Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Telaga Dringo, Surga Kecil di Sekitar Dieng

Kompas.com - 20/09/2015, 12:29 WIB
JAKET tebal dan rapat yang menutup tubuh tak mampu menahan udara dingin yang terus mengusik tubuh saat menunggu munculnya matahari pagi. Angin semilir dari lembah membuat tubuh semakin menggigil beku di tepi Telaga Dringo yang tenang di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Dari jauh, di antara hamparan rumput kering, sejumlah tenda menaungi para petualang. Sisa kayu api unggun untuk mengusir kebekuan masih meninggalkan bara. Bulan Juni hingga Agustus memang menjadi musim terdingin di Dataran Tinggi Dieng.

Dringo yang masih sunyi menawarkan pesona alam bagi para penyuka jalan-jalan, saat mengunjungi Dataran Tinggi Dieng. Letaknya yang terpencil dari sekitar kawasan obyek wisata Dieng membuat Telaga Dringo masih sangat jarang dikunjungi.

Akses menuju telaga yang sedikit sulit ditempuh setelah melewati jalan Desa Pekasiran, Kecamatan Batur. Mobil berpenggerak gardan ganda mengantarkan kami melintasi jalan berbatu yang sempit, menanjak dan curam berliku.

Perjalanan yang selama 30 menit dari Desa Kasiran membawa kami sampai ke puncak untuk melihat Telaga Dringo dengan latar belakang pegunungan yang membiru berselimut kabut tipis. Indah…!

Rekan seperjalanan, Dewi Nurcahyani dan Anis Efizudin, tanpa aba-aba mengeluarkan peralatan kamera mereka lalu mengabadikan lukisan alam dari semesta pagi itu. ”Saya telah berkali-kali ke Dieng dan hampir seluruh tempat sudah dikunjungi. Telaga Dringo baru kali ini dan keindahannya masih sangat alami,” kata Anis.

Sementara Dewi yang rutinitasnya bekerja di tengah keruwetan Jakarta, bisa sesaat menyesapi dalam-dalam udara segar dan keluar dari kepenatan. Telepon pintar yang selalu digenggamannya merekam setiap sudut yang dilaluinya.”Membuka pagi yang sempurna,” ujar Dewi setengah berteriak dengan menengadahkan kedua tangannya lebar-lebar ke atas.

Tidak membuang waktu lama di puncak, mereka bergegas turun mendekati bibir telaga menyambut rekahan sinar matahari yang muncul dari balik bukit. Panorama Telaga Dringo yang dibentengi dinding bukit merupakan bekas kawah dari aktivitas vulkanik Gunung Dieng.

Dringo salah satu dari sejumlah telaga di Dataran Tinggi Dieng. Beberapa telaga lainnya telah menjadi tempat wisata utama di Dieng, seperti Telaga Warna, Telaga Menjer, dan Telaga Merdada. Dari air sejumlah telaga itu juga lahan kentang yang selama ini jadi komoditas utama pertanian bertumpu.

Dari Telaga Dringo, ada dua obyek wisata menanti dan menarik dikunjungi, yaitu Sumur Jalatunda dan Kawah Candradimuka. Selain obyek wisata, cerita legenda yang turut mengiringi tempat-tempat itu selalu menarik disimak, apalagi sejarah peradaban kawasan Dieng masa lampau.

Hangat sinar mentari pelan merayapi tubuh mengusir udara dingin yang menyergap. Sejumlah wisatawan yang sejak semalam bertenda, menyambut pagi dengan menyeruput kopi panas. Salah satu dari mereka menyempatkan berfoto dengan membawa sebuah papan bertuliskan ”My Trip My Adventure”.

Permukaan telaga yang tenang berkilau kuning emas mengepulkan kabut tipis menjadi pemandangan menghangatkan. Titik embun yang membeku menjadi butiran es di atas permukaan daun dan rumput pelan-pelan mencair. Warga menyebutnya mbun upas atau butiran es yang biasa merusak daun tanaman kentang ketika suhu di bawah nol derajat.

Promosi

Fenomena penggunaan media sosial dengan mengunggah perjalanan dan lokasi wisata memang menjadi sarana promosi ampuh, termasuk untuk Telaga Dringo. Hasilnya, Dataran Tinggi Dieng yang berada 1.700 meter di atas permukaan laut, dalam beberapa tahun ini, pun mulai banyak dikunjungi wisatawan.

Tumbuhnya industri pariwisata berdampak pada kesadaran warga sekitar untuk terlibat. Anak-anak muda yang sadar akan potensi wisata di daerahnya menawarkan jasa pemandu. Salah satunya Ophik, yang menawarkan jasanya ketika sedang tidak bekerja di ladang kentang.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Wisatawan membawa segelas kopi untuk menikmati pagi di tepi Telaga Dringo di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Ophik dan kawan-kawannya membuat sejumlah trip perjalanan melihat matahari terbit di sejumlah titik perbukitan. Mereka manawarkan jasa mengantar wisatawan ke tempat yang tak biasa dikunjungi atau lokasi baru di luar obyek wisata utama.

Upah bergantung pada tujuan dan jarak tempuh. Misalnya, paket pendakian di Gunung Prau, Rp 100.000-Rp 200.000. ”Dringo mulai saya tawarkan dengan promosi telaga yang seindah Ranu Kumbolo (di Pegunungan Tengger di lereng Gunung Semeru, Jawa Timur) agar wisatawan penasaran,” katanya sambil terkekeh. Fenomena mbun upas yang biasa terjadi pada Juli-Agustus juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

Warga lainnya pun kecipratan rezeki dari menyewakan rumah mereka yang dijadikan penginapan murah. Salah satu contoh, Budi, petani kentang, yang merenovasi sejumlah kamar di rumahnya untuk disewakan.

”Pada awalnya tak saya sewakan, tetapi banyak yang datang dan ingin menyewa. Ya sudah, rezeki,” kata Budi. Tarifnya sekitar Rp 150.000 hingga Rp 250.000 per orang semalam. Para tamu yang menginap pun disambut hangat seperti keluarga.

Agenda budaya yang digelar setiap tahun dan disebarkan melalui jejaring media sosial menjadi magnet yang mampu menarik wisatawan dari sejumlah kota besar untuk datang. Penyelenggaraan pentas musik jazz pada malam hari menjadi sensasi tersendiri bagi kaum urban yang menggigil kedinginan diterpa hawa pegunungan.

Puncaknya saat acara Dieng Culture Festival 2015, 31 Juli-2 Agustus, sekitar 45.000 pengunjung hadir. Penginapan dan hotel telah habis dipesan beberapa bulan sebelumnya, dan sebagian pengunjung mencari penginapan ke rumah warga.

Saat pembukaan Dieng Culture Festival 2015, Gubernur Ganjar Pranowo menyambut positif festival tahunan itu sebagai bentuk promosi wisata. Dia berharap pemerintah daerah yang menaungi dua wilayah di Dieng, yaitu Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, dapat bersinergi untuk memajukan industri wisatanya.

Pengamatan Kompas, minimnya fasilitas penunjang, seperti tempat sampah dan toilet di Telaga Dringo, menjadi sebuah potret pengelolaan tempat wisata itu belum digarap serius. (P Raditya Mahendra Yasa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com