Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelisik Legenda Puteri Menangis

Kompas.com - 30/03/2015, 19:08 WIB
SUDAH lebih satu jam mobil yang saya tumpangi mengelilingi Danau Lut Tawar dari arah Selatan kota Takengon. Semburan cahaya matahari pagi sudah mulai membakar ditengah hawa sejuk alam pegunungan itu. Tapi perjalanan itu harus terhenti lantaran pekerjaan perbaikan jalan sedang dilakukan.

Para pekerja perbaikan jalan sigap menutup jalan dengan sebuah palang hanya berjalan empat mobil di depan mobil yang saya tumpangi. Salah seorang pengemudi yang saya hampiri cuma tersenyum dan menginformasikan penantian ini bisa memakan waktu dua jam.

Sebuah alat berat tengah sibuk menggali bebatuan di atas bukit. Guguran batu menggelinding ke tepi jalan. Dua jam menunggu tentunya tidak begitu nyaman sementara gua puteri pukes menanti hanya tiga sampai empat kilometer di depan. Ingin rasanya berlari seperti anak yang merengek pada ibunya untuk mendapat belaian. Untungnya, penantian dua jam itu hanya berlangsung sekitar empat puluh lima menit. Saya terbebas dari penantian yang lebih lama lagi.

Puteri Pukes menarik minat saya lantaran malam sebelumnya bicara banyak tentang Danau Lut Tawar dengan pemilik warung makan tempat saya melepas penat. Bang Abrar, pemilik warung makan itu mendesak saya untuk mengunjungi gua sang puteri. Rugi, katanya bila tak datang.

Sang puteri, lanjutnya, akhirnya terhenti karena sudah berubah menjadi batu. Tapi air matanya terus mengalir.

"Sekali tiga bulan, air mata sang puteri akan mengalir lebih banyak. Merembes ke setiap lorong dalam gua itu," imbuh Imran.

Dari pusat kota Takengon, sesungguhnya gua puteri menangis taklah berapa jauh. Imran mengatakan hanya lima menit berkendara motor. Tapi saya memilih arah berlawanan hingga tertahan pekerjaan perbaikan jalan.

(Syafrizaldi) Bagian ornamen Gua Puteri Pukes yang direhabilitasi dengan bahan bangunan.
Gua Puteri Pukes, sungguh jauh dari bayangan saya sebelumnya. Dalam pengembaraan pikiran saya, gua ini terletak agak jauh menjorok ke dalam tebing-tebing di pinggiran Danau Lut Tawar. Kondisinya masih penuh dengan aura mistis dan tertutup bayangan rindang pepohonan.

Tapi alangkah saya terkejut menyaksikan gua ini terpapar langsung matahari yang terik. Dari seberang jalan tempat mobil diparkir, mata telanjang saya bisa langsung menembus ke dalaman gua yang gelap. Beberapa bagian di dalamnya telah diterangi listrik.

Undakan tangga dari tepi jalan berbelok ke kanan. Sebuah patung telapak tangan terlentang. Patung itu tampak kontras diantara bebatuan kapur di sekelilingnya. Seolah tempat itu memang tersedia bagi peminat wisata religi, patung itu tampak sedang berzikir.

Mulanya saya enggan masuk ke dalam gua, cukup memandang dari luar saja. Tapi penjaga gua dengan ramah menyilahkan saya mampir.

"Silahkan masuk, puteri sedang tak menangis sekarang. Tapi anda akan tahu sejarahnya," sapa Abdullah si penjaga gua.

Dia mengisahkan legenda puteri menangis itu tak lama kemudian. "Mulanya, orang tua sang Puteri keberatan jika si puteri menikah dengan seorang pangeran dari tempat lain. Keberatan ini hanya dilandasi rasa sayang kepada puteri, karena begitu puteri menikah maka dia harus tinggal bersama suaminya yang jauh. Munenesa, menurut istilah orang Gayo. Tapi dengan alasan cinta dan kegigihan si puteri, akhirnya kedua orang tuanya menyetujui," cerita Abdullah.

Pernikahan itu, lanjutnya, merupakan penyerahan tanggung jawab orang tua kepada suami sang puteri. Oleh karenanya, orang tuanya berpesan agar dalam perjalanan menuju tempat suaminya, puteri dilarang menoleh ke belakang.

"Ini petuah orang tua, tak boleh dilanggar," imbuhnya.

Halaman:
Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com