Kendati demikian, museulog Museum Aceh, Hafni, mengutarakan, museum itu masih banyak kekurangan. Setidaknya, museum itu belum ada tenaga ahli bidang komunikasi, pemasaran, desain grafis, dan operator komputer. Akibatnya, kinerja pengembangan museum belum optimal.
Selain itu, Museum Aceh belum memiliki ruang audio visual. Dampaknya, museum itu belum bisa berkembang ke arah digital. Padahal, museum yang tidak mengikuti perkembangan zaman akan ditinggalkan oleh pengunjung.
Di sisi lain, museum ini belum memiliki laboratorium untuk merawat semua koleksinya. Kondisi ini membuat perawatan koleksi museum tersebut membutuhkan biaya sangat besar karena harus mendatangkan bahan ataupun menyewa peralatan dari luar.
”Kami harap pemprov ataupun pusat memberikan perhatian lebih untuk perawatan dan pengembangan museum-museum di Indonesia, terutama Museum Aceh,” katanya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Reza Fahlevi menyampaikan, pihaknya berniat terus merawat dan mengembangkan Museum Aceh.
Namun, niat itu terkendala keterbatasan anggaran. Setidaknya, melalui APBD Aceh 2013 pemerintah hanya mengalokasikan dana Rp 800 juta untuk museum itu. Dana itu harus dibagi untuk pembenahan dan pelaksanaan sejumlah agenda museum.
Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia Putu Supadma Rudana mengutarakan, segenap pihak harus bersinergi agar optimal dalam merawat dan mengembangkan semua museum, termasuk di Aceh. Jika hal itu tidak bisa terwujud, perawatan dan pengembangan museum tidak akan pernah optimal.