Alif Fauzi, Ketua Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa, mengatakan, ragam budaya di Dieng cenderung multikultur. Dari sejarahnya, tumbuh peradaban Jawa, Hindu, dan Islam.
Peradaban Hindu di Dieng disebut yang tertua di Jawa. Eksotika alam pada ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut itu mendorong raja dari Wangsa Sanjaya membangun tempat pemujaan sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Dalam prasasti berbahasa Jawa kuno yang ditemukan, Dieng digambarkan sebagai pusat kegiatan religi. ”Dieng diibaratkan sebagai Kailasa atau tempat suci Syiwa, pusat dunia dan tempat bersemayam para arwah,” kata Tusar, pemelihara Candi Dieng dan Museum Kailasa.
Sebagai pusat religi Hindu, ada lima kelompok candi di Dieng, yakni Kelompok Candi Arjuna, Gatotkaca, Bima, Dwarawati, dan Maersari. Ada pula sisa bangunan Darmacala, yakni lokasi peristirahatan dan tempat penyiapan perlengkapan upacara bagi para peziarah.
Arkeolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jajang Agus Sonjaya, menyatakan, Dieng merupakan pusat pendidikan keagamaan dan arsitektur. Para peziarah ke Dieng kala itu bukan hanya berasal dari Nusantara, melainkan juga negeri lain, salah satunya India. Salah satu jejaknya adalah Arca Kudu di Candi Bima yang lekat dengan corak seni patung India.
Dari riset UGM bekerja sama dengan National University of Singapore, didapati bukti aktivitas perdagangan pada abad ke-9 Masehi. Benda yang ditemukan adalah kaca dan keramik dari masa Dinasti Tang. Peneliti mendapati keramik itu sama dengan keramik yang ditemukan di kapal yang tenggelam di perairan Belitung.
Candi-candi ini pertama kali ditemukan oleh HC Cornelius, arkeolog Inggris, pada 1814. Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jateng Gutomo mengatakan, belum seluruh benda purbakala di Dieng ditemukan. Dari peta arkeologi Belanda tahun 1931, persebaran candi cukup luas. Tidak hanya di wilayah datar, juga perbukitan. Terbukti, pada 2014, ditemukan dua bangunan candi di Bukit Pangonan di sisi tenggara kompleks Candi Arjuna.
Kaldera gunung purba
Dalam buku Dieng Poros Dunia: Menguak jejak Peta Surga yang Hilang (2004), Otto Sukatno menyebutkan, kini jejak masyarakat Hindu sudah tidak didapati di Dieng. Dari risalah Babad Dieng, pada abad ke-8 Masehi terjadi pralaya atau bencana. Saat itu, terjadi banjir besar akibat tertutupnya Kali Tulis sehingga candi-candi terendam air. Peristiwa ini membuat umat Hindu meninggalkan Dieng menuju Tengger, Bromo, dan Bali.
Selain Hindu dan Islam, Dieng juga kental dengan nuansa Jawa kuno.
Keindahan alam Dieng yang melahirkan peradaban manusia tak terlepas dari kesuburan tanahnya yang merupakan kaldera bekas gunung api purba. Berdasarkan penelitian Sukhyar (1986), Dieng terbentuk dari gunung api purba yang mengalami dislokasi. Di bagian yang amblas, muncul sejumlah gunung, di antaranya Gunung Pakuwaja, Gajahmungkur, Pangonan, Alang, Nagasari, dan Panglimunan.
Evolusi gunung purba Dieng juga memunculkan danau-danau vulkanik, seperti Telaga Warna, Telaga Merdada, dan Telaga Pengilon. Eksotismenya berpadu dengan beberapa kawah aktif, di antaranya Timbang, Sinila, Sileri, Sikidang, dan Candradimuka.
Proses geologi dan jejak sejarah Dieng telah mewariskan peradaban yang melintas zaman. Lewat festival budaya, masyarakat Dieng coba merawat peradaban itu guna menjaga kearifan kehidupan manusia dan alam sekitar. (Gregorius Magnus Finesso)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.