Bunyi gemerincing lonceng kecil terdengar dari entakan kaki belasan pria berkostum raksasa, lengkap dengan rambut panjang dan taring menyeringai di wajah. Gerak langkahnya kaku mengikuti gending gamelan. Mereka berarak saat binar baskara pagi menembus kabut tipis di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah, Minggu (1/8/2015).
Belasan pria yang juga petani itu menarikan tari rampak yakso pringgondani. Tarian kolosal khas Dataran Tinggi Dieng itu mengawali pawai budaya dalam puncak rangkaian Festival Budaya Dieng (Dieng Culture Festival/DCF) ke-6, Jumat (31/7/2015) hingga Minggu (2/8/2015). Mengangkat tema ”Culture for Harmony”, ragam kesenian dan budaya digelar sebelum puncak acara pemotongan rambut anak gembel.
Pada dasarnya, tari rampak yakso ini memiliki tiga tokoh utama, yaitu Gatotkaca, Hanoman, dan para raksasa. Gerakan tari Gatotkaca yang berpostur kekar terlihat elegan dan berwibawa. Adapun kera putih Hanoman terus bergerak liar kesana-kemari.
Namun, derap tari para raksasa tetap menjadi pusat perhatian ribuan wisatawan yang memadati sepanjang jalan Desa Dieng Kulon yang terletak di sekitar kompleks candi.
Wiyono, salah satu penari yang memerankan raksasa, mengatakan, tari rampak yakso Pringgondani menggambarkan peperangan Gatotkaca, didampingi kera putih, melawan musuhnya, Prabu Kolo Pracono dengan Patih Skepu dari Kerajaan Giling. Dalam cerita pewayangan Mahabharata, penyebab peperangan adalah Prabu Kolo Pracono yang membuat kerusuhan di kahyangan. Akhirnya peperangan ini dimenangi Gatotkaca.
Terlepas dari epos yang bersumber dari peradaban Hindu di India, tari rampak yakso bagi masyarakat Dieng memiliki makna khusus, yakni upaya mendapatkan keselamatan dan keberkahan kelangsungan hidup. Selain itu, sebagai sarana menumbuhkan kebersamaan, kesetiakawanan yang didasari rasa saling membantu, menghormati sehingga tercapai kegoyongroyongan hidup bersama.
Pusat peradaban
Selain Rampak Yakso, DCF 2015 juga menampilkan berbagai kesenian tradisional yang berkembang di masyarakat Dieng, seperti tari lengger dieng, tari warokan, tari topeng, tari rodad, tari tek-tek, tari cakil, serta pergelaran wayang kulit. Seluruh ekspresi seni itu merupakan warisan berbagai peradaban.
Jika rampak yakso bersumber pada peradaban Hindu, tari rodad dan tek-tek kental dengan nuansa islami. Tari rodad, misalnya, menggunakan iringan musik rebana, kendang, dan beduk. Sekelompok penyanyi melantunkan syair-syair syukur kepada Sang Pencipta dalam bahasa Arab dan Jawa.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.