Ada dua dermaga di Pelabuhan Muara Angke, yakni Kali Adem dan Muara Angke. Pertama, kami menuju Kali Adem untuk naik kapal penumpang yang dioperasikan Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta. Untuk menuju ke sana, taksi yang kami tumpangi berjalan di jalur sempit yang dipenuhi gerobak nelayan. Genangan di badan jalan, dan bau amis tercium.
Rupanya tak ada kapal beroperasi dari dermaga itu. Sudah sejak Desember 2014, 12 unit kapal cepat dari Kali Adem berhenti beroperasi karena RAPBD 2015 belum disetujui.
Kami buru-buru menuju Dermaga Muara Angke, tempat keberangkatan kapal kayu penangkap ikan yang dimodifikasi menjadi kapal penumpang. Area parkir gelap. Genangan hitam ada di mana-mana, campuran sisa rob dan limbah pasar ikan. Untuk mencapai kapal, kami harus berjalan melompati bibir dermaga dan kapal yang parkir di sisi paling pinggir.
Fungsi asli dermaga ini memang untuk pendaratan ikan. Namun, kini dermaga ini menjadi penghubung menuju Kepulauan Seribu.
Tidak aman
Para awak kapal tradisional atau biasa disebut ojek kapal sudah lama meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk bisa sandar di Dermaga Kali Adem. Namun, permintaan itu ditolak lantaran ojek kapal dinilai tidak aman dan tidak memenuhi standar kapal penumpang.
Biasanya, ojek kapal terdiri atas dua dek. Tidak ada kursi. Penumpang duduk lesehan di lantai kapal beralas terpal. Tarifnya Rp 40.000 per orang.
Berdasarkan data di Pelabuhan Pulau Tidung, pada hari biasa, hanya ada satu kapal dari Muara Angke ke Pulau Tidung. Saat akhir pekan, ada setidaknya 13 kapal yang beroperasi karena banyak wisatawan. ”Pada hari biasa, penumpang 50-100 orang. Pada hari libur, penumpang 2.000-3.000 orang,” kata Kepala Pelabuhan Pulau Tidung Chaerul.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.