Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Damai Ladang Jeruk Kintamani

Kompas.com - 14/09/2015, 10:39 WIB
SEJAUH mata memandang, ladang menguning oleh buah jeruk yang bergelantungan. Ladang bersanding dengan perkebunan kopi, di antara deretan pegunungan dan danau. Itulah sensasi jalan-jalan di ladang-ladang jeruk Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali.

Pernah membayangkan bersepada di antara ladang-ladang jeruk? Itulah jalan-jalan ke kebun jeruk Kintamani. Menjelang sore hari, kita bisa mengayuh sepeda di antara ladang jeruk di tengah udara pegunungan yang sejuk. Sesekali, kita bisa berhenti dan mencicipi buah jeruk matang pohon.

Pemilik kebun jeruk selalu ramah menyambut tamu. Mereka menawarkan jeruk untuk dikonsumsi cuma-cuma. ”Ayo, silakan dicicipi. Meski harga jual jeruk tahun ini turun dibandingkan tahun lalu, lihat jeruk menguning di kebun saja rasanya cukup menggembirakan,” kata Ketut Darsa sembari memetik beberapa butir jeruk.

Ketut Darsa menunjukkan jeruk siam yang merupakan jeruk khas Kintamani. Penampilan jeruk siam memang menyenangkan hati dengan warna kuning cerah sedikit kehijauan. Rasanya manis dengan sedikit rasa asam segar. Jika konsumen memilih jeruk berkulit mulus, ia justru memetik dan mencicipi jeruk berkulit jelek yang rasanya ternyata lebih manis.

Tak hanya jeruk siam, setiap petani di wilayah Kintamani juga menanam jeruk jenis lain yang dijuluki sebagai jeruk slayer. Dibandingkan jeruk siam, penampilan jeruk slayer lebih cantik dengan rona kemerahan di kulitnya. Rasa jeruk slayer dijuluki ”nano-nano” karena unik, perpaduan manis dan asam.

Jika dikonsumsi langsung setelah petik, jeruk slayer terasa asam. Namun, rasanya berubah makin manis setelah disimpan 3-4 hari. Harga jeruk slayer pun relatif lebih murah. Rasanya yang segar dan penampakannya yang cantik tetap mampu memikat minat pencinta jeruk.

KOMPAS/RIZA FATHONI Lahan pertanian tumpang sari jeruk di Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, dengan latar belakang Gunung Agung.
Meskipun jeruk di kebun Ketut Darsa telah menguning sempurna, pemanenan sengaja belum dilakukan sembari menunggu kesiapan pengepul. Semua buah jeruk di kebun Ketut Darsa sudah dibeli Rp 3.500-Rp 4.000 per kilogram. Bandingkan dengan harga tahun lalu yang bisa menembus Rp 6.500 per kilogram.

”Jeruk sudah matang, tapi enggak akan busuk karena tanahnya kering dan bercampur pasir. Kalau sedang lembab, mungkin kondisinya beda,” ujarnya.

Sepanjang tahun

Pengepul jeruk, Wayan Sukarma, turut menyambut musim panen jeruk dengan gembira. Bersama istri dan ibunya, ia membeli jeruk dari petani dan mulai memetik jeruk dari pagi hingga petang. Ketika ditemui, kaus kakinya penuh dengan rumput gatal akibat seharian memetik jeruk. ”Disortir dulu, lalu masuk peti, sebelum dikirim ke Jawa,” kata Sukarma yang hari itu membeli 45 keranjang jeruk seharga Rp 45.000 per keranjang.

Perkebunan jeruk Kintamani terletak sekitar 60 kilometer dari Kota Denpasar. Truk-truk pengangkut jeruk biasanya sudah akan berseliweran sejak pagi. Dari pelat nomor di truk, terlihat bahwa jeruk tersebut dikirim ke sejumlah daerah di Tanah Air. Selain dijual di Bali, jeruk-jeruk ini pun menembus pasar hingga ke Pulau Jawa.

Puncak musim panen jeruk di wilayah Kintamani berlangsung cukup panjang, berawal dari Juni dan berakhir pada Desember. Satu kuintal jeruk bisa diperoleh dari memanen 3-4 pohon. Tumbuh di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut dengan penyinaran matahari yang cukup, pohon jeruk cenderung rajin berbuah sepanjang tahun.

Selain memetik sendiri dari pohon jeruk di kebun, banyak petani jeruk yang kemudian meletakkan keranjang-keranjang berisi jeruk siap jual di tepi jalan. Harga jeruk di tangan konsumen pun masih tergolong murah, yaitu Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per kilogram. Bandingkan dengan harga jual di Jakarta yang bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram.

KOMPAS/RIZA FATHONI Pedagang membongkar muat hasil panen jeruk di Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali.
Pada malam hari, keranjang-keranjang jeruk itu dibiarkan bergeletakan tanpa penjaga di tepi jalan raya menuju Payangan, Kabupaten Gianyar. Meskipun ramai dilalui aneka kendaraan, jeruk-jeruk tersebut tetap aman.

Petani dan pedagang jeruk, Mariasih, yang terbiasa meletakkan keranjang jeruk di tepi jalan raya, mengatakan tak khawatir jika dagangannya itu dicuri orang. ”Jeruk ini pasti habis dibeli pedagang untuk dibawa ke pasar. Ayo dimakan jeruknya, silakan ambil sesukanya,” ujar Mariasih sembari menunggu truk-truk langganan yang akan membeli jeruk panenannya.

Tahun ini tergolong istimewa karena masih banyak jeruk yang dibiarkan menguning di pohon. Tahun-tahun sebelumnya, jumlah jeruk di pohon sudah mulai habis menjelang Agustus. ”Sekarang harganya anjlok. Harga pupuk tidak sepadan dengan harga jual. Banyak petani yang masih menyimpan jeruk di kebun dengan harapan harga bisa naik,” tambah Ketut Sumadri, petani dan pengepul jeruk.

Untuk menambah penghasilan dari hasil bumi, petani juga menanami tanah di sela pohon jeruk dengan beragam tanaman tumpang sari. Petani lain menanam kopi atau bunga, sedangkan Ketut Darsa memilih menanam cabai sebagai tanaman tumpang sari.

Cinta jeruk

Pertalian petani Kintamani dengan tanaman jeruk sudah dimulai sejak penanaman pertama tahun 1993. Pada 1999, area pertanaman jeruk mati akibat serangan penyakit, kemudian bangkit lagi tahun 2003. Dari awalnya ditanami jagung, ketela, dan singkong, ladang-ladang itu kini menguning oleh tanaman jeruk

Pohon-pohon yang ditanam tahun 2003 dan saat ini sudah berusia belasan tahun itu masih tetap produktif. Pohon jeruk biasanya sudah mulai belajar berbuah sejak usia tiga tahun dan mulai panen setelah umur empat tahun.

KOMPAS/RIZA FATHONI Penyortiran buah jeruk hasil panen di Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, untuk selanjutnya dijual ke pedagang.
Jeruk dari Kintamani termasuk berkualitas. Sejak dipetik, jeruk Kintamani bisa bertahan tetap segar hingga satu pekan. Petani jeruk di Bali juga memiliki keterkaitan mendalam dengan produksi jeruk sebagai sarana sembahyang. Banten atau persembahan biasanya dihiasi dengan keindahan jeruk. Pada perayaan hari raya, seperti Galungan, warga biasa menghiasi banten dengan jeruk yang berukuran kecil. Adapun jeruk dengan ukuran besar umumnya dipakai sebagai banten upacara piodalan di pura.

”Kalau tanahnya subur, enggak berhenti buahnya. Tiap kali ke ladang, saya pasti memetik buah terbaik. Ada yang kelihatannya enak, pasti kami ambil. Yang paling enak justru yang kulitnya jelek,” kata Ketut Sumadri. Biar jelek, asal manis, karena sudah telanjur cinta jeruk. (Mawar Kusuma)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2015, di halaman 25 dengan judul "Damai Ladang Jeruk Kintamani".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com