Di sini lah "Base Loloan" sebutan untuk Bahasa Melayu Bali digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Komunitas Islam di Loloan membawa warna dalam pergaulannya. Umat pemeluk agama Hindu yang hidup berdampingan menyebut warga Muslim di sini "nyama" Loloan. "Nyama" memiliki arti saudara.
Di sini kosakata yang sering digunakan masih tidak jauh berbeda dengan bahasa Melayu lainnya, seperti "Gia ne kabar kau?" atau "Apa kabar?"
Bila berkunjung di bulan Ramadhan ini, jangan lewatkan mencicipi masakan khas Loloan yakni pecel ayam kampung dan kopyor sudah akrab dalam berbagai kegiatan.
"Kopyor selalu sebagai makanan pembuka yang keluar setiap setahun sekali. Tanpa ini ibarat makan tanpa sayuran," kata Iqbal, warga Loloan sambil menawarkan takjil kepada KompasTravel.
Haji Achmad Damannuri (82), seorang sesepuh umat Islam kelahiran Loloan menceritakan kembali perihal asal-usul keberadaan kampung ini.
Menurut Damannuri, keberadaan komunitas Islam di Desa Loloan ini bermula dari kedatangan orang-orang Bugis pada tahun 1653. "Pada waktu itu dalam sejarah Kerajaan Sultan Hasanuddin ada Benteng Somba Opu di Makassar direbut oleh VOC. Jadi laskarnya itu dikejar-kejar oleh Belanda akhirnya lari dan ketemulah muara Sungai Ijo Gading," ungkapnya.
Para laskar yang menganut agama Islam ini kemudian berhenti di sebuah muara kampung Bali di wilayah Perancak, bukti peninggalan ini bisa dilihat dari adanya Sumur Bajo pinggir pantai.
Setelah berhenti sebentar di kampung Bali, orang-orang Bugis ini kemudian mencari pemukiman melalui Sungai Ijo Gading.
Atas izin dari penguasa Jembrana, I Gusti Arya Pancoran, mereka diizinkan diizinkan menempati daerah Loloan. "Saking akrabnya hubungan dengan penguasa dibuat lah kampung pertama kali di Loloan Barat dan Loloan Timur yang hidup berjejer bersama umat Hindu dari Merta Sari," tuturnya.
Atas hubungan baik mereka dengan penguasa diperkenanlah untuk memperkenalkan ajaran agama melalui dakwah. Mereka inilah yang memberikan pengaruh kuat atas keberadaan bahasa Melayu di Loloan serta mengajarkan agama kepada orang Bugis menggunakan bahasa pengantar Malaysia.
"Setelah kumpul antara Bugis dan Malaysia ini, dibangunlah Masjid Agung Baitul Qadim di Loloan Timur sebagai lambang kedatangan umat Muslim pertama kali," jelasnya.
Sedangkan di wilayah Loloan Barat, terdapat pula Masjid Mujahidin yang usianya diperkirakan 200 tahun. Di samping alat perang sudah diserahkan penguasa pada abad itu, kapal-kapal Bugis jenis Pinisi Lambo diubah statusnya menjadi perahu niaga antar pulau.
Dan kini, di Masjid Agung Baitul Qadim menyimpan prasasti dari ukiran tangan yang berhubungan erat dengan datangnya rombongan ketiga, yakni datangnya Syarif Abdullah atau Syarif Tua bersama anak buahnya yang keturunan Bugis (Melayu) serta orang Trengganu.
Selain itu di Loloan Timur terdapat sebuah Benteng Fatimah sesuai nama istri Syarif Abdullah yang juga merupakan Putri Sultan Banjarmasin.
"Untuk mengenang jasanya, nama Syarif Tua pun kini dipakai sebagai nama sebuah jembatan Sungai Ijo Gading yang menghubungkan dua wilayah Loloan Barat dan Lolan Timur," ujarnya.
Damannuri mengakui, bahasa Melayu dianggap cukup kuat bertahan sekian abad. Kini bahasa Melayu perlahan kian luntur atas pengaruh dari bahasa Bali seperti dalam contoh kalimat "Gedeg le awak sama kau" atau "Aku marah denganmu". "Gedeg" sendiri artinya "marah" dalam bahasa Bali.
"Bahasa Melayu di sini pernah diteliti oleh ahli, mereka merekam masing-masing rumah tangga, dan dibawanya ke Jakarta. Hasilnya sudah banyak bahasa Bali yang masuk,“ kata Damannuri.
Kampung Loloan berjarak sekitar 90 kilometer dari kota Denpasar dan berjarak 25 kilometer dari Pelabuhan Gilimanuk. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai pedagang dan nelayan di Pengambengan. (EKA JUNI ARTAWAN)