Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kue Maksuba dan Punggawa Dapur Lebaran

Kompas.com - 22/07/2015, 19:04 WIB
SANJO atau silaturahim Lebaran di Palembang tidak akan lengkap tanpa maksuba atau kue delapan jam terhidang di meja. Demi menyajikan penganan khas Lebaran ini, para punggawa masakan tradisi Palembang pun dikerahkan. Mereka bekerja siang malam untuk membuat kue tradisional Palembang yang berasa legit tersebut.

Aminah (60) sudah tak pulang dua hari dua malam pada Selasa (14/7/2015). Menjelang Lebaran, ia menginap tiga hari tiga malam untuk memasak hidangan Lebaran di rumah orang yang menggunakan jasanya, pemilik usaha rumahan kue-kue dan pempek Nyayu Helen Kurnia (30). ”Rumah saya jauh, di Kertapati. Kalau pulang pergi akan capek, jadi menginap sekalian,” kata nenek enam cucu itu sambil terus memeriksa kue-kue di dalam pemanggang.

Panggong adalah sebutan untuk juru masak tradisional Palembang yang biasanya mewarisi keterampilan memasak secara turun-temurun. Jasa mereka kerap diperlukan saat dibutuhkan masakan-masakan khas Palembang dalam jumlah besar, seperti pesta hajatan, pesta perkawinan, atau Lebaran seperti saat ini.

Ibarat punggawa, tugas panggong adalah memimpin dapur, mulai dari menentukan bumbu dan bahan masakan, mengatur penempatan orang di dapur, hingga sering kali membagi honor. Panggong yang sedang bertugas disebut sedang manggong.

Aminah selalu manggong bersama seniornya, Yayu (65). Kedua perempuan yang masih segar di usia senjanya itu dikenal sebagai panggong andalan di kawasan Prujurit Nangyu di 3 Ulu, Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Saat ini, mereka sudah menjalani profesi itu selama puluhan tahun.

Selama tiga hari ini, Aminah dan enam rekannya berjibaku memasak lebih dari 100 loyang kue-kue basah khas Palembang, seperti maksuba, kue delapan jam, engkak ketan, kojo, dan lapis legit.

Bagi orang Palembang, kue-kue basah tradisional ini wajib ada di meja saat Lebaran tiba. Maksuba dan kue delapan jam sebenarnya berbahan dasar sama, yaitu telur, gula, susu, dan tepung gandum. Bedanya, maksuba dibuat selapis demi selapis dan dipanggang dalam oven selama sekitar 2-4 jam. Sementara kue delapan jam merupakan bolu penuh yang dikukus selama 8 jam penuh dan dipanggang untuk mengeringkan airnya.

Karena prosesnya yang berbeda, maksuba mempunyai tekstur yang terkesan renyah kendati merupakan kue basah. Adapun kue delapan jam lebih mirip bolu. Kue-kue ini biasanya dihidangkan sebagai hidangan penutup setelah santapan tekwan atau pempek yang juga khas Palembang. Karena begitu legit rasanya, sepotong maksuba atau kue delapan jam sudah membuat lidah puas dan perut terasa penuh.

Penguji kesabaran

Memasak kue-kue khas Palembang itu merupakan penguji kesabaran. Karena proses yang lama dan membutuhkan perhatian penuh, generasi muda kerap tak sabar untuk memasak dengan baik.

”Maksuba ini harus diawasi terus di panggangan supaya tidak gosong. Kalau kue delapan jam, harus pagi-pagi benar mulai memasak karena butuh dikukus seharian. Kalau kesiangan bisa merepotkan sendiri,” kata Yayu, yang pernah diboyong hingga Jakarta dan Bandung khusus untuk memasak.

Dulu, ibu-ibu rumah tangga Palembang menghabiskan hari-hari terakhir di bulan puasa untuk memasak kue-kue itu sendiri di rumah masing-masing. Saat ini, sebagian besar keluarga membelinya.

Pada masa lalu, memasak maksuba lebih merepotkan lagi karena belum ada oven modern. Dulu, mereka menggunakan panggangan tradisional berbentuk bulat yang disebut gendok. Bahan bakar oven ini bisa arang atau kayu. Saat ini, proses memanggang jauh lebih praktis dengan oven modern berbahan bakar gas.

Menurut Nyayu Helen Kurnia, sejarah maksuba dan kue delapan jam tak benar-benar diketahui. Kisah yang beredar mengatakan, maksuba berasal dari Mak Zubaedah yang memasak kue dengan bahan-bahan seadanya. ”Dia itu sembarangan membuatnya, namun ternyata jadinya enak. Entah benar atau tidak cerita ini,” kata Helen, yang telah empat tahun menjalankan usaha rumahan kue-kue dan pempek.

Lain lagi dengan kue delapan jam, kue itu disebut turunan maksuba. Konon, seorang bapak merasa kesal karena anaknya merengek meminta maksuba. Maka, ia menumpahkan adonan maksuba tanpa dibuat berlapis-lapis dan dikukus begitu saja. Ternyata, setelah lama terkukus, kue yang jadi itu pun lezat rasanya.

Maksuba dan kue delapan jam itu kini menjadi simbol manis dan legitnya silaturahim di Hari Raya. (Irene Sarwindaningrum)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com