Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asyiknya Bersepeda Mengunjungi Perbatasan RI-PNG

Kompas.com - 15/06/2015, 08:31 WIB
Wisnubrata

Penulis

Saat makan malam, kami berbagi cerita soal perjalanan hari ini. Beberapa pesepeda ternyata memiliki pengalaman serupa, yakni terpisah dari rombongan dan bersepeda sendirian dalam gelap. Ada yang berdoa sepanjang jalan, ada yang menikmati kesunyian, dan ada pula yang ketakutan karena takut bertemu anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan diculik.

Mengunjungi negara tetangga

Malam itu kami tidur dalam tenda. Tidak ada kesibukan mengecek pesan di ponsel karena kami semua tidak memperoleh sinyal. Berbantalkan tas kecil dan berselimut sarung, saya terlelap beberapa jam, sebelum terbangun oleh suara teriakan dan hiruk pikuk di luar. Ternyata segala keriuhan itu berasal dari para pesepeda dan penduduk yang nonton final Piala Champions antara Barcelona melawan Juventus. Pendukung kedua kesebelasan saling berteriak saat jagoannya menggiring bola mendekati gawang lawan.

Saya berpikir, orang-orang ini nggak punya udel. Bersepeda seharian, masih kuat pula bangun dini hari untuk nonton bola. Padahal esoknya kami masih harus menempuh perjalanan kembali ke Merauke. Namun itulah kegembiraan bersepeda. Rasa pegal dan capai adalah kenikmatan. Perjalanan serupa dengan peziarahan. Setiap kayuhan dirasakan sebagai pencapaian baru. Para pendukung Barcelona barangkali punya kekuatan lebih untuk bersepeda setelah jagoannya menang 3-1. Entah perasaan mereka yang mendukung Juventus.

Sebagian besar dari kami tidak lagi melanjutkan tidur, namun ikut menonton bola dilanjutkan dengan antre mandi di temaram pagi. Air yang segar itu menjadi sungguh dingin, sehingga acara mandi berlangsung lebih cepat. Brrrrr...

Saat Matahari muncul, kami bergegas berjalan menuju perbatasan. Ternyata tenda kami berjarak hanya beberapa ratus meter dari tugu perbatasan dengan Papua Nugini. Melangkah beberapa ratus meter dari situ adalah daerah netral. Lalu ke dalam lagi dijumpai patok-patok penanda bahwa daerah seberang adalah luar negeri.

Tidak seperti di bagian Indonesia yang terdapat jalan aspal, di wilayah Papua Nugini, jalanan itu berupa jalan setapak tanah saja. Desa terdekat Papua Nugini jaraknya 15 kilometer. Kami ingin masuk lebih dalam, namun beberapa orang memperingatkan agar tidak bergerak terlalu jauh. Karena bila tertangkap patroli perbatasan, bisa-bisa kita ditahan jika tidak memiliki dokumen untuk melintas.

Meski begitu, keingintahuan mengalahkan kekhawatiran. Toh hari masih sangat pagi. Mana ada patroli sepagi ini, demikian pikir kami. Maka kami pun masuk lebih dalam, menjumpai banyak musamus sekaligus berharap bertemu orang dari seberang.

Harapan itu terkabul. Di tengah jalan setapak kami bertemu Sekhu Ndike, lelaki paruh baya yang merupakan warga Papua Nugini. Sukunya tinggal di wilayah perbatasan, dan ada sebagian kerabatnya yang merupakan WNI karena rumahnya di wilayah Indonesia. Keponakannya, Daud Ndike yang juga kami jumpai pagi itu ternyata warga Indonesia. Sekhu yang berperawakan tinggi dan selalu mengunyah pinang sirih ini kemudian menjadi rebutan untuk berfoto bersama.

Kompas.com/Wisnubrata Seorang peserta Jelajah Sepeda Papua mencoba sepeda milik warga Papua Nugini.

Di perbatasan kami juga menjumpai  tiga pria Papua Nugini yang hendak kembali ke desanya setelah berbelanja di Indonesia. Mereka naik sepeda usang tanpa rem, dan membawa keranjang-keranjang berisi belanjaan. Menurut mereka perjalanan ke desanya makan waktu 1,5 hingga 2 jam bersepeda. Salah seorang pesepeda pun berseloroh, “Coba pakai ini, pasti lebih cepat,” sambil menyodorkan sepeda gunungnya.

Sapi Potong Kompas

Menjelang siang, usai makan pagi, kami berpamitan dengan para anggota TNI penjaga perbatasan. Pos dan barak mereka dikelilingi kebun sayur yang segar. Terong, labu dan berbagai sayuran ditanam dalam baris-baris yang rapi. Kata seorang tentara, “Ini kesibukan kami sehari-hari. Perbatasan ini relatif aman dan tidak banyak kegiatan. Sehingga kami memiliki waktu untuk berkebun.”

Di dekat perbatasan ada juga warung yang menjual cendera mata. Beberapa pesepeda tidak melewatkan kesempatan untuk membeli berbagai barang setempat seperti tas noken, hiasan kepala dari bulu-bulu burung, sarang semut yang ditumbuk, madu hutan, dan kaos bertuliskan “Lintas Batas RI-PNG”.

Kompas.com/Wisnubrata Salah seorang anggota TNI penjaga perbatasan di tengah kebun sayurnya di Sota, perbatasan RI-PNG

Hari Minggu itu adalah etape terakhir Jelajah Sepeda Papua. Tujuan kami adalah kembali ke Merauke, melintasi Wasur. Perjalanan ini relatif singkat karena para pesepeda memacu tunggangannya dengan kencang. Rombongan sempat beristirahat makan siang di tengah Taman Nasional sambil menikmati embusan angin dan indahnya pemandangan. Namun perjalanan segera dimulai lagi.

Memasuki Merauke ada kejadian yang menggelikan. Sekawanan sapi yang berada di ladang, tiba-tiba berlari kencang di samping rombongan, lalu menyeberangi jalan memotong jalur pesepeda. Sontak kami berteriak-teriak agar pesepeda berhenti dan memberi jalan pada sapi-sapi agar tidak tertabrak. “Ini adalah sapi potong kompas,” ujar seorang peserta. Ungkapan yang tepat karena Jelajah Sepeda Papua ini diadakan oleh harian Kompas, sehingga rombongan kami disebut juga rombongan Kompas.

Sekitar pukul 15.00 akhirnya kami memasuki Lapangan Mandala di Merauke. Sambutannya ternyata luar biasa. Warga berkumpul di lapangan dan tarian-tarian diadakan untuk memeriahkan penyambutan. Turun dari sepeda kami saling berpelukan penuh haru. Lima etape penuh keringat, tanjakan, turunan telah dilalui bersama dalam kegembiraan dan penuh canda. Kebahagiaan itu kemudian diluapkan dengan mengikuti tarian yang energik. Kami seolah lupa pada keletihan, rasa sakit di kaki, dan panas yang membakar kulit. Semua terbayar dengan pencapaian ini.

Saat memasuki Merauke, tim jelajah sekaligus menuntaskan impian Kompas untuk menjelajahi Indonesia dari Sabang sampai Merauke menggunakan sepeda sebagai salah satu bentuk gerakan mencintai Indonesia. Dan melalui jelajah sepeda ini, kami bisa bertemu langsung dengan orang-orang, mendengar cerita mereka, melihat keindahan tanah air, merasakan berbagai jenis makanan daerah dan budayanya, dan berujung pada satu hal, cinta Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com