Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Blusukan" Demi Kopi Prabe

Kompas.com - 18/04/2015, 19:06 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

KOMPAS.com - Lombok, Nusa Tenggara Barat, kala itu hampir berada di ujung malam. Riuh ramai kendaraan bermotor seperti Jakarta jangan harap dapat dijumpai. Jalan Panca Negara di Kelurahan Cakranegara, Kota Mataram hanya menyisakan sekelumit orang-orang yang masih bertahan di kerasnya kota. Begitupun dengan saya yang ingin mencari oleh-oleh kopi khas Lombok.

“Mau beli kopi di Prabe saja. Sebentar aku hubungi temanku,” begitu pesan tertulis dari Shidik Utomo, rekan asal Yogyakarta yang tinggal di Lombok kepada saya.

Selang beberapa menit kemudian, Shidik datang ke pelataran parkir hotel untuk menjemput saya. Ia mengantar saya menuju salah satu tempat industri kopi rumahan yang berjarak sekitar 30 menit perjalanan dengan motor.

Jam menunjukkan pukul 21.00 WITA. Dengan sebuah motor tua buatan Jepang, saya meninggalkan Kota Mataram telah sepi. Diterpa angin yang cukup dingin, pencarian sumber kafein yang biasa menemani sewaktu santai bagi para penggemarnya dimulai.

Dinding-dinding bangunan rumah toko (ruko) mulai berganti dengan areal sawah. Di tengah gelap malam, hanya ada secercah cahaya yang menerangi jalan. “Cukup jauh ya, Mas?” tanya saya. “Iya lumayan,” jawabnya.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Salah satu alat pengolah kopi yang dimiliki oleh Kelompok Tani Mule Paice, Dusun Prabe, Desa Batu Sangkar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Minggu (12/4/2015).

Kemudi motor terus diarahkan menuju arah utara Kota Mataram. Kami melewati Jalan Gora untuk menuju Kecamatan Lingsar. Tak ada denyut nadi kehidupan yang ditemui. "Udah tidur rata-rata. Jam 7 di sini masih ramai,” kata Shidik.

Hanya percakapan kami yang menggema menemani pencarian sang kopi asli. Suhu semakin dingin sejak meninggalkan kota. Saya semakin tak sabar untuk segera menemukan penjual kopi. Pada sudut jalan di dekat sebuah pos, Adi telah menunggu. Berbeda jauh dengan tunggangan kami, ia ditemani oleh sebuah motor keluaran tahun 2013.

“Pelan-pelan ya, Di. Nggak, bisa kejar kamu,” kata Shidik.

Adi langsung melaju untuk menuju satu dusun sepi tempat buah kopi dibudidayakan. Kami mulai masuk ke dalam pedesaan yang sepi. Dari jalan yang mulus, ban motor berganti melibas medan yang berbatu dan berkerikil.

Udara semakin tak terkontaminasi polusi. Kolam-kolam ikan terlihat di sela-sela hamparan sawah. Sedikit bintang bertebaran di langit. Namun keindahan malam harus terganggu dengan jalan yang rusak.

Saya pun berpegangan pada besi di dekat jok motor. Pegas motor harus bekerja keras untuk membuat nyaman sang penunggangnya. Dari jalan pedesaan, saat ini kami mulai memasuki daerah hutan bambu.

“Wah ini mau beli kopi sampai masuk-masuk hutan begini. Baru tau saya,” kata saya.

Perjalanan makin liar. Tak ada sama sekali orang yang lewat selain kami. Hanya suara knalpot yang mengiringi perjalanan demi kopi Lombok. Suara jangkrik mengerik berbisik masuk ke telinga kami. Jalan-jalan berlubang dan kadang digenangi oleh air.

Hampir satu kilometer, lampu motor menyeruak kegelapan hutan. Kunang-kunang mengintip dari sela-sela daun-daun. Roda-roda menerobos jalur tanah gembur. Bagi saya, perjuangan ini harus dibayar lunas dengan buah tangan yang dicari. Setelah berusaha melewati hutan bambu, akhirnya kami bertemu peradaban.

“Ini sudah masuk Dusun Prabe. Sedikit lagi,” jawab pria lulusan Program Studi Geografi Universitas Gajah Mada ini.

Kami kembali masuk ke daerah pemukiman warga. Jalan hanya selebar enam meter dengan kondisi masih rusak. Beberapa pemuda tampak asyik bercengkerama di depan pelataran rumah. Mata mereka melirik melihat kehadiran kami.

Hanya senyum dan sapa yang dapat saya lemparkan untuk mengobati rasa penasaran mereka. Dusun Prabe, Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar akhirnya kami jejaki. Di sebuah rumah dengan plang bertuliskan kepala dusun, kami membelokkan haluan motor.

Kopi Prabe, Hutan Lestari, dan Masyarakat Sejahtera

“Selamat datang. Silakan masuk,” kata seorang pria berbaju hitam dengan menggunakan kain sarung.

Kami dipersilahkan duduk di sebuah saung kecil di depan rumahnya. Segera kami utarakan maksud kedatangan pada malam hari ini untuk membeli kopi. “Mau yang manis atau pahit?” tanyanya.

"Dua-duanya, Pak. Dua kilogram yang pahit dan tiga renceng yang manis,” jawab saya.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Potret empat bungkus Kopi Lombok yang masing-masing mempunyai berat 250 gram.

Sambil menunggu kopi pesanan, pria yang bernama Tirtawan ini menceritakan sejarah menjual kopi Prabe. Ia menceritakan bahwa usaha kopi ini berangkat dari titik nol dan sebuah kemauan yang keras.

Tirtawan telah merintis usaha kopi dari tahun 1989 dengan mulai beli kopi beberapa bakul dari kebun milik orang untuk dijual ke pasar. Jumlah yang dapat dibeli pun terbatas hanya satu kuintal. Sempat dulu orang-orang menertawai usahanya karena disebut orang gila yang menjual kopi. Namun ia hanya tersenyum. Singkong dan pepaya pun pernah ia jual.

Tergabung dengan Kelompok Tani Mule Paice, Tirtawan sendiri menjabat sebagai ketua. Lelaki kelahiran asli Lombok 14 Maret 1963 ini mengaku, telah memulai usaha produksi kopi bubuk murni secara resmi sejak tahun 2005.

Bisnis kopi ini dirintis bersama 18 anggota masyarakat Dusun Prabe. Upaya bisnis kopi ini juga bukan memikirkan untung dan rugi saja. “Kami berusaha mengurangi penebangan liar. Membangun kesadaran masyarakat. Hutan tetap lestari dan masyarakat sejahtera,” ungkapnya.

Tirtawan pun mengungkapkan kopi olahannya dihasilkan dari pohon yang ditanam secara organik. Produknya telah mendapatkan sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LeSos). Pada tanggal 13 Oktober 2012 lalu di Mojokerto, Kelompok Tani Mule Paice berhasil mendapatkan tanda legal untuk pertanian organik.

Setelah berbincang panjang dengan ditemani suguhan Kopi Lombok yang manis dan pisang, pesanan kami datang. Delapan buah bungkus plastik kopi dengan berat 250 gram telah hadir di hadapan saya. Pun juga tiga renceng kopi kemasan seberat 25 gram.

Untuk dapat membawa pulang kopi robusta sebanyak 2 kilogram, saya merogoh kocek sebesar Rp 200.000. Sementara untuk satu renceng kopi isi 10 sachet, dihargai sebesar Rp 6.500. Sehingga total biaya yang harus dikeluarkan untuk tiga renceng kopi sachet yaitu Rp 18.500.

Sebelum meninggalkan rumah sang penyedia Kopi Lombok, saya menyempatkan untuk melihat alat tempur Pak Tirtawan. Mesin-mesin untuk pengolahan kopi berjajar di sudut rumah. Namun saya tak dapat berlama-lama. Malam semakin menggelayut. Kami segera kembali ke Kota Mataram.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Panduan Lengkap ke Desa Wisata Koto Kaciak, Simak Sebelum Datang

Panduan Lengkap ke Desa Wisata Koto Kaciak, Simak Sebelum Datang

Travel Tips
Traveloka Resmikan Wahana Baru di Kidzania Jakarta, Ada Diskon 25 Persen

Traveloka Resmikan Wahana Baru di Kidzania Jakarta, Ada Diskon 25 Persen

Travel Update
Barcelona Hapus Rute Bus dari Google Maps, Ini Alasannya

Barcelona Hapus Rute Bus dari Google Maps, Ini Alasannya

Travel Update
4 Tips Berkunjung ke Desa Wisata Koto Kaciak, Datang Pagi Hari

4 Tips Berkunjung ke Desa Wisata Koto Kaciak, Datang Pagi Hari

Travel Tips
Cara Menuju ke Desa Wisata Lerep Kabupaten Semarang

Cara Menuju ke Desa Wisata Lerep Kabupaten Semarang

Jalan Jalan
4 Oleh-Oleh Desa Wisata Koto Kaciak, Ada Rinuak dan Celana Gadebong

4 Oleh-Oleh Desa Wisata Koto Kaciak, Ada Rinuak dan Celana Gadebong

Travel Tips
Istana Gyeongbokgung di Korea Akan Buka Tur Malam Hari mulai Mei 2024

Istana Gyeongbokgung di Korea Akan Buka Tur Malam Hari mulai Mei 2024

Travel Update
Desa Wisata Lerep, Tawarkan Paket Wisata Alam Mulai dari Rp 60.000

Desa Wisata Lerep, Tawarkan Paket Wisata Alam Mulai dari Rp 60.000

Jalan Jalan
Itinerary Seharian Sekitar Museum Mpu Tantular Sidoarjo, Ngapain Saja?

Itinerary Seharian Sekitar Museum Mpu Tantular Sidoarjo, Ngapain Saja?

Jalan Jalan
 7 Olahraga Tradisional Unik Indonesia, Ada Bentengan

7 Olahraga Tradisional Unik Indonesia, Ada Bentengan

Jalan Jalan
5 Tips Liburan dengan Anak-anak Menggunakan Kereta Api Jarak Jauh

5 Tips Liburan dengan Anak-anak Menggunakan Kereta Api Jarak Jauh

Travel Tips
Mengenal Desa Wisata Koto Kaciak, Surga Budaya di Kaki Bukit Barisan

Mengenal Desa Wisata Koto Kaciak, Surga Budaya di Kaki Bukit Barisan

Jalan Jalan
Aktivitas Wisata di Bromo Ditutup mulai 25 April 2024, Ini Alasannya

Aktivitas Wisata di Bromo Ditutup mulai 25 April 2024, Ini Alasannya

Travel Update
Bali Jadi Tuan Rumah Acara UN Tourism tentang Pemberdayaan Perempuan

Bali Jadi Tuan Rumah Acara UN Tourism tentang Pemberdayaan Perempuan

Travel Update
Hari Kartini, Pelita Air Luncurkan Penerbangan dengan Pilot dan Awak Kabin Perempuan

Hari Kartini, Pelita Air Luncurkan Penerbangan dengan Pilot dan Awak Kabin Perempuan

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com