Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sedapnya Rebung Chai Nat

Kompas.com - 31/07/2015, 12:51 WIB
SEJAK tahun 2000, komunitas hutan masyarakat Khao Rao Thian Thong di Provinsi Chai Nat, Thailand, mengelola hutan bambu seluas 159 hektar. Hutan itu menjadi sumber pendapatan bagi warga di 14 desa setempat yang setiap musim hujan memanen tunas bambu atau rebung, jamur, madu, serta berbagai tumbuhan berkhasiat obat.

Hasil hutan itu signifikan menopang kehidupan warga yang umumnya petani padi ladang. Lokasi tanpa irigasi membuat panen sekali setahun.

Pertengahan Juli 2015, Kompas bersama sejumlah wartawan dari Nepal, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar didampingi staf RECOFTC-The Center for People and Forests dan ASEAN Social Forestry Network, melihat hutan bambu itu. Desa di Distrik Noen Kham, Provinsi Chai Nat itu ditempuh lima jam ke utara dari Kota Bangkok.

Didampingi warga Desa Nomor 10 (Village No 10), Somyes Sriwana dan Sanan Amornpol, kami diajak mendaki bukit kecil hutan bambu. Persis di puncak bukit, terdapat patung Buddha setinggi 4 meter.

Dari sana, kami bisa melihat sekeliling hutan bambu. Tanaman yang juga banyak di Indonesia itu berdiameter kecil yang oleh masyarakat disebut ”pa ruak” atau dalam bahasa latin Thyrsostachys siamensis Gamble.

Hari itu, temperatur udara 33 derajat celsius. Ranting-ranting bambu dan tanah kecoklatan, kering. ”Kalau dulu, cuaca panas seperti ini sangat rawan terbakar,” kenang Somyes. Itu terjadi sebelum tahun 2000-an, ketika sumber daya alam dari hutan sangat melimpah.

Sejak komunitas masyarakat tinggal di Chai Nat tahun 1963, hutan dieksploitasi untuk kayu bakar dan arang. Hasilnya, hutan terdegradasi puluhan tahun dan langganan kebakaran.

Kerusakan hutan itu membuat sumber daya alam tak lagi ramah. Hasil rebung dan jamur jadi minim.

Kondisi hutan yang terdegradasi itu menciptakan kesadaran warga untuk berinisiasi melindungi hutan dari kebakaran maupun eksploitasi. Harapannya, hutan kembali memberi panen berbagai hasil nonkayu.

Kini, hasil itu dirasakan masyarakat. Beberapa studi menunjukkan, hutan setempat mulai menjadi habitat babi hutan, merak, dan ayam hutan. Yang dirasakan langsung masyarakat, jika sebelumnya di saat musim hujan mereka menganggur, kini ada pekerjaan tambahan: memanen rebung dan jamur.

Hasil jamur panen warga Desa Nomor 10 saja-belum 13 desa lain-meningkat. Panen jamur yang hanya tumbuh di sekitar rumpun bambu itu meningkat dari 300 kilogram (1997) menjadi 870 kg (2008). Nominal rata-rata sekitar 160.000 baht atau setara Rp 63 juta dengan harga jamur 200 baht per kg.

Sementara itu, kuantitas hasil rebung turun dari 8.373 kg (2004) jadi 7.345 kg (2008). Nominal rata-rata 56.000 baht atau setara Rp 22 juta, dengan harga rebung 8 baht per kg.

Menurut Sanan, penurunan panen bambu terkait waktu panen yang juga singkat. Masyarakat setempat menerapkan buka-tutup pemanenan hasil hutan, seperti tradisi ”sasi” di masyarakat pesisir Maluku dan Raja Ampat atau ”manee” di perairan Tahuna di Sulawesi Utara.

Penutupan hutan bagi pemanenan bambu dan jamur biasa dilakukan di akhir musim hujan, sesuai kesepakatan masyarakat di 14 desa. Tujuannya memberi kesempatan regenerasi bagi pertumbuhan batang bambu muda.

Selama musim panen rebung, masyarakat memprosesnya dengan fermentasi. Ini agar rebung tetap dapat dinikmati sepanjang tahun.

Aturan main lainnya yang berbasis kearifan lokal, siapa pun dilarang memanen tunas bambu berukuran 1 meter atau lebih. Masyarakat juga dilarang memotong tanaman-tanaman liar yang mereka namakan ”phak wan”, ”phak inun”, dan berbagai tanaman herbal lainnya.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO Kain kuning diikatkan pada batang pohon di hutan milik negara yang dikelola komunitas masyarakat Khao Rao Thien Thong di Provinsi Chai Nat, Thailand. Pohon terikat menjadi tanda larangan menebang pohon itu. Hutan seluas 159 hektar itu memberi cadangan air serta sumber tanaman berkhasiat obat bagi masyarakat sekitar.
Cara memanen tanaman herbal itu harus dengan memetik, bukan mematahkan ranting maupun batang. Pemanenan jamur pun dilarang dengan menggali agar struktur tanah tak rusak.

Bagaimana dengan pemanenan batang bambu? Warga sepakat hanya bambu berusia lebih dari 3 tahun yang bisa dipotong. Itu pun hanya digunakan untuk pribadi, seperti renovasi rumah dan seizin pengurus komunitas.

Selain di hutan mengelola hutan bambu, masyarakat juga menjaga hutan campuran atau ”pa mai jing”. Hutan lindung itu terdapat 15 stasiun sesuai peruntukannya, seperti edukasi, penelitian, dan wisata.

Oleh masyarakat, batang pepohonan setempat diikat kain warna coklat-kuning, seperti kain yang dipakai biksu. Ikatan itu menunjukkan tanaman dilindungi atau tak boleh ditebang.

Jika aturan-aturan itu dilanggar, sanksi pertama, pelaku diperingatkan. Kesalahan dua kali, pelaku didenda 500-1.500 baht. Tiga kali mengulang kesalahannya, pelaku diserahkan ke polisi.

Berproses

Meski komunitas ini terbentuk tahun 2000, hingga kini masih berupaya mencari bentuk keberlanjutannya. Komunitas yang meraih berbagai penghargaan itu masih menggantungkan operasional komunitas dari pendanaan sponsor, seperti perusahaan minyak dan gas Thailand, PTT Group dan berbagai proyek kerja sama dengan LSM maupun badan internasional.

Menurut Saichon Puangpikul, perempuan pendiri komunitas itu, tidak ada iuran keanggotaan komunitas. Pengurus bekerja sukarela dan operasional seperti patroli didanai sponsor.

Di sisi lain, meski hutan dikelola komunitas Khao Rao Thein Thong, akses hutan dibuka bagi warga di luar komunitas. Ini terkesan kurang adil bagi masyarakat setempat yang berjerih lelah menjaga hutan.

Meski akses terbuka, warga luar komunitas harus mengikuti aturan main setempat. ”Akses terbuka ini keputusan dari 14 desa,” kata Saichon. Hingga kini, komunitas ini masih berproses mencari bentuk berkelanjutan.

Secara global, penguatan komunitas masyarakat hutan menggeliat. Pada Kongres Kehutanan Dunia, 7-11 September 2015 di Durban, Afrika Selatan, bertema Forests and People: Investing in a Sustainable Future.

Itu merespons cita-cita agar masyarakat hutan sejahtera dan ekosistem hutan tetap terjaga. Itu pula yang masih diperjuangkan Indonesia. (ICHWAN SUSANTO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com