Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sape’k", Harmoni yang Hidup...

Kompas.com - 01/05/2015, 19:12 WIB

Meniti zaman

Seiring perkembangan zaman, sape’k di bawah bayang-bayang kepunahan ditelan modernisasi. Maka, seniman yang terpanggil hatinya untuk mempertahankan kelestarian alat musik itu pun berupaya untuk menjaga eksistensi alat musik tersebut.

Christian mengombinasikan sape’k dengan perangkat musik modern, misalnya dilengkapi dengan fasilitas yang bisa terhubung dengan pengeras suara, sehingga anak muda tertarik memainkannya.

"Sape’k pun digunakan untuk mengiringi musik modern dengan konsep kolaborasi. Senar tidak menggunakan akar dan rotan lagi, tetapi memakai senar gitar,” ujarnya.

Christian bahkan sudah menciptakan album musik Dayak dengan menggunakan sape’k sebagai salah satu komponen yang digunakan dalam aransemen musik. Dalam setiap penampilannya, sape’k tidak pernah lepas dari tangannya. ”Saya kerap diundang ke Malaysia dan Eropa,” kata Christian.

Ferdinandus Lah, seniman sape’k lainnya di Kalbar atau yang akrab disapa Feri Sape’k, menuturkan, di Kalbar sape’k merupakan kebudayaan asli Dayak Kayaan di Kabupaten Kapuas Hulu. Di daerah itu, sape’k untuk mengiringi tradisi Dange, yakni syukuran sehabis panen dengan tarian.

Feri menuturkan, masyarakat Dayak Kayaan di Kalbar masih ada hubungan erat dengan Dayak Kenyah di Kaltim karena pernah ada mobilisasi masyarakat Dayak dari Kaltim menuju Kalbar. Sape’k yang awalnya menjadi tradisi di Dayak Kenyah terbawa pula hingga ke Kalbar. Hingga kini sape’k tidak hanya dimainkan masyarakat Dayak Kayaan, tetapi subsuku Dayak lainnya di Kalbar.

Upaya mempertahankan eksistensi warisan leluhur dilakukan dengan menjadikan sape’k sebagai salah satu mata kuliah ke kampus, khususnya kepada anak muda dengan cara pengajaran yang menarik. Pola pengajarannya tidak murni bermain sape’k untuk mengiringi ritual tertentu, tetapi sudah kesenian yang bersifat kreasi.

Feri juga kerap bermain di Dubai, Iran, dan Brunei. ”Agar sape’k dikenal di luar, harus membuka diri dan bergaul dengan kebudayaan lain. Dengan bergaul, orang tahu kebudayaan Dayak,” kata Feri.

Tantangan terbesar dalam melestarikan sape’k adalah minimnya referensi tertulis bagi generasi muda untuk belajar di kemudian hari. Jika hanya mengandalkan sumber lisan, saat sumber lisan itu sudah tiada, tidak ada lagi yang bisa berbagi sejarah. (EMANUEL EDI SAPUTRA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com