Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sape’k", Harmoni yang Hidup...

Kompas.com - 01/05/2015, 19:12 WIB
”Seni adalah salah satu unsur kebudayaan. Setiap masyarakat atau suku bangsa memiliki perasaan yang dituangkan dalam bentuk benci, sedih, gembira, jengkel, bahagia, marah, dan sebagainya. Perasaan yang timbul dari setiap individu atau masyarakat dapat dilakukan ke dalam bentuk seni atau perasaan dapat muncul karena seni” (Koentjaraningrat, 1980).

SUBUH telah beranjak. Sang mentari segera muncul dari peraduannya. Burung pun mulai bersiul indah sembari mengepakkan sayapnya. Embun di pucuk daun dan rerumputan hijau perlahan tersapu cahaya mentari.

Christian Mara mulai menyambut pagi dengan memetik dawai sape’k, alat musik tradisional khas suku Dayak. Setiap petikan nada sape’k yang dimainkannya membawa pada suasana alam yang rindang dan asri. Satu demi satu lagu dilantunkan melalui petikan sape’k, mulai dari jenis nada yang disebut ngonyalang, berimbai, hingga nyomangai. Itu merupakan jenis nada dalam permainan alat musik sape’k.

Bentuk sape’k hampir menyerupai gitar. Sape’k terbuat antara lain dari pohon cempedak dan plaik. Namun, bentuknya agak lonjong. Panjang sekitar 1,5 meter dengan lebar sekitar 18 sentimeter. Tali atau senar sape’k terbuat dari akar tingang atau bisa juga dari rotan jenggot khusus untuk senar sape’k yang berjumlah dua hingga enam tali.

Kehidupan masyarakat Dayak memang tak bisa terlepas dari alam. Alam memberikan inspirasi dan petunjuk dalam berbagai perkembangan kebudayaannya. ”Demikian juga kaitannya dengan sape’k. Dalam sejarah awal mula orang membuat sape’k berdasarkan petunjuk alam atau kekuatan alam kepada masyarakat Dayak untuk keperluan berbagai ritual,” ujar seniman kesenian Dayak asal Kalimantan Barat tersebut.

Kayu yang dipergunakan untuk membuat sape’k pun awalnya tidak boleh sembarangan sesuai dengan komunikasi masyarakat Dayak dengan alam. Ukiran yang terdapat di sape’k juga menggambarkan alam, misalnya dedaunan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar masyarakat.

Mengiringi tarian

Pada mulanya sape’k dipergunakan suku Dayak untuk mengiringi tarian pada masa kayau. Masa pada saat suku Dayak masih mencari kepala manusia. Kepala-kepala hasil dari mengayau itu dibawa ke rumah panjang atau rumah betang dengan tarian, diiringi petikan sape’k. Jenis nada yang dimainkan saat mengiringi tarian itu biasanya berjenis nyomangai. Jenis nada khusus untuk peperangan.

Sape’k juga dipergunakan untuk ritual lain. Dalam perjanjian antar-subsuku Dayak di Kalimantan untuk mengakhiri tradisi kayau di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, tahun 1894, sape’k juga dipergunakan untuk mengiringi nyanyian yang bermakna mengakhiri tradisi mengayau. ”Perwakilan subsuku Dayak di Kalimantan kala itu memainkan sape’k sebagai simbol perdamaian,” katanya.

Ada juga alat musik yang bentuknya hampir sama dengan sape’k, yang disebut sudatang. Namun, alat itu hanya boleh dimainkan untuk nyanyian dalam upacara kematian. Perbedaannya di bagian ujung. Ujung sudatang berbentuk paruh burung enggang, sedangkan sape’k biasanya berbentuk ukiran biasa.

Orang yang memainkan sape’k pun sebetulnya tidak boleh sembarang orang. Hanya orang yang dianggap cukup umurlah yang boleh memainkan alat musik itu. Jika orang yang belum cukup umur atau tak pantas memainkan sape’k memaksakan diri memainkannya, diyakini akan memperoleh petaka.

Sape’k terdapat di seluruh wilayah Kalimantan. Meskipun demikian, tidak semua subsuku Dayak memiliki alat musik itu. Mitologi tentang sape’k pun di setiap daerah berbeda. Namun, intinya sama diperoleh melalui komunikasi dengan alam.

Sape’k Kenyah di Kalimantan Timur contohnya, dalam mitologi Dayak setempat, sape’k diciptakan seseorang yang terdampar di pulau kecil di tengah sungai karena sampannya karam di terjang arus sungai deras. Sampan yang karam itu ditumpangi banyak orang.

Dari sekian banyak orang, hanya satu yang hidup dan menyelamatkan diri ke sebuah daratan. Ketika tertidur dalam kondisi antara sadar dan tidak, ia mendengar suara alunan musik petik yang begitu indah dari dasar sungai. Semakin lama dia mendengar suara tersebut, semakin dekat pula rasanya jarak sumber suara. Suara itu membuat penasaran.

Suara musik itu sebagai ilham dari leluhur. Sekembali ke rumah, ia mencoba membuat alat musik itu dan memainkannya sesuai dengan lirik lagu apa yang didengarnya. Mulai saat itu sape’k Kenyah dimainkan dan menjadi musik tradisi suku Dayak Kenyah.

Meniti zaman

Seiring perkembangan zaman, sape’k di bawah bayang-bayang kepunahan ditelan modernisasi. Maka, seniman yang terpanggil hatinya untuk mempertahankan kelestarian alat musik itu pun berupaya untuk menjaga eksistensi alat musik tersebut.

Christian mengombinasikan sape’k dengan perangkat musik modern, misalnya dilengkapi dengan fasilitas yang bisa terhubung dengan pengeras suara, sehingga anak muda tertarik memainkannya.

"Sape’k pun digunakan untuk mengiringi musik modern dengan konsep kolaborasi. Senar tidak menggunakan akar dan rotan lagi, tetapi memakai senar gitar,” ujarnya.

Christian bahkan sudah menciptakan album musik Dayak dengan menggunakan sape’k sebagai salah satu komponen yang digunakan dalam aransemen musik. Dalam setiap penampilannya, sape’k tidak pernah lepas dari tangannya. ”Saya kerap diundang ke Malaysia dan Eropa,” kata Christian.

Ferdinandus Lah, seniman sape’k lainnya di Kalbar atau yang akrab disapa Feri Sape’k, menuturkan, di Kalbar sape’k merupakan kebudayaan asli Dayak Kayaan di Kabupaten Kapuas Hulu. Di daerah itu, sape’k untuk mengiringi tradisi Dange, yakni syukuran sehabis panen dengan tarian.

Feri menuturkan, masyarakat Dayak Kayaan di Kalbar masih ada hubungan erat dengan Dayak Kenyah di Kaltim karena pernah ada mobilisasi masyarakat Dayak dari Kaltim menuju Kalbar. Sape’k yang awalnya menjadi tradisi di Dayak Kenyah terbawa pula hingga ke Kalbar. Hingga kini sape’k tidak hanya dimainkan masyarakat Dayak Kayaan, tetapi subsuku Dayak lainnya di Kalbar.

Upaya mempertahankan eksistensi warisan leluhur dilakukan dengan menjadikan sape’k sebagai salah satu mata kuliah ke kampus, khususnya kepada anak muda dengan cara pengajaran yang menarik. Pola pengajarannya tidak murni bermain sape’k untuk mengiringi ritual tertentu, tetapi sudah kesenian yang bersifat kreasi.

Feri juga kerap bermain di Dubai, Iran, dan Brunei. ”Agar sape’k dikenal di luar, harus membuka diri dan bergaul dengan kebudayaan lain. Dengan bergaul, orang tahu kebudayaan Dayak,” kata Feri.

Tantangan terbesar dalam melestarikan sape’k adalah minimnya referensi tertulis bagi generasi muda untuk belajar di kemudian hari. Jika hanya mengandalkan sumber lisan, saat sumber lisan itu sudah tiada, tidak ada lagi yang bisa berbagi sejarah. (EMANUEL EDI SAPUTRA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com