Setelah itu, Raja Gowa ke-10, yakni I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565), juga membangun Benteng Panakkukang dan Benteng Anak Gowa yang tak jauh dari Somba Opu. Warga Tama’la’lang pun kembali membantu menyediakan makanan, terutama akaddo bulo, bagi pekerja.
Saat ketiga benteng itu selesai, areal persawahan Kampung Tama’la’lang dijadikan tempat latihan pasukan perang Kerajaan Gowa. Warga pun diminta kembali menyuplai makanan untuk kebutuhan pasukan,” ujar Narang.
Sejak itu, akaddo bulo menjadi tradisi yang melekat dan selalu dirayakan warga Tama’la’lang untuk memperingati ulang tahun kampung sekaligus perayaan panen. Namun, Narang mengatakan, tradisi ini terhenti saat Perang Makassar berkecamuk pada 1666 yang berlanjut dengan pendudukan Belanda hingga kemerdekaan pada 1945.
”Tradisi akaddo bulo kembali dihidupkan setelah kemerdekaan oleh Raja Gowa ke-36 atau terakhir sekaligus bupati pertama Kabupaten Gowa, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Aidudin,” ujar Narang. Raja tersebut pula yang mengusulkan agar akaddo bulo dirangkaikan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI sebagai pesta rakyat.