Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peristirahatan Terakhir yang Menjadi Museum

Kompas.com - 22/06/2015, 13:48 WIB
PERSIS 45 tahun lalu, yaitu 21 Juni 1970, Presiden Pertama Indonesia Soekarno mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta. Bung Karno meninggal pada Minggu, pukul 07.07.

Sebelum meninggal, Bung Karno menghabiskan 17 bulan terakhir hidupnya di Wisma Yaso, Jakarta. Wisma itu menjadi rumah peristirahatan terakhir Bung Karno dalam kondisi kesehatan yang kian memburuk karena sejumlah penyakit.

Sejarawan Peter Kasenda dalam buku "Hari-hari Terakhir Sukarno" mencatat, saat berada di Wisma Yaso, komunikasi dan interaksi Bung Karno dengan pihak luar sangat dibatasi. Bahkan, anggota keluarga yang mau berkunjung pun dibatasi dan dijaga ketat.

Wisma Yaso merupakan rumah pemberian Soekarno untuk istrinya, Ratna Saridewi Soekarno. Setelah Soekarno meninggal, rumah yang ada di Jalan Gatot Subroto ini dijadikan Museum Satria Mandala. Museum yang masih bertahan sampai hari ini tersebut, berdiri pada 5 Oktober 1972 dan diresmikan Presiden Ke-2 RI Soeharto.

Berubah

Sampai saat ini, eksterior Museum Satria Mandala masih menyerupai Wisma Yaso. Namun, tampak dalamnya sudah banyak berubah, karena disesuaikan dengan desain interior khusus pameran museum.

”Tampak luar sebagai gedung utama museum masih dipertahankan. Tetapi, di bagian dalam, sudah banyak yang direnovasi,” kata Irwansyah (52), pramuwidya Museum Satria Mandala sejak 1987.

Sebagai contoh, ruang tamu yang dulunya sering dipakai Soekarno untuk beristirahat, bermain kartu dengan pegawai dan ajudannya, serta menerima tamu secara terbatas, kini terbagi menjadi ruang panji dan lorong diorama berdinding kaca. Di ruang panji itu, sekarang terpasang panji dan simbol TNI dan Polri, serta tiruan teks proklamasi dengan tulisan tangan Soekarno.

Lokasi yang dulunya ruang tamu itu juga menjadi sebuah lorong diorama. Bermacam-macam pembabakan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia diabadikan melalui miniatur manusia dan gedung dari lilin. Sebagai contoh, ada diorama yang menceritakan tentang Pertempuran Surabaya, 10 November 1945, yang dikenal menjadi Hari Pahlawan Nasional.

Kamar yang dulu dipakai Soekarno beristirahat dalam sakit, kini disebut-sebut berada di ruang khusus Jenderal Sudirman, yang terletak tepat di samping lorong diorama. Di tempat itu, kini dipajang benda-benda peninggalan Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, seperti meja dan kursi kayu, serta tempat tidur Sudirman yang beralaskan tikar dari bambu. Terdapat pula pigura besar lukisan Sudirman dalam pose memberi hormat.

”Memang, sudah tidak terlihat lagi seperti kamar, karena desain interior rumah sudah banyak direnovasi dan disesuaikan untuk penampilan museum,” kata Irwansyah.

Semakin dalam memasuki museum yang berdiri di lahan seluas 5,6 hektar itu, terdapat ruang senjata, yang terletak di lantai paling bawah. Ruangan tersebut dulunya merupakan kolam renang dalam ruangan (indoor).

Kini, kolam renang itu sudah ditimbun. Sebagai gantinya, di ruangan berkeramik putih dengan langit-langit rendah itu, dipajang berbagai macam koleksi alat utama sistem persenjataan TNI. Berbagai macam senjata, mulai dari ranjau darat, pelontar granat, hingga senapan asal Italia, Jerman, dan Inggris berbagai kaliber dipajang dan bebas disentuh pengunjung.

Bagian lain Wisma Yaso yang masih dipertahankan, menurut Irwansyah, kemungkinan adalah kebun beserta kolam ikan serta pohon kayu dan tumbuhan yang berada di belakang museum. Di tempat itu, dulu, Soekarno sering menghabiskan waktu untuk berbicara bebas, lepas dari alat penyadap yang tersembunyi di bagian dalam rumah.

Sebagai tambahan, kini, di bagian samping kebun, dipajang berbagai macam tank yang pernah digunakan TNI Angkatan Darat dalam berbagai penumpasan pemberontakan, seperti pemberontakan G30S pada 1965, serta pemberontakan DI/TII pada 1950-1965.

Tidak dijelaskan

Sudah 43 tahun Wisma Yaso berganti nama menjadi Museum Satria Mandala. Ratusan ribu pengunjung pun tercatat sudah mengunjungi gedung tersebut sejak berdiri. Namun, ternyata, tak banyak pengunjung yang tahu, di tempat itu ”Putra Sang Fajar” sempat beristirahat dalam sakit dan sepi.

”Memangnya ini bekas rumah istri Soekarno? Bukannya ini dulu markas bekas TNI? Makanya, sekarang juga jadi museum khusus TNI?” tanya Yudi Saputra (21), petugas keamanan dari Kementerian Hukum dan HAM, yang mengunjungi Museum Satria Mandala pada Sabtu (20/6/2015) siang bersama kedua temannya.

Hal senada disampaikan Dewi (36) karyawan swasta yang mengunjungi museum bersama suami dan kedua anaknya. Semenjak masih sekolah, ia mengaku diwajibkan gurunya untuk mendatangi Museum Satria Mandala. ”Dulu, sering ke sini, disuruh sekolah, tetapi saya tidak pernah tahu ini rumah terakhir Soekarno sebelum wafat. Bukannya dia wafat di Blitar, ya? Ha-ha-ha, saya lupa pelajaran sejarahnya,” ujar Dewi.

Irwansyah mengatakan, ketidaktahuan tersebut memang banyak dijumpai para pengunjung yang mendatangi museum. Ia sendiri sebagai pramuwidya museum juga mengaku jarang menjelaskan status museum yang dulunya merupakan rumah peristirahatan terakhir proklamator Indonesia.

”Paling, saya jelaskan kepada pengunjung bahwa museum ini dulu namanya Wisma Yaso, milik istri Soekarno, tetapi tidak saya sebut bahwa Soekarno tinggal di sini sebelum wafat sebagai tahanan politik,” kata Irwansyah.

Sebelum menjadi pramuwidya, Irwansyah menjalani pelatihan dan diwajibkan membaca sejumlah bahan bacaan terkait sejarah TNI. Namun, dari sejumlah bahan bacaan itu, tidak ada yang menginformasikan tentang museum tersebut berdiri di lokasi Wisma Yaso, serta merupakan rumah terakhir Soekarno sebelum wafat.

Akhir-akhir ini, tutur Irwansyah, beberapa pengunjung mulai menanyakan status museum yang asalnya dari rumah istri Soekarno serta merupakan peristirahatan terakhir Soekarno. Untuk menjawab pertanyaan dari pengunjung, Irwansyah pun akhirnya mempelajari sendiri informasi tentang hari-hari terakhir Soekarno, meski diakuinya belum secara menyeluruh.

”Biar tidak bingung kalau ditanyakan pengunjung. Tahu sendiri, waktu zaman Orde Baru dulu, kan, semuanya di... He-he-he, ya, tahu sendirilah,” tutur Irwansyah.

Jas merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, demikian kata Soekarno sendiri. Sungguh ironis, ia yang mencetuskan ”jas merah”, justru sejarahnya yang terkaburkan. Di era reformasi ini, jangan sampai ada lagi sejarah yang dikaburkan. (Agnes Theodora W)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com