Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Hari Dua Malam Mencicipi Keragaman Kota Seoul

Kompas.com - 17/06/2015, 08:21 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Pantai, gunung, museum, dan candi memang obyek-obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Pastinya, saya juga selalu ke sana setiap kali berwisata. Namun, bukan itu yang ingin saya ceritakan dalam tiga hari dua malam di kota Seoul kali ini.

Saya ingin bercerita tentang pengalaman berinteraksi dan merasakan keragaman di salah satu megapolitan terbesar di Asia itu. Siapa tahu, pengalaman dan apa yang saya refleksikan bisa berguna untuk Indonesia.

Hari dan Malam Pertama

Saya tiba di Seoul pada Jumat (5/6/2015) pagi setelah 7 jam perjalanan dengan Korean Air. Saat itu, Korea Selatan sedang dihajar isu Middle East Respiratory Syndrom (MERS). Namun entah kenapa, orang Seoul tampak santai, hanya beberapa tampak terlihat memakai masker.

Dengan subway, saya menuju kawasan Itaewon, tempat penginapan yang saya pesan dengan Airbnb.com berada. Perjalanan ke downtown Seoul itu memakan waktu sekitar satu jam dengan satu kali transit subway.

Itaewon adalah kawasan internasional di Seoul. Itaewon bisa diibaratkan sebagai Legian di Bali, tetapi minus pantai. Di sini, bar, klub malam, pedagang kaki lima hingga toko-toko fashion merek ternama berada.

Saya menghabiskan siang untuk keliling di sekitar tempat menginap. Saya mencicipi makanan khas Korea, bibimbap. Makanan itu ibarat nasi campur, terdiri dari wortel, daging sapi atau ayam, sesame oil, dan saus yang diaduk jadi satu.  Pasti, ada tambahan kimchi.

Malamnya, dalam kondisi yang sebenarnya masih mengantuk akibat kurang tidur di pesawat pada malam sebelumnya, saya berkeliling ke pusat-pusat keramaian. Saya menjumpai musisi jalanan yang ternyata masih ada di kota Seoul. Orang juga berkerumun melihatnya.

Yunanto Wiji Utomo Musisi jalanan di trotoar Itaewon, Seoul, beraksi pada Jumat (5/6/2015) malam.
Sepanjang jalan, terlihat anak-anak muda dan pekerja. Mereka mengenakan t-shirt atau kemeja dengan celana chino atau jeans yang 7/8, atau sengaja dilinting agar jadi congklang. Banyak yang memakai sneaker tanpa tali. Kebanyakan mereknya Vans, mungkin itu idola orang Seoul.

Saya masuk ke bar bernama Dilinger. Banyak orang bercakap-cakap dengan teman hingga beberapa mabuk, keluar, dan muntah di jalanan. Saya minum dua botol kecil bir saja. Mahal, satu botol bir Heineken bisa 9.000 Won, sekitar Rp 100.000.

Sekitar pukul 02.00 dini hari, orang baru tampak pulang. Banyak dari mereka mengisi perut dulu sebelum ke rumah, mulai makan bibimbap, sandwich, ramen, bakery di Seven Eleven, kebab, atau sekadar makan es krim Turki.

Oh ya, di Itaewon, semua makanan ada. Korea dan Jepang pasti. Ada juga makanan Timur Tengah dengan penjual yang banyak berasal dari Turki. Ada juga makanan India dan Melayu dengan label "Halal" di pintu restorannya.

Hari Kedua

Setelah pulang sekitar pukul 02.00 dini hari dan tidur, saya mendapatkan cukup energi untuk menjelajah Seoul esok harinya. Sekitar pukul 11.00 siang waktu setempat, saya bangun, makan siang, dan siap ke stasiun subway.

Untuk naik subway, bisa membeli kartu sekali jalan. Biayanya sekitar 1.500 - 2.000 Won sekali jalan. Ada deposit 500 Won setiap membeli tiket. Seperti tiket Commuter Line di Jakarta, setelah sampai tujuan, kartu bisa dikembalikan dan uang deposit juga bakal kembali.

Ada juga kartu untuk berkali-kali perjalanan dan bisa diisi ulang. Harga kartu 2.500 Won. Biaya perjalanan akan lebih murah 100 Won bila menggunakan kartu itu. Dan, pengguna tak harus mengantri tiap saat di mesin transaksi.

Setelah ke Museum Perang Korea di dekat stasiun Samgakji, saya ke daerah Insadong. Ini adalah area pameran dan penjualan barang-barang seni dan kerajinan dengan konsep pedestrian. Jalannya rindang. Tak ada kan kawasan pedestrian untuk berjualan karya seni di Jakarta?

Yunanto Wiji Utomo Teko pembuat teh, salah satu souvenir yang bisa didapatkan di kawasan Insadong, Seoul.
Ada sejumlah galeri seni yang menggelar pameran. Sejumlah orang menyaksikan pameran lukisan. Di luar, ada penjual teko dan gelas keramik untuk menghidangkan teh sampai tirai dan tas yang terbuat dari dari bahan linen berkualitas. Harganya bisa jutaan.

Ada dua gerai teh cukup terkenal di daerah Insadong. saya mencoba keduanya. Gerai pertama tradisonal. Saya mencoba teh mistletoe yang katanya bisa mendukung kerja ginjal dan mengatasi hipertensi. Saya penasaran saja seperti apa mistletoe kalau dibikin teh. Lumayan.

Gerai lain yang saya coba berkonsep modern, mengandalkan teh yang dikatakan berasal dari Jeju Island. Saya minum gua gelas teh. Yang pertama adalah es green tea Jeju dan yang kedua adalah double shot green tea latte. Matcha pada double shot-nya nendang.

Yunanto Wiji Utomo Rumah Hanok di kawasan Buckon, Seoul.
Berjalan sekitar 1,5 kilometer dari Insadong, saya mengunjungi kampung dengan rumah-rumah tradisional yang masih terpelihara baik. Rumah itu disebut Hanok, terletak di wilayah yang bernama Buckon.

Buckon ibarat oase di tengah kota Seoul yang penuh gedung bertingkat. Indah karena di tengah megapolitan terdapat kampung dengan rumah tradisional yang bersih, terpelihara, dan mnjadi obyek wisata.

Hanok unik secara sains dan lingkungan. Secara sains, hanok punya sistem pemanasan bernama ondol yang memuat penghuninya merasa hangat di tengah musim dingin. Secara lingkungan, Hanok ramah kepada alam karena memanfaatkan material di sekitarnya.

Saya hanya berkeliling dan mencicipi kue-kue khas Korea di Buckon. Namun bagi yang menginginkan, ada sejumlah kursus seni. Ada juga sejumlah rumah yang kini menjadi guest house jika berminat bermalam di kampung itu.

Jakarta punya sejumlah kampung yang dilestarikan menjadi kampung Betawi. Saya hanya berpikir, mungkin area di Jakarta itu perlu dikembangkan lagi sehingga bisa menjadi obyek wisata yang menarik turis mancanegara.

Malam Kedua

Sabtu (6/6/2015) malam, saya kembali ke dekat tempat menginap di Itaewon. Saya malas membayar mahal untuk taksi pulang. Di samping itu, ada sejumlah gang di Itaewon yang belum saya jelajahi. Ya, gang. Itaewon memang terdiri atas gang-gang, bukan blok-blok.

Setelah makan malam dan sedikit istirahat, saya keluar sekitar pukul 11.00 malam. Host tempat saya menginap mengatakan, kemacetan di Itaewon baru memuncak mulai waktu tersebut. Benar saja, begitu keluar gang, orang sudah memadati trotoar.

Saya melewati area yang mungkin Anda tak akan pernah minati. Di Usadan-ro, ada wilayah yang bernama Homo Hill. Di sana, terdapat sejumlah bar untuk kalangan lesbian, gay, biseksual dan transeksual. Satu gang untuk transgender, gang lain untuk gay.

Tak ada yang spesial. Hanya tampak kaum LGBT setempat dan juga wisatawan bergerombol di bar atau di gang sambil minum bir atau cocktail. Nuansa gay-nya pun lebih samar, tak seperti Shinjuku 2-chome di Tokyo yang lebih vulgar.

Yunanto Wiji Utomo Suasana di Homo Hill, Itaewon, pada Sabtu (6/6/2015)
Uniknya, kawasan gay itu terletak tak jauh dari masjid terbesar di kota Seoul di Hannam-dong berikut dengan warga muslim di sekitarnya. Keluar dari gang Homo Hill, terdapat juga bar untuk kaum heteroseksual. Semua menyatu.

Di salah satu bar, saya bertemu dengan seorang warga negara Amerika Serikat yang mengajar bahasa Inggris di Korea dan juga menguasai bahasa Indonesia. Dia mengatakan, bahasa Indonesia cantik dan logis.

Kawasan nongkrong di Indonesia mungkin sudah mulai sepi sekitar pukul 2.00 dini hari. Tapi di Itaewon, jam 2.00 dini hari masih ramai. Orang baru mulai pulang sekitar pukul 4.00 dini hari. Jalanan macet karena antrean taksi.

Saat jam pulang nongkrong itu, sampah menumpuk, sedikit bertebaran. Tapi itu juga yang memang selalu dijumpai di kawasan hiburan, termasuk di Roppongi, Tokyo, kota besar yang dikenal bersih.

Hari Ketiga

Hari ketiga, saya tak punya banyak waktu. Tapi, ada dua orang teman yang menemani. Kami mengelilingi sejumlah wilayah, antara lain Istana Gyeongbok. Ini tujuan utama wisatawan yang berkunjung ke Seoul, sama seperti orang hampir selalu berkunjung ke Keraton saat ke Yogyakarta.

Saya dan teman tiba pukul 14.55 waktu setempat, tepat 5 menit sebelum upacara pergantian penjaga dimulai. Saya menyaksikan ritual upacara itu beserta sekitar seratusan wisatawan lain yang mengerumuni halaman depan istana.

Yunanto Wiji Utomo Upacara pergantian penjaga Gyeongbok Palace di Seoul pada Minggu (7/6/2015).
Sore menjelang malam, saya mampir ke salah satu restoran di Buckon. Restoran itu menjual sup ayam ginseng. Harganya memang hampir Rp 200.000. Tapi dengan rasanya, cukup worth it sebenarnya.

Itulah pengalaman tiga hari dua malam saya di Seoul. Satu hal yang menurut saya bagus dari Seoul adalah bahwa wilayah kampung tradisional masih dipelihara di tengah kota Seoul yang metropolis, malah kampung itu "dijual" untuk wisata.

Hal lain adalah adanya kawasan seni tempat di mana kerajinan unik dari penjuru Korea Selatan dijual. Sangat menarik kalau Jakarta dan kota besar di Indonesia lainnya juga bisa punya kawasan itu, tak melulu di mal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Parkir dan Resto Nakal yang Beri Harga Tak Wajar di Bantul, Ini Cara Laporkannya

Ada Parkir dan Resto Nakal yang Beri Harga Tak Wajar di Bantul, Ini Cara Laporkannya

Travel Update
Cara ke Jakarta Aquarium Safari di Neo Soho, Naik KRL dan Transjakarta

Cara ke Jakarta Aquarium Safari di Neo Soho, Naik KRL dan Transjakarta

Travel Tips
Tangal Merah dan Cuti Bersama di bulan April 2024, Ada Lebaran

Tangal Merah dan Cuti Bersama di bulan April 2024, Ada Lebaran

Travel Update
Mengenal Kampung Inggris, Belajar Sembari Liburan

Mengenal Kampung Inggris, Belajar Sembari Liburan

Jalan Jalan
Cara ke Pameran Sampul Manusia dari Tangerang naik Transjakarta

Cara ke Pameran Sampul Manusia dari Tangerang naik Transjakarta

Travel Tips
12 Maskapai Ajukan Penerbangan Tambahan Saat Libur Lebaran 2024

12 Maskapai Ajukan Penerbangan Tambahan Saat Libur Lebaran 2024

Travel Update
Jakarta Aquarium Safari Tambah Tiket dan Show Saat Libur Lebaran

Jakarta Aquarium Safari Tambah Tiket dan Show Saat Libur Lebaran

Travel Update
Festival Bunga Tulip Terbesar di Belanda Dibuka untuk Umum

Festival Bunga Tulip Terbesar di Belanda Dibuka untuk Umum

Travel Update
KA Argo Bromo Anggrek Gunakan Kereta Eksekutif New Generation mulai 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Gunakan Kereta Eksekutif New Generation mulai 29 Maret

Travel Update
Taman Asia Afrika, Area Sejarah di Kiara Artha Park di Bandung

Taman Asia Afrika, Area Sejarah di Kiara Artha Park di Bandung

Jalan Jalan
Omah UGM, Cagar Budaya di Kotagede Yogyakarta Bisa untuk Spot Foto

Omah UGM, Cagar Budaya di Kotagede Yogyakarta Bisa untuk Spot Foto

Jalan Jalan
Harga Tiket Jakarta Aquarium Safari Lebaran 2024, Simak Cara Belinya

Harga Tiket Jakarta Aquarium Safari Lebaran 2024, Simak Cara Belinya

Travel Update
Penginapan Tengah Hutan di Bantul Yogyakarta, Tawarkan Kelas Yoga

Penginapan Tengah Hutan di Bantul Yogyakarta, Tawarkan Kelas Yoga

Hotel Story
Cara ke Pameran Sampul Manusia Naik KRL dan Transjakarta

Cara ke Pameran Sampul Manusia Naik KRL dan Transjakarta

Travel Tips
Wisatawan Sudah Bisa Naik ke Atas Candi Borobudur, mulai Rp 150.000

Wisatawan Sudah Bisa Naik ke Atas Candi Borobudur, mulai Rp 150.000

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com