Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alam Indonesia Ladang Wisata Olahraga

Kompas.com - 22/04/2015, 11:22 WIB
HENDRA Wijaya, salah seorang peserta dari delapan peserta ultramaraton Trans-Sumbawa 200, saat rehat sejenak di Kilometer 110-an, pada hari kedua, Kamis (10/4/2015), mengalami gangguan di perut. Asam lambung ”hyperman” Indonesia itu meningkat tajam. Perut kembung pun tak terhindarkan.

Tidak ada makanan yang bisa masuk. Setiap kunyahan, selalu berakhir dengan muntahan. Pada hari pertama, keram kaki menderanya sepanjang perjalanan. Namun, Hendra masih bergerak meneruskan misinya yang masih tersisa 220-an kilometer untuk sampai di garis finis di Doro Ncanga, lereng Gunung Tambora.

Padahal kurang dari empat hari sebelumnya, dia baru saja tiba di Bogor setelah mengikuti ajang Likeys 6633 Ultra 2015 pada 20-28 Maret sejauh 352,64 mil (566 kilometer) di Kutub Utara. Keikutsertaannya dalam Trans-Sumbawa 200 lebih karena ingin menaikkan derajat lomba tersebut. ”Saya harus ikut serta menjadi peserta biar lomba ini bergengsi dan teman-teman bersemangat,” katanya.

Sebuah keputusan yang luar biasa, sesaat berlari di Kutub Utara dengan suhu minus 20-32 derajat celsius kemudian berlari di lintas Sumbawa dengan suhu mencapai 41 derajat celsius. Dalam logika orang awam, tubuh Hendra bisa diibaratkan gelas dingin yang kemudian dituang air panas. Sebuah eksperimen terhadap tubuh yang ekstrem.

Hendra seperti juga tujuh peserta Trans-Sumbawa 200 harus menyelesaikan jarak sejauh 200 mil atau 320 kilometer dalam lomba yang diselenggarakan harian Kompas dan Pemprov Nusa Tenggara Barat, 8-10 April 2015, untuk memperingati 200 tahun meletusnya Gunung Tambora itu.

Selain Hendra—yang juga penggagas Trans-Sumbawa 200 ini—tujuh peserta lainnya adalah Lily Suryani (50), Muhammad Wirawan Abdul Reza (23), Abdul Aziz Dermawan (22), Arief Wismoyo (31), Alan Maulana (30), Sitor Torsina Situmorang (45), dan Dino Eka Putra (27).

Kualifikasi khusus

Kompas yang menemani mereka selama perjalanan menemukan, para peserta merupakan manusia-manusia Indonesia dengan kualifikasi khusus. Walaupun bukan atlet profesional, salah satu syarat dari peserta adalah mereka pernah berlari 100 kilometer.

Akan tetapi dalam praktiknya, terlihat bahwa keteguhan mental para peserta melebihi ketangguhan fisik pelari. Mereka yang terpaksa menghentikan langkahnya dan dinyatakan did not finish (DNF) adalah lebih karena badan mereka sudah tidak mampu lagi bergerak.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Dino Eka Putra dan Lily Suryani, peserta lomba ultramaraton sejauh 320 kilometer Trans-Sumbawa 200, disambut pelajar dan masyarakat di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Rabu (8/4/2015). Ultramaraton yang harus diselesaikan peserta maksimal 67 jam ini diselenggarakan dalam rangkaian peringatan 200 tahun meletusnya Gunung Tambora yang menewaskan 71.000 orang pada 1815.
Co Race Director Dohar Siburian mengaku sangat terharu ketika ”memaksa” Aziz menghentikan lombanya. ”Rasanya saya ingin menangis,” kata Dohar.

Aziz mencoba meyakinkan dirinya bisa menyelesaikan lomba bahkan dengan menyeret kakinya. Jarak 10 kilometer dia tempuh dalam waktu lima jam. Pelari biasa bisa menyelesaikan jarak 10 kilometer dalam waktu kurang dari 30 menit.

”Kakinya sudah tidak bisa melangkah, hanya diseret. Saya susah payah merayunya untuk DNF karena dengan kondisinya, dia tidak mungkin menyelesaikan lomba,” kata Dohar.

Aziz akhirnya menyelesaikan lomba di Kilometer 170-an. Di garis akhir, Aziz tertawa mengingat perjuangannya, ”Mejus euy (melempem),” katanya.

Arif Wismoyo bahkan sempat membuat panik panitia karena pada hari Jumat dini hari dia ”hilang” dari lintasan. Panitia mencoba melakukan semacam search and rescue (SAR) dengan bolak-balik menyisir jalanan. Belakangan diketahui, kaki Arif sudah tidak bisa digerakkan karena kaku hingga pangkal paha. Seorang peladang menemukannya tertidur di pinggir jalan dan menawarinya ke rumahnya. ”Setelah dipijat dan diberi makan saya bisa bergerak lagi,” cerita Arif.

Namun, keriangannya untuk meneruskan lomba tidak berlangsung lama karena setelah itu tubuhnya pun ”kehabisan baterai”. Arif terhenti DNF di Kilometer 200. Cerita serupa juga dialami Reza juga Dino yang terpaksa harus DNF di Kilometer 80. Cuaca sangat panas hingga 42 derajat celsius serta telapak kaki ataupun jari yang mengalami blister (lecet hebat) menyebabkan mereka terhenti.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com