebar. Pada jarak dekat, tidak jarang pengunjung yang terkaget-kaget dengan suara meriam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com