Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sunyaragi, Dunia Sunyi Kasepuhan Cirebon

Kompas.com - 22/06/2015, 17:19 WIB
DI tengah rerimbunan hutan jati yang lebat, lanskap taman sari dibangun di atas lahan seluas 1,5 hektar. Bentuk bangunannya sekilas tampak tidak beraturan, penuh dengan tonjolan karang tajam dan berongga.

Lebih dari 500 tahun lalu, Pangeran Emas Zaenul Arifin atau Panembahan Ratu I yang berkuasa di Cirebon membangun kawasan taman sari itu. Penerus Sunan Gunung Jati itu memilih lokasi taman di atas Danau Segara Jati di tengah hutan. Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari Keraton Kasepuhan.

Ia membangun banyak ruangan yang berbentuk menyerupai ceruk lebar atau lorong-lorong di dalam tanah. Oleh karena bentuk ruangannya yang seperti goa, masyarakat Cirebon sering menyebut bangunan taman sari itu dengan nama Goa Sunyaragi. Padahal, secara keseluruhan, menurut juru pelihara kawasan itu, Mulyana Yusuf (32), Goa Sunyaragi merupakan taman air atau taman sari.

”Hampir seluruh bangunan dikelilingi air. Air juga mengalir dari atap-atap bangunan sehingga membentuk seperti tirai dan mengalir juga ke dalam ruangan,” ungkapnya.

Tentu apa yang diceritakan Mulyana ini hanyalah gambaran masa lalu. Kenyataannya, taman yang dulu dipenuhi suara gemercik air sehingga mampu memunculkan perasaan tenang itu kini kering kerontang. Hanya tersisa parit-parit dan kolam dalam di sekeliling bangunan. Perubahan kawasan dari hutan menjadi kota membuat sumber-sumber mata air di hutan jati berangsur hilang.

Pada siang menjelang sore yang panas, akhir pekan lalu, kami ditemani Mulyana menjelajahi bekas hutan jati dan danau yang dulu menjadi lanskap Goa Sunyaragi. Kami pun penasaran untuk menjelajahi setiap sudut bangunan taman sari itu.

Dari halaman parkir, bangunan taman sari tidak tampak karena tertutup tembok karang. Rupanya tembok itu bagian dari deretan bangku yang dibangun menghadap ke panggung besar yang setiap bagian dekorasinya juga tertutup batu karang.

”Kami setiap tahun menggelar pentas seni besar-besaran di sini. Panggung ini bangunan baru, bukan benda cagar budaya,” ujar Mulyana. Berbagai bentuk seni tradisi dipentaskan di panggung itu, seperti sintren, tari topeng kelana, berokan, dan tayuban.

Untuk sampai ke Goa Sunyaragi tidaklah sulit. Anda hanya perlu berkendaraan sejauh 5 kilometer dari pusat kota Cirebon. Lokasi taman sari itu berada persis di pinggir jalan bypass Dharsono, jalur utama yang menghubungkan Cirebon dengan Bandung-Jakarta.

Berubah fungsi

Begitu masuk melalui gerbang utama, pandangan kami menyergap satu bangunan yang tampak lain dari Goa Sunyaragi. Bangunan di bagian depan ini berbentuk normal seperti bangunan pada umumnya, yaitu tembok licin dicat dengan tiang-tiang besar gaya Eropa.

Ini adalah gedung Pesanggrahan, benda cagar budaya paling muda di dalam area tersebut. Gedung bercat hijau ini menghadap ke timur, berbeda dengan bangunan batu karang yang membentang dari utara ke selatan.

Mulyana menuturkan, gedung Pesanggrahan baru dibangun pada 1884 setelah Cirebon dikuasai Belanda. Bangunan ini dipakai keluarga kerajaan setelah taman sari tidak layak lagi digunakan.

Berdasarkan catatan sejarah, Sunyaragi tidak dibangun sekali, tetapi bertahap. Setelah Panembahan Ratu, pembangunan Sunyaragi dilanjutkan pada 1703 oleh penerusnya, yaitu Pangeran Arya Carbon Kararangen, dan diteruskan lagi oleh Sultan Sepuh V Pangeran Syaifiudin atau dikenal sebagai Pangeran Matanghaji.

KOMPAS/LUSIANA INDRIASARI Sisi lain pemandangan taman sari Goa Sunyaragi, di Cirebon, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Tampak bangunan batu bata dengan dekorasi batu karang.
Namun, menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon Kararangen, taman sari Sunyaragi dibangun hanya satu periode, yaitu pada masa dia berkuasa. ”Ini semacam hegemoni kekuasaan,” ungkap Mulyana.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com