Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana di Pasar Tertua Yogyakarta

Kompas.com - 25/04/2015, 10:02 WIB

KETIKA menyebut Yogyakarta, kita selalu melekatkan Kota Gudeg ini dengan sejarah dan budaya. Kuatnya ikatan antara Yogyakarta dengan sejarah dan budaya hampir tak terbantahkan saat melihat berbagai sisi aktivitas masyarakatnya, tak terkecuali saat membahas pasar.

Salah satu contoh pasar yang kental dengan nuansa sejarah dan budaya yang ada di Yogyakarta adalah Pasar Legi Kotagede. Pasar yang dulunya bernama Sargedhe ini konon dibangun pada abad ke-16 saat Ki Gede Pemanahan membuka lahan di Alas Mentaok sebagai imbalan dari Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) karena berhasil mengalahkan Arya Penangsang.

Menariknya, sebuah cerita mengatakan bahwa sebelum membangun area pemukiman ataupun keraton, Ki Gede Pemanahan justru mengembangkan pasar untuk masyarakat Mataram. Alasan kuatnya adalah dengan adanya pasar, maka interaksi manusia akan terjadi, sehingga denyut perekonomian melalui beragam transaksi akan berjalan.

Berikutnya lalu lintas barang, jasa, dan tentunya manusia akan berkembang. Langkah brilian ini kemudian berdampak pada keramaian wilayah Alas Mentaok yang kemudian dijadikan oleh Panembahan Senopati sebagai pusat kerajaan saat pertama kali menjadi Raja Mataram.

Jika menilik cerita permulaan berdirinya Pasar Legi di atas, maka pasar yang terletak di Jalan Mondorakan 172 B Kotagede, Yogyakarta ini sudah melewati waktu empat abad lamanya, empat kali masa penjajahan, dan telah menjadi saksi pergantian puluhan pimpinan Mataram. Ujian waktu telah dijawab oleh Pasar Legi yang telah membuktikan eksistensinya yang tak hanya menjadi tempat transaksi, tetapi juga sebagai wadah interaksi sosial dan budaya masyarakat Yogyakarta.

Arif L. Hakim Beragam jajanan pasar yang dijajakan di Pasar Legi Kotagede

Dari sisi tata wilayah, Pasar Legi Kotagede merupakan bagian dari konsep Catur Gatra Tunggal, yang berarti empat wahana berbeda namun memiliki kesatuan tunggal. Keempat wahana tersebut meliputi kraton sebagai pusat kekuasaan, alun-alun sebagai pusat budaya masyarakat, masjid sebagai pusat peribadatan, dan pasar sebagai pusat perekonomian.

Perubahan nama dari Sargedhe menjadi Pasar Legi disebabkan oleh penggunaan hari pasaran yang hingga saat ini masih berlaku di pasar ini. Setiap hari pasaran legi dalam kalender Jawa, pasar akan tumplek blek (tumpah ruah) oleh beragam transaksi dan interaksi yang memenuhi setiap penjuru pasar. Uniknya, dari 32 pasar rakyat yang ada di Kota Yogyakarta, hanya Pasar Legi Kotagede yang masih menggunakan hari pasaran.

Pertumbuhan pasar modern di Yogyakarta seolah tak menyurutkan geliat pasar rakyat yang letaknya berdekatan dengan makam Panembahan Senopati ini. Hal ini terungkap saat saya berdiskusi dengan Pak Sumardi, Lurah Pasar Legi Kotagede. Menurutnya, di Pasar Legi Kotagede setidaknya ada 850-an pedagang yang terdata lengkap di kantor pengelola pasar. Tetapi saat hari pasaran legi tiba, pedagang di Pasar Legi Kotagede bertambah hingga lebih dari 1.000-an orang.

Selain harga barang yang relatif lebih murah dibanding pasar modern, ketertarikan masyarakat untuk selalu datang ke Pasar Legi Kotagede juga dikarenakan variasi produk yang ditawarkan sangat beragam. Di Pasar Legi Kotagede sendiri ada 4 klasifikasi pedagang sesuai dengan produk yang dijual, A untuk logam, B untuk sembako, buah-sayuran, dan makanan, C untuk pakaian, dan D untuk anyaman, kerajinan, dan segala jenis barang yang masih bersifat tradisional... (Arif L. Hakim)

Baca kisah selengkapnya di Kompasiana: "Berkelana di Pasar Tertua Jogja"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Kompasiana
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com