Deretan piring plastik tertata rapi di halaman Masjid Pekojan, di Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, menjelang sore. Tak seberapa lama para pengurus masjid mengisinya dengan bubur hangat beraroma lezat.
Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, bubur india akan menjadi makanan buka puasa di masjid kuno itu. Bubur india biasanya dihidangkan dengan kurma dan minuman manis.
Menjelang maghrib, setiap orang pun mengambil tempat duduk di belakang piring-piring yang telah disiapkan. Mereka pun mulai menyantap penganan itu sesaat setelah azan Maghrib berkumandang.
Menurut takmir Masjid Pekojan, Achmad, bubur india telah menjadi tradisi berbuka puasa di masjidnya. Tradisi itu, lanjutnya, diawali ketika dahulu para musafir dari Pakistan, India, dan Gujarat berkumpul untuk berbuka puasa bersama.
”Dari awalnya membawa bekal masing-masing, lama-kelamaan dibuat terkoordinasi. Muncullah bubur india,” ujar Achmad.
Bubur india, kata Achmad, merupakan perpaduan dari rasa India dan Nusantara. Bumbu kari bercampur dengan rempah Indonesia menjadikan rasa bubur india berbeda dengan asalnya.
Achmad mengatakan, hingga kini tradisi itu terus diupayakan ada di masjid yang sudah ada sejak tahun 1309 itu.
Selain bubur india, saat Ramadhan kaum Muslim di Semarang juga mengenal kopi arab. Tradisi kopi arab itu hadir di Masjid Menara atau Masjid Layur yang dibangun sejak 1743 di Kampung Melayu, kampung di tepian Kali Semarang.
Kopi arab menyajikan kekhasan dalam aromanya. Kopi arab adalah kopi yang direbus dengan rempah-rempah seperti kapulaga, jahe, cengkeh, kayu manis, juga daun pandan. Mencampur kopi dengan rempah memang menjadi salah satu cirinya.
Budayawan Semarang, Djawahir Muhammad, mengatakan, tradisi India dan Arab dibawa oleh para penyebar agama Islam ke Pulau Jawa pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Di Semarang, pedagang-pedagang dari Timur Tengah, juga India, kala itu pun berkumpul dan membentuk komunitas di sekitar kawasan pelabuhan.
Para pendatang itu kemudian membawa tradisi yang ada di tempat asalnya, termasuk penganan seperti kopi arab dan bubur india. Dalam perjalanannya, terjadi akulturasi budaya di antara berbagai etnis yang ada, Melayu, India, Arab, China, juga Jawa.
”Budaya hybrid ini yang kemudian tumbuh hampir di seluruh wilayah Semarang. Tumbuhnya semangat multikultural itu menjadi bibit toleransi antarumat beragama dan antaretnis,” ujar Djawahir.
(AMANDA PUTRI NUGRAHANTI)
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.