Di sini terbentang keindahan lanskap pegununangan dengan asap yang membumbung dari kawahnya dan di bawahnya ada lautan pasir luas menggelilinginya. Foto panorama Gunung Bromo telah menghiasi banyak majalah wisata, koran, website wisata, post card, hingga brosur pariwisata.
Pemandangan sunrise dan sunset di sini sungguh menakjubkan dan keindahannya tidak dapat ditemukan di belahan dunia lain. Wisatawan dari berbagai negara datang ke Bromo untuk menikmati keindahan yang terpancar seakan tidak akan pernah ada habisnya.
Di sekitar Bromo hingga puncak gunungnya di Pananjakan tidak ditemui tanaman hijau selain semak belukar. Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir sekira 5.250 hektar di ketinggian 2.392 m dpl.
Selain keindahan alamnya yang mengagumkan, ternyata Bromo memiliki daya tarik budaya, yaitu Yadnya Kasada atau Kasodo yang digelar setiap bulan Kasada hari-14 dalam penanggalan kalender tradisional Hindu Tengger. Upacara sesembahan atau sesajen ini adalah untuk Sang Hyang Widhi dan para leluhur, terutama Roro Anteng (Putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (Putra Brahmana).
Suku Tengger di Bromo dikenal sangat berpegang teguh pada adat dan istiadat Hindu lama yang menjadi pedoman hidup mereka. Keberadaan suku ini juga sangat dihormati oleh penduduk sekitar termasuk menerapkan hidup yang sangat jujur dan tidak iri hati.
Menurut penuturan masyarakat setempat, diyakini bahwa suku tengger adalah keturunan Roro Anteng, yaitu seorang putri dari raja Majapahit dan Joko Seger, yaitu putera seorang brahmana. Bahasa daerah yang mereka gunakan sehari hari adalah bahasa Jawa Kuno. Mereka tidak memiliki kasta bahasa, sangat berbeda dengan bahasa Jawa yang dipakai umumnya dengan tingkatan bahasa.
Asal mula nama suku Tengger diambil dari nama belakang Rara Anteng dan Jaka Seger. Keduanya membangun pemukiman dan memerintah di kawasan Tengger ini kemudian menamakannya sebagai Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger atau artinya “Penguasa Tengger yang Budiman”.
Peran dukun atau tabib badi suku Tengger sangat kuat karena dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan masalah yang dialami oleh masyarakatnya. Tabib ini dapat melafalkan mantra-mantra kuno Hindu.
Suku Tengger adalah pemeluk agama Hindu lama dan tidak seperti pemeluk agama Hindu umumnya yang memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan. Untuk melakukan peribadatan maka mereka akan melakukannya di punden, danyang dan poten. Poten sendiri merupakan sebidang lahan di lautan pasir di kaki Gunung Bromo sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga mandala.
Tepat pada malam ke-14 bulan Kasada, suku Tengger akan beramai-ramai membawa sesajen berupa hasil ternak dan pertanian ke Pura Luhur Poten dan menunggu hingga tengah malam saat dukun ditasbihkan tetua adat. Berikutnya, sesajen yang disiapkan dibawa ke atas kawah gunung untuk dilemparkan ke kawah sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang.
Bagi suku Tengger, sesaji yang dilembar ke Kawah Bromo tersebut sebagai bentuk kaul atau rasa syukur atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Di dalam kawah ternyata telah menunggu banyak pengemis dan penduduk tengger yang tinggal di pedalaman.
Uniknya mereka jauh-jauh hari sudah tiba di sini bahkan sengaja mendirikan tempat tinggal sementara di sekitar Gunung Bromo dan berharap mendapatkan ongkek-ongkek yang berisi sesajen berupa buah-buahan, hewan ternak, juga uang. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada di kawah gunung bromo dapat Anda lihat sejak malam hingga siang hari saat hari menjelang upacara Yadnya Kasada Bromo.
Hal in bahkan dapat membuat kendaraan dari gerbang tidak dapat turun ke bawah. Perlu diperhatikan juga bahwa jalan lain ke arah bawah gunung perlu beriringan dengan rombongan penduduk yang menuju pura. Hal itu karena apabila sendiri dikhawatirkan akan tersesat akibat kabut yang tebal dan jarak pandang yang terbatas.
Upacara Kasada Bromo sendiri telah digelar sejak masa Kerajaan Majapahit dan Gunung Bromo memang dianggap sebagai tempat suci. Gunung Bromo berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti brahma atau seorang dewa yang utama. Pada masa Dinasti Brawijaya, permaisurinya dikaruniai anak perempuan bernama Roro Anteng. Setelah beranjak dewasa putri ini menikah dengan seorang pemuda dari Kasta Brahmana bernama Joko Seger.
Setelah dikaruniai 25 orang anak, tiba saatnya pasangan ini harus mengorbankan si bungsu, mereka tidak tega melakukannya. Akhirnya, Dewa marah dan membawa anak bungsu tersebut masuk ke kawah Bromo. Timbul suara dari si anak bungsu agar orang tua mereka hidup tenang beserta saudara-saudaranya. Untuk menghormati pengorbanan tersebut maka setiap tahun dilakukan upacara sesaji ke Kawah Bromo dan terus berlangsung secara turun menurun hingga saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.