Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyusuri Kanal, Mengenal Kehidupan Suku Bajo Mola

Kompas.com - 23/08/2015, 20:36 WIB
KALAU Anda ingin mengenal kehidupan Suku Bajo lebih mendalam, tak ada salahnya mendatangi langsung tempat suku ini bermukim di Desa Mola, Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Letak Desa Mola sekitar 28 kilometer dari Bandara Matahora.

Di Desa Mola, tercatat 16.000 warga Suku Bajo bermukim. Mereka kebanyakan membangun rumah di pinggir pantai. Karang laut ditumpuk dan berdirilah bangunan. Atau menancapkan kayu dan di atasnya berdiri bangunan kayu. "Nenek moyang mereka (suku Bajo) adalah laut. Begitu lahir, anak dimandikan di laut," kata Bupati Wakatobi Hugua.

Umumnya perkampungan nelayan selalu dipenuhi aneka sampah, entah di darat ataupun di perairan sekitar tempat mereka tinggal. Namun memasuki Desa Mola, wisatawan akan dibuat kagum, karena kanal-kanal yang memasuki perkampungan tertata rapi dan air laut yang mengairinya terlihat jernih. Kebersihan sangat terjaga di sini.

Bupati Wakatobi Hugua mengajak warga Desa Mola untuk menjaga kebersihan desa dengan melarang membuang sampah-sampah plastik di kanal-kanal atau pinggir pantai.

"Sekarang kebersihan kanal mulai terlihat, mana ada sampah plastik," katanya, usai menghadiri peluncuran kawasan wisata Mola, Jumat (7/8/2015) di Desa Mola Utara, Wakatobi yang digagas British Council bersama Bank Mandiri.

Hugua tak main-main. Kanal dibawah kantor Pusat Informasi Pariwisata Mola Raya terlihat bersih dan airnya jernih. Keterlibatan British Council dan Bank Mandiri membuat 5 desa di Mola Raya yakni Mola Utara, Mola Bahari, Mola Selatan, Mola Samaturu, dan Mola Nelayan Bakti mulai tertata rapi. Kuncinya, masyarakat dilibatkan secara aktif mengelola desa ini menjadi obyek wisata untuk mengundang wisatawan datang.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Sebelum berangkat melihat dari dekat kehidupan suku Bajo, pemandu wisata dari Lepa (Lembaga Pariwisata) Mola memberikan penjelasan mengenai tata tertib dan agenda tour, Sabtu (8/8/2015).
Salah satu paket menarik untuk mengetahui kehidupan suku pengembara laut ini adalah menyusuri perkampungan menggunakan perahu atau "lepa" (dalam bahasa Bajo). Sabtu (8/8/2015) sore, dua perahu sudah siap di dermaga untuk mengajak awak media keliling kampung lewat pesisir pantai.

Masing-masing peserta diberi jaket pelampung berwarna oranye. Sebelum memulai tour dengan perahu, pemandu wisata dari Lepa (Lembaga Pariwisata) Mola yakni Ali, Leni dan Samran memberikan penjelasan secara garis besar perihal peran Suku Bajo di kancah nasional dan regional. Terakhir, mereka memperagakan cara mendayung.

Setelah itu, masing-masing perahu diisi masing-masing 5-6 orang. Mulailah perahu perlahan-lahan meninggalkan dermaga. Duduk di depan, Samran mengisahkan seputar perahu sebagai alat transportasi utama Suku Bajo.

"Di mola raya, perahu ini dinamakan lepa diburah. Dulu sebelum Suku Bajo memiliki rumah tancap, mereka hidup di atas perahu dan melaut untuk mencari ikan. Mereka sering berpindah. Lepa diburah ada yang pakai atap, ada yang tidak. Saat keluarga semakin bertambah, perahu mereka dibikin besar, namanya soppek. Sama modelnya dengan perahu cuma lebih lebar. Itu tandanya keluarga sudah bertambah," tutur Samran.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Rumah warga suku Bajo di Desa Mola, Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Sabtu (8/8/2015).
Peserta tour begitu menyimak penuturan Samran. "Soppek biasanya dipakai untuk mengantarkan hasil laut dari Wakatobi ke Buton. Lebih besar dari soppek, namanya lambok atau bidok. Kapal ini digunakan untuk mengantakan hasil laut ke Pulau Jawa. Kadang lambok digunakan untuk menangkap paus sampai NTT, bahkan hingga Australia. Kalau perahu kecil namanya lepa kalopo, berisi 2 orang dewasa. Ukuran kecil dan mudah terbalik," sambungnya.

Suku Bajo memang tak bisa dipisahkan dari laut dan ikan. Tak heran karamba atau tempat memelihara ikan memenuhi hampir seluruh pesisir pantai. Keramba apung ini dimaksudkan untuk mengantisipasi hasil panen ikan jika laut sedang bergelora, sehingga nelayan Bajo tak bisa melaut. Sebagai gantinya mereka mengandalkan ikan dari keramba untuk memenuhi kehidupan sehari-hari atau dijual ke pasar.

Kami pun singgah di salah satu karamba apung. "Yuk kita mancing ikan di karamba," ujar Samran.

Mancing menjadi salah satu atraksi menarik bagi wisatawan di karamba apung. "Turunkan kailnya dan rasakan, begitu ada yang menarik, kita langsung angkat kailnya ke atas," perintah Samran.

"Wow... dapat!!" teriak salah satu reporter televisi kegirangan saat berhasil mendapatkan seekor ikan di kailnya.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Memancing ikan di karamba apung milik suku Bajo di Desa Mola, Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Sabtu (8/8/2015).
Selanjutnya perjalanan dilanjutkan menuju ke salah satu rumah pengusaha ikan, Haji Ratno. Selain mengirim tuna ke Bali, Ratno juga menjelaskan mengenai udang ronggeng yang bernilai jual tinggi. "Kalau dulu lobster yang terkenal, sekarang udang ronggeng lagi primadona," kata Ratno.

Kalau ikan tuna sekilo Rp 60.000, udang ronggeng sekilo mencapai Rp 70.000. "Nyarinya di laut dangkal, pakai jerat," katanya. Ikan tuna dan udang ronggeng itu dikirim ke Bali menggunakan kapal kayu milik Ratno selama 3 hari 3 malam.

Dia melanjutkan, untuk mengirim udang ronggeng ke Bali, udang-udang tesebut dimasukkan ke dalam botol plastik. "Kalau dijadikan satu, mereka berantem. Harus hati-hati memasukkannya, jangan sampai ke durinya. Durinya beracun. Ini bisa bertahan seminggu (dalam botol plastik)," katanya.

Sekolah Maritim

Perjalanan dilanjutkan menuju Sekolah Maritim. Ini bukan sekolah khusus yang didirikan untuk mempelajari mengenai kemaritiman, melainkan sekolah khusus untuk anak-anak nelayan suku Bajo yang putus sekolah mulai SD sampai SLTA.

"Anak-anak putus sekolah karena mengikuti orang tua mereka menangkap ikan di laut. Saat ke darat anak-anak tersebut tidak bisa melanjutkan pendidikan di sekolah reguler. Atas inisiatif para orang tua, maka tahun 2006 Sekolah Maritim di atas laut ini didirikan," ujar Samran.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Sekolah Maritim untuk anak-anak suku Bajo di Pulau Wakatobi, Sultra, yang putus sekolah.
Di bawah gedung sekolah ada karamba tancap. Waktu istirahat anak-anak diisi dengan memancing ikan. Ikan-ikan tersebut dimasukkan ke dalam keramba tancap. "Nantinya anak-anak yang berprestasi mendapatkan hasil penjualan ikan dari karamba tancap tersebut," kata Samran yang juga pembina Sekolah Maritim itu.

Menghibur Anak Rewel

"Zaman dulu, mana adal mal?" kata Samran. Namun dia membanggakan cara jitu Suku Bajo bagaimana menenangkan anak yang sedang rewel. Jawabannya ada di karamba tancap yang terletak di belakang rumah. Sambil mendekati keramba tancap, Samran menjelaskan di sisi-sisi karamba tancap digantung jaring-jaring. Ikan yang dipelihara adalah ikan bobara atau dayah nyibok.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Karamba tancap untuk menghibur anak-anak suku Bajo di Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara yang lagi rewel. Saat anak-anak menangis, para orangtua mengajaknya ke karamba tancap dan menghiburnya dengan memberi makan ikan-ikan di karamba tersebut. Biasanya setelah melihat ikan-ikan berebut makanan, tangisan anak-anak langsung reda.
"Kalau anak nangis, susah didiamkan, para orangtua mengajak ke karamba. Umpan di lempar ke keramba, dan ikan-ikan tersebut dengan antusias menyambarnya. Biasanya setelah melihat aksi ikan-ikan tersebut menyantap umpan, tangis anak-anak mulai mereda," kata Samran.

Untuk membuktikan ucapannya, Samran melempar umpan ke dalam keramba tancap tersebut. Seketika ikan-ikan berebutan memakan umpan. Begitu besarnya ikan-ikan tersebut, tak heran saat berebut makanan, air laut menerpa kiri kanan jaring dan mengenai rombongan medua yang tak menyangka begitu antuasiasnya ikan-ikan tersebut berebut makanan.

"Awas, hati-hati kamera basah," kata salah satu peserta mengingatkan peserta lainnya.

Ah...., terlambat, kamera kecipratan air laut....

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Peserta tour menyusuri kanal di permukiman suku Bajo Mola, Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Sabtu (8/8/2015).

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Udang ronggeng, primadona ekspor nelayan suku Bajo di Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Sabtu (8/8/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com