Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melancong ke Wakatobi, Mengamati Lumba-lumba sampai Cerita Bintang

Kompas.com - 11/08/2015, 13:32 WIB
MENDENGAR nama Wakatobi, pastilah sebagian orang akan bertanya: "Di mana itu Wakatobi?" Bisa jadi nama Wakatobi di dalam negeri kurang gaungnya. Namun, jangan salah, Wakatobi justru sangat dikenal di mancanegara, terutama oleh para peneliti asing. Mereka setiap tahun rajin datang ke Wakatobi untuk melakukan penelitian di sektor kelautan.

Apa keunggulan Wakatobi? Sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Wakatobi dengan ibu kota Wangi-wangi dikenal sebagai surga bahari.

Wisatawan domestik kini mulai menjadikan Wakatobi yang diambil dari nama depan empat pulau besar di wilayah itu yakni Wangiwangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko sebagai daerah tujuan wisata. Mereka datang ke Wakatobi untuk menikmati keindahan bawah laut dengan terumbu karang yang sungguh memesona.

Kini, Bandara Matahora pun tengah bersiap memiliki terminal baru untuk menyambut kedatangan wisatawan menghabiskan waktu berlibur ke destinasi eksotis yang terletak di selatan garis khatulistiwa ini.

Bupati Wakatobi Ir Hugua tak pernah lelah terus mempromosikan keindahan perairan Wakatobi ke berbagai negara, apalagi di dalam negeri sendiri. Dengan luas 1,39 juta hektar, 97 persen wilayah Kabupaten Wakatobi berupa laut. Sedangkan daratannya hanya 3 persen. Tak salah kalau Hugua menyebut dirinya sebagai bupati yang memimpin laut, bupatinya ikan-ikan dan terumbu karang.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Warga suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Jumat (8/8/2015).
Bahkan Hugua menyebut, Wakatobi memiliki 25 gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari pulau-pulau karang sepanjang 600 kilometer.

"Wakatobi menyimpan kekayaan 750 spesies karang laut dari 850 yang ada di dunia. Bandingkan dengan Karibia yang hanya memiliki 50 jenis karang. Laut Merah hanya memiliki 300 jenis. Kekayaan Wakatobi ditambah lagi dengan adanya 942 jenis ikan," kata Hugua di Kantor Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Jumat (7/8/2015), saat meluncurkan Kawasan Wisata Mola yang digagas British Council bersama Bank Mandiri.

Kekayaan Wakatobi di sektor bahari inilah yang menjadi alasan British Council, organisasi internasional Inggris untuk pendidikan dan kebudayaan bersama Mandiri menggandeng Pemkab Wakatobi mengembangkan Kawasan Wisata Mola lewat program Mandiri Bersama Mandiri (MBM).

"Wakatobi sebagai salah satu destinasi wisata unggulan memiliki potensi keindahan alam dan budaya yang menarik untuk dikembangkan secara berkelanjutan sehingga memberikan nilai tambah bagi masyarakat," kata Deputi Regional CEO Sulawesi dan Maluku Bank Mandiri, Tonggo Marbun.

Sementara itu, Direktur British Council Indonesia, Sally Goggin menekankan pentingnya aspek pembangunan manusia dalam pengelolaan destinasi wisata secara berkelanjutan.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Warga Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara bersama peralatan untuk melaut yang dimilikinya.
"Melalui program MBM Pariwisata Berkelanjutan, British Council ingin turut berkontribusi dalam mengembangkan konsep ekowisata di berbagai wilayah di Indonesia sehingga terbangun pola interaksi sosio-kultural yang berkesinambungan," ujarnya.

Kawasan Wisata Mola melibatkan 5 desa yakni Mola Utara, Mola Bahari, Mola Selatan, Mola Samaturu dan Mola Nelayan Bakti. Bank Mandiri, British Council dan Pemkab Wakatobi mendampingi masyarakat kawasan wisata Mola dengan membangun kapasitas dan infrastruktur agar masyarakat nantinya mengelola sendiri potensi wisata yang dimilikinya. Bahkan Pusat Informasi Pariwisata Mola Raya didirikan di Desa Mola Samaturu untuk memudahkan wisatawan mendapatkan informasi.

Ari Susanti, Senior Programme Manager British Council memaparkan alasan memilih Wakatobi. Menurut Ari, selama ini Wakatobi dikenal dengan keindahan panorama bawah laut dan keanekaragaman hayati laut yang sudah mendunia.

"Padahal selain laut, ternyata banyak tradisi suku Bajo, seperti rumah mereka, adat istiadat, kuliner dan kemampuan mengamati dan membaca bintang sangat menakjubkan," katanya.

Kelebihan inilah, lanjut Ari, yang belum diketahui banyak wisatawan. Inilah keunggulan suku Bajo yang perlu dikemas dengan baik ke dalam paket wisata untuk mendatangkan wisatawan lebih banyak lagi ke Wakatobi dan akhirnya masyarakat di Kawasan Wisata Mola lah yang merasakannya.

Ari memaparkan, setelah wisatawan puas berenang, mengamati lumba-lumba dan diving menikmati keindahan bawah laut Wakatobi, waktu mereka selama sehari bisa dimanfaatkan untuk mengenal lebih dekat Kampung Suku Bajo yang dikenal sebagai kampung suku pengembara laut.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Memancing di karamba suku Bajo, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Jumat (8/8/2015).
"Wisatawan akan diajak berkunjung ke permukiman suku Bajo Mola yang terbesar dan terpadat di Wakatobi," katanya.

Di perkampungan suku Bajo, pada pagi sampai siang hari, sekitar 2 jam, wisatawan diantar menyusuri gang-gang sempit untuk melihat dari dekat kehidupan suku Bajo sehari-hari. Orang dewasa menjemur hasil tangkapan berupa ikan dan teripang.

Ada pula kegiatan warga membuat perahu. Sedangkan anak-anak bercanda ria, bermain-main dengan permainan tradisional seperti egrang dan sebagainya.

Sambil berjalan-jalan, wisatawan tentu akan tertarik membeli hasil kerajinan warga berupa kacamata renang, kerajinan dari kerang, tas, dompet hingga sarung khas Bajo.

Menjelang sore, wisatawan siap-siap mendapatkan sensasi yang tak terlupakan yakni bersampan sekitar 2 jam menggunakan perahu khas Bajo di Desa Mola Nelayan Bakti mendatangi karamba, memancing ikan di sana, melihat kehidupan nelayan mengolah hasil laut seperti ikan dan lobster untuk diekspor.

Saat matahari bersiap-siap kembali ke peraduannya, perahu akan menyusuri kanal-kanal memasuki perkampungan suku Bajo. Sepanjang sore, biasanya warga duduk-duduk di depan rumah mereka yang menghadap kanal sambil sesekali menyapa wisatawan yang lewat. "Hello mister!" teriak anak-anak serentak saat perahu mereka berpapasan dengan perahu wisatawan.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Perkampungan Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Jumat (8/8/2015).
Malam hari, lanjut Ari, wisatawan masih memiliki waktu mengunjungi Pasar Malam di Desa Mola Selatan yang menjajakan beragam makanan khas Bajo Mola. Cicipi kelezatan nasi jagung, kasuami (berbahan singkong), cendol berbahan keladi, bulu babi, teripang dan berbagai ikan bakar didampingi sambal colo-colo. Sedap...

Sebagai penutup acara di dermaga wisata, jika hari cerah, lebih kurang selama 1,5 jam, wisatawan akan mendapat cerita bintang yakni manfaat berbagai benda langit yang selama ratusan tahun menjadi panduan suku Bajo mengarungi lautan serta mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi mereka.

Ari menambahkan, dengan memperkenalkan paket-paket wisata tersebut, masyarakat suku Bajo bukan menjadi objek melainkan menjadi subjek. "Semoga ini bisa meningkatkan penghasilan mereka dari sektor pariwisata. British Council hanya memfasilitasi. Kita senang kalau nantinya mereka bisa kelola sendiri," katanya.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Sekolah Maritim Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Jumat (8/8/2015).

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Peluncuran kawasan wisata Mola di Desa Mola Utara, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Jumat (7/8/2015). Dari kiri ke kanan: Direktur British Council Indonesia Sally Goggin, Deputi Regional CEO Sulawesi dan Maluku Bank Mandiri Tonggo Marbun, dan Bupati Wakatobi Hugua.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com