Di Desa Mola, tercatat 16.000 warga Suku Bajo bermukim. Mereka kebanyakan membangun rumah di pinggir pantai. Karang laut ditumpuk dan berdirilah bangunan. Atau menancapkan kayu dan di atasnya berdiri bangunan kayu. "Nenek moyang mereka (suku Bajo) adalah laut. Begitu lahir, anak dimandikan di laut," kata Bupati Wakatobi Hugua.
Umumnya perkampungan nelayan selalu dipenuhi aneka sampah, entah di darat ataupun di perairan sekitar tempat mereka tinggal. Namun memasuki Desa Mola, wisatawan akan dibuat kagum, karena kanal-kanal yang memasuki perkampungan tertata rapi dan air laut yang mengairinya terlihat jernih. Kebersihan sangat terjaga di sini.
Bupati Wakatobi Hugua mengajak warga Desa Mola untuk menjaga kebersihan desa dengan melarang membuang sampah-sampah plastik di kanal-kanal atau pinggir pantai.
"Sekarang kebersihan kanal mulai terlihat, mana ada sampah plastik," katanya, usai menghadiri peluncuran kawasan wisata Mola, Jumat (7/8/2015) di Desa Mola Utara, Wakatobi yang digagas British Council bersama Bank Mandiri.
Hugua tak main-main. Kanal dibawah kantor Pusat Informasi Pariwisata Mola Raya terlihat bersih dan airnya jernih. Keterlibatan British Council dan Bank Mandiri membuat 5 desa di Mola Raya yakni Mola Utara, Mola Bahari, Mola Selatan, Mola Samaturu, dan Mola Nelayan Bakti mulai tertata rapi. Kuncinya, masyarakat dilibatkan secara aktif mengelola desa ini menjadi obyek wisata untuk mengundang wisatawan datang.
Masing-masing peserta diberi jaket pelampung berwarna oranye. Sebelum memulai tour dengan perahu, pemandu wisata dari Lepa (Lembaga Pariwisata) Mola yakni Ali, Leni dan Samran memberikan penjelasan secara garis besar perihal peran Suku Bajo di kancah nasional dan regional. Terakhir, mereka memperagakan cara mendayung.
Setelah itu, masing-masing perahu diisi masing-masing 5-6 orang. Mulailah perahu perlahan-lahan meninggalkan dermaga. Duduk di depan, Samran mengisahkan seputar perahu sebagai alat transportasi utama Suku Bajo.
"Di mola raya, perahu ini dinamakan lepa diburah. Dulu sebelum Suku Bajo memiliki rumah tancap, mereka hidup di atas perahu dan melaut untuk mencari ikan. Mereka sering berpindah. Lepa diburah ada yang pakai atap, ada yang tidak. Saat keluarga semakin bertambah, perahu mereka dibikin besar, namanya soppek. Sama modelnya dengan perahu cuma lebih lebar. Itu tandanya keluarga sudah bertambah," tutur Samran.
Suku Bajo memang tak bisa dipisahkan dari laut dan ikan. Tak heran karamba atau tempat memelihara ikan memenuhi hampir seluruh pesisir pantai. Keramba apung ini dimaksudkan untuk mengantisipasi hasil panen ikan jika laut sedang bergelora, sehingga nelayan Bajo tak bisa melaut. Sebagai gantinya mereka mengandalkan ikan dari keramba untuk memenuhi kehidupan sehari-hari atau dijual ke pasar.
Kami pun singgah di salah satu karamba apung. "Yuk kita mancing ikan di karamba," ujar Samran.
Mancing menjadi salah satu atraksi menarik bagi wisatawan di karamba apung. "Turunkan kailnya dan rasakan, begitu ada yang menarik, kita langsung angkat kailnya ke atas," perintah Samran.
"Wow... dapat!!" teriak salah satu reporter televisi kegirangan saat berhasil mendapatkan seekor ikan di kailnya.
Kalau ikan tuna sekilo Rp 60.000, udang ronggeng sekilo mencapai Rp 70.000. "Nyarinya di laut dangkal, pakai jerat," katanya. Ikan tuna dan udang ronggeng itu dikirim ke Bali menggunakan kapal kayu milik Ratno selama 3 hari 3 malam.
Dia melanjutkan, untuk mengirim udang ronggeng ke Bali, udang-udang tesebut dimasukkan ke dalam botol plastik. "Kalau dijadikan satu, mereka berantem. Harus hati-hati memasukkannya, jangan sampai ke durinya. Durinya beracun. Ini bisa bertahan seminggu (dalam botol plastik)," katanya.
Sekolah Maritim
Perjalanan dilanjutkan menuju Sekolah Maritim. Ini bukan sekolah khusus yang didirikan untuk mempelajari mengenai kemaritiman, melainkan sekolah khusus untuk anak-anak nelayan suku Bajo yang putus sekolah mulai SD sampai SLTA.
"Anak-anak putus sekolah karena mengikuti orang tua mereka menangkap ikan di laut. Saat ke darat anak-anak tersebut tidak bisa melanjutkan pendidikan di sekolah reguler. Atas inisiatif para orang tua, maka tahun 2006 Sekolah Maritim di atas laut ini didirikan," ujar Samran.
Menghibur Anak Rewel
"Zaman dulu, mana adal mal?" kata Samran. Namun dia membanggakan cara jitu Suku Bajo bagaimana menenangkan anak yang sedang rewel. Jawabannya ada di karamba tancap yang terletak di belakang rumah. Sambil mendekati keramba tancap, Samran menjelaskan di sisi-sisi karamba tancap digantung jaring-jaring. Ikan yang dipelihara adalah ikan bobara atau dayah nyibok.
Untuk membuktikan ucapannya, Samran melempar umpan ke dalam keramba tancap tersebut. Seketika ikan-ikan berebutan memakan umpan. Begitu besarnya ikan-ikan tersebut, tak heran saat berebut makanan, air laut menerpa kiri kanan jaring dan mengenai rombongan medua yang tak menyangka begitu antuasiasnya ikan-ikan tersebut berebut makanan.
"Awas, hati-hati kamera basah," kata salah satu peserta mengingatkan peserta lainnya.
Ah...., terlambat, kamera kecipratan air laut....