Lampu—lampu berpendaran di berbagai tempat, berkedap-kedip melingkari menara Masjid Nurul Iman yang dibangun tahun 1952—bekas menara pembangkit tenaga uap yang tingginya 75 meter lebih—jalan turun meliuk-liuk. Setelah melewati jembatan Sungai Lunto, sungai dengan sedikit air pada musim kemarau yang membelah kota—sampailah kami di pintu gerbang Sawahlunto.
Sawahlunto menyimpan sepotong kisah penjajahan Belanda. Menarik perhatian berkat temuan pada tahun 1868 oleh seorang insinyur pertambangan Belanda, Willem Hendrik de Greve, tentang adanya potensi besar kandungan batubara di Sungai Ombilin, salah satu sungai di Sawahlunto. De Greve meninggal terseret arus Sungai Ombilin, tetapi penelitian terus dilanjutkan. Penggalian pertama dilakukan tahun 1890 oleh ribuan orang rantai (orang-orang terpidana yang terus-menerus dirantai kakinya) dan kuli kontrak—keduanya berasal dari berbagai daerah. Produksi pertama tahun 1892 sebesar 40.000 ton dari lapangan Sungai Durian.
Ekspansi berlanjut dengan mengeduk perut bumi pusat kota di Lubang Tambang Soegar, lubang pertama di Sawahlunto yang digali tahun 1898 dan ditutup tahun 1930, dibuka kembali tahun 2007 dan dijadikan obyek terpenting wisata tambang Sawahlunto dengan nama Lubang Tambang Mbah Soero, diambil dari nama Mbah Soero, seorang mandor yang terkenal sakti.
Lubang dengan kedalaman ratusan meter itu, demikian Soedarsono—pemandu wisata di sana, beberapa waktu lalu—ditutup karena besarnya rembesan air. Kedalaman bisa mencapai ratusan meter. Namun, ada yang memperkirakan Belanda sengaja menutupnya sebagai cadangan sebab masih tersisa di sana sebanyak 40 juta ton batubara. Pada saat penggalian kembali untuk keperluan mengubah Sawahlunto dari kota arang menjadi kota wisata, ditemukan banyak kerangka, yang menunjukkan banyak petambang meninggal selagi bekerja dan jenazahnya dikumpulkan begitu saja di salah satu sudut terowongan.
Berkeliling sejak pagi hingga siang hari, di bawah teriknya matahari musim kemarau bulan Agustus, terasa sejuk sebab Sawahlunto berada di antara pegunungan Bukit Barisan yang rimbun sehingga disebut juga ”Kota Kuali”, kehebatan dan kekejaman penjajah Belanda silih berganti berkelibat. Sawahlunto, yang dulu dikenal sebagai kota arang sebab menghasilkan batubara sumber energi, kini terus digali berbagai ornamen dan penanda kejayaan Sawahlunto masa lalu.
Sarana akomodasi kurang
Seriusnya pemerintah kota mengembangkan Sawahlunto sebagai kota wisata di antaranya terlihat dari ketersediaan brosur informasi. Informasi yang ringkas memadai mengisahkan obyek-obyek wisata penting, seperti tentang kota Sawahlunto secara umum, tentang menara yang ada di ketinggian, lorong yang dulu dipakai mengangkuti batubara dengan kereta dari lubang penggalian ke tiga silo di bawahnya, Goedang Ransoem, stasiun kereta api, dua gereja Katolik dan gereja Kristen Protestan, masjid agung, Gedung Pusat Kebudayaan, serta tentang kantor pertambangan batubara pada masa kolonial dulu yang sekarang ditempati kantor PT Bukit Asam.
Pada saat yang sama informasi berikut penataan dan pemeliharaan obyek-obyek wisata membuat bulu kuduk berdiri. Hal itu karena, selain bertemunya berbagai suku dan latar belakang dari berbagai pelosok Hindia Belanda sehingga tercipta kosakata yang mempertautkan hubungan mereka dengan bahasa dialek setempat dengan nama bahasa Tamsi, di lokasi ini terjadi kekejaman penjajah atas rakyat jajahan selama bertahun-tahun.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.