Saya ingin bercerita tentang pengalaman berinteraksi dan merasakan keragaman di salah satu megapolitan terbesar di Asia itu. Siapa tahu, pengalaman dan apa yang saya refleksikan bisa berguna untuk Indonesia.
Hari dan Malam Pertama
Saya tiba di Seoul pada Jumat (5/6/2015) pagi setelah 7 jam perjalanan dengan Korean Air. Saat itu, Korea Selatan sedang dihajar isu Middle East Respiratory Syndrom (MERS). Namun entah kenapa, orang Seoul tampak santai, hanya beberapa tampak terlihat memakai masker.
Dengan subway, saya menuju kawasan Itaewon, tempat penginapan yang saya pesan dengan Airbnb.com berada. Perjalanan ke downtown Seoul itu memakan waktu sekitar satu jam dengan satu kali transit subway.
Itaewon adalah kawasan internasional di Seoul. Itaewon bisa diibaratkan sebagai Legian di Bali, tetapi minus pantai. Di sini, bar, klub malam, pedagang kaki lima hingga toko-toko fashion merek ternama berada.
Saya menghabiskan siang untuk keliling di sekitar tempat menginap. Saya mencicipi makanan khas Korea, bibimbap. Makanan itu ibarat nasi campur, terdiri dari wortel, daging sapi atau ayam, sesame oil, dan saus yang diaduk jadi satu. Pasti, ada tambahan kimchi.
Malamnya, dalam kondisi yang sebenarnya masih mengantuk akibat kurang tidur di pesawat pada malam sebelumnya, saya berkeliling ke pusat-pusat keramaian. Saya menjumpai musisi jalanan yang ternyata masih ada di kota Seoul. Orang juga berkerumun melihatnya.
Saya masuk ke bar bernama Dilinger. Banyak orang bercakap-cakap dengan teman hingga beberapa mabuk, keluar, dan muntah di jalanan. Saya minum dua botol kecil bir saja. Mahal, satu botol bir Heineken bisa 9.000 Won, sekitar Rp 100.000.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.