Keempat masakan khas Indonesia tersebut menyajikan 100-300 porsi makanan siap jual setiap hari. Pada Rabu (8/3/2015) malam seusai pembukaan, masakan Indonesia langsung diserbu pembeli, baik warga lokal Singapura maupun WNI yang tinggal atau belajar di Singapura. Para pembeli rela menunggu berdiri berjajar hanya untuk bisa membeli makanan Indonesia dengan tarif 8-10 dollar Singapura per porsi.
Erlia Anom (35), WNI yang sudah memiliki residen permanen di Singapura, datang bersama suami hanya untuk menikmati empat makanan itu. Jarak rumah ke lokasi acara sekitar 20 kilometer dan ditempuh dengan dua kali naik MRT tidak menyurutkan niat pasangan itu untuk menikmati kuliner Tanah Air tersebut.
”Empat masakan Indonesia tersebut setidaknya mengobati kerinduan saya akan cita rasa asli masakan Indonesia. Di sini, meski dijual masakan Indonesia, rasanya beda,” ujarnya. Erlia berharap, makanan Indonesia yang dipromosikan ke luar negeri lebih banyak lagi.
Sylvia bersama teman yang tinggal di daerah Yishun juga rela antre hanya agar bisa membungkus empat porsi gudeg. ”Saya memang suka gudeg. Datang ke sini untuk mencicipi masakan gudeg ini,” ujar Sylvia, warga Singapura yang pernah berkunjung ke Yogyakarta.
Ajang WSFC sudah digelar dua kali. Kegiatan pertama digelar tahun 2013. Saat itu, Indonesia menyertakan lima makanan, yaitu kue pancong dan kue pukis, kerak telor betawi, masakan manado RM Tambala, masakan minang, dan sate sapi Hj Diding Jakarta. Dalam WSFC 2015 ini setidaknya ada 24 stan dari sejumlah negara.
”Kegiatan ini bertujuan membuka jaringan kerja sama, memberikan ide baru terkait usaha kuliner, dan terutama merayakan budaya makanan jalanan sedunia. Setiap makanan jalanan ini bisa menjadi duta bagi negaranya masing-masing. Semakin banyak orang mengenal masakan suatu negara, ia akan penasaran dan diharapkan akan datang ke negara tersebut untuk menikmati kuliner tersebut,” tutur KF Seetoh, penggagas WSFC sekaligus penemu situs kuliner dunia Makansutra.
Arie Parikesit, konsultan kuliner Bango dari Kelanarasa, mengatakan, empat legenda kuliner Indonesia tersebut dipilih mewakili aneka masakan Nusantara yang beragam. ”Makanan Indonesia bukan hanya nasi goreng, gado-gado, sate, dan rendang. Masih banyak kuliner Nusantara dari Sabang sampai Merauke yang bisa dikenalkan kepada pencinta kuliner di seluruh dunia,” ujarnya.
Selama ini, kuliner Nusantara, menurut Arie, masih kalah terkenal dibandingkan dengan kuliner Thailand dan Vietnam. ”Selama kita giat mempromosikannya, pemerintah mendukung, generasi muda turut mencintai kuliner dalam negeri, saya optimistis kuliner Indonesia bisa setenar masakan negara lain,” ujar Arie.
Perhatian pemerintah
Dalam ajang jambore kuliner WSFC 2015 terlihat Pemerintah Singapura memiliki perhatian serius terhadap bisnis makanan. Setiap peserta jambore harus lolos sertifikasi penanganan kebersihan dan kehigienisan makanan.
Semua peserta dalam waktu sehari diajari menangani makanan dengan baik. Selanjutnya, mereka akan menjalani tes tertulis. Jika gagal, mereka harus mengulang ujian tersebut hingga lolos dan baru bisa berjualan makanan.
Hartono Sadi (40), anak dari Pak Sadi—penjual soto ambengan—mengatakan, sebelum bisa berjualan mereka, dilatih mengenai lima hal yang bisa mengontaminasi makanan. Hal itu dimulai dari individu, makanan, peralatan, pemasakan, dan penyajian atau penyimpanannya.
”Kami diajari cara cuci tangan yang benar, menyajikan makanan di udara terbuka maksimal empat jam, makanan masak saat disimpan harus di atas makanan yang mentah, dan beberapa aturan yang kami tidak tahu bahwa itu penting untuk kesehatan masakan,” ujar Hartono.
Selama ini, di Singapura para penjual makanan harus mengantongi sertifikat dari National Environment Agency (NEA) sebagai tanda makanan yang dijual higienis. Sertifikat terbaik adalah A dan paling rendah C. Sertifikat biasanya dipasang di bagian depan gerai. Jika tidak mengantongi sertifikat, mereka tidak bisa mendapatkan tempat di food court atau gerai di mana pun di Singapura.
Salah satu dukungan lain bagi bisnis kuliner adalah di negara Thailand. Era Thaksin Shinawatra, misalnya, pemerintah pernah memiliki kebijakan 10.000 dapur Thailand di dunia. Untuk itu, pemerintah mempermudah pengurusan kargo udara bagi aneka bumbu-bumbu masakan Thailand agar menjangkau banyak negara. Hasilnya, kini masakan Thailand pun mendunia.
Namun, dukungan pemerintah bukan satu-satunya. Dukungan itu perlu untuk mengangkat nama kuliner Nusantara di luar negeri. Namun, bukan berarti tanpa dukungan pemerintah, usaha kuliner tidak bisa berkembang. Masakan Vietnam, misalnya, saat ini dikenal di dunia seperti masakan Thailand.
Menurut Arie Parikesit, hal itu bermula saat banyak warga Vietnam lari ke luar negeri tahun 1975 karena konflik. Kira-kira 10 tahun kemudian, masakan Vietnam mulai dikenal di dunia.
Belajar dari itu semua, ada keyakinan masakan Indonesia pun bisa setenar masakan Thailand atau Vietnam di luar negeri. Namun, memang diperlukan kerja keras, termasuk promosi melalui duta-duta kuliner Tanah Air di berbagai pentas dunia. (DAHLIA IRAWATI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.