Debu membubung tinggi mengaburkan pandangan ketika kuda-kuda itu berlari seperti dikejar singa. Ribuan penonton malah merangsek ke tengah lintasan pacuan tak takut kuda-kuda itu kapan saja dapat menendang mereka. Sebagian lagi berdiri berimpit pada pagar lintasan pacu. Di belakang sana, ribuan penonton lain memicingkan mata menahan terik matahari sembari meneriakkan nama-nama kuda jagoannya.
”Agung Kelana... Satria Lut Tawar… Kala Berkune…,” teriak penonton bersahutan di arena pacuan kuda Belang Bebangka, Takengon, Aceh Tengah, pertengahan Agustus.
Sebagian besar penonton dari Aceh Tengah. Ada juga penonton berangkat dari Bener Meriah yang berjarak sekitar 43 kilometer dari Takengon. Tak sedikit juga yang meninggalkan rumahnya di Gayo Lues, 136 kilometer dari Takengon.
Penonton datang atas inisiatif sendiri, tetapi pemilik kuda yang mengajak serta mereka. Sebutlah Abdurrahman Hasan (63), saudagar kopi yang memboyong sekitar 35 orang sebagai penonton sekaligus pendukung saat kudanya, Jaguar Kilat Bukit, berpacu. Ketika kuda seharga Rp 70 juta itu memasuki arena, pendukung Jaguar langsung bergemuruh meneriakkan namanya.
”Saya juga menyediakan makan mereka. Selama tujuh hari ini habis sekitar Rp 15 juta. Uang tidak menjadi masalah yang penting saya dan warga bahagia,” kata Pak Ecek yang pernah 20 tahun menjadi Kepala Desa Bukit Sama, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah.
Zaini (38), pemilik kuda dari Bener Meriah, siang itu bersantap bersama dengan 25 keluarga dan tetangganya yang sengaja dia bawa serta menonton pacu kuda. Mereka lahap menyantap nasi yang masih mengepulkan asap, dipuncaki sayur nangka dan ikan asin itu.
”Makan begini saja sudah enak sekali, apalagi kalau kuda kami menang,” kata Zaini yang lima kudanya menjuarai pacuan.
Pacu kuda tradisional Gayo bukan untuk berburu hadiah, tetapi lebih pada marwah atau kehormatan. Sebab, biaya mengurus kuda jauh lebih besar daripada hadiah yang diperebutkan. Dalam sebulan, biaya makan dan vitamin seekor kuda tak kurang dari Rp 3 juta. Adapun hadiah untuk juara pertama Rp 6 juta, hanya cukup untuk dua bulan makan kuda.
”Bagi saya, kuda itu penghilang penat dan stres. Pikiran plong saat melihat kuda lincah dan sehat. Saya tidak pernah sakit serius setelah serius hobi merawat kuda. Rasa gembira saat kuda menang itu juga menyehatkan. Asal kalau kuda kalah jangan terlalu dipikir. Siapa tahu besok lagi, menang,” kata Pak Ecek yang setiap pagi selalu berjalan bersama kudanya keliling kampung selama sejam sampai satu setengah jam.
Sejarah
Kuda menjadi salah satu hewan paling kuat dan lincah yang pernah dimiliki masyarakat Gayo. Semula, kuda mereka gunakan mengangkut barang atau untuk membajak sawah. Saat panen raya, banyak kuda digerakkan ke sawah untuk mengangkut padi. Anak-anak biasa memanfaatkannya untuk berlatih menunggang kuda. Hingga akhir 1990-an, masih banyak petani menggunakan tenaga kuda untuk membajak sawah ataupun mengangkut padi.
Muhammad Samdi (71), petani Desa Uning Pegantungen, Kecamatan Bies, Aceh Tengah, menceritakan, memasuki tahun 2000, banyak petani beralih ke traktor karena ternyata jauh lebih kuat dan cepat membajak sawah. Saat ini, hampir tak ada lagi petani memakai tenaga kuda di sawah. Kuda hanya menjadi hewan dalam pacuan.
Sumber lain, setidaknya seperti dikatakan Piet Rusdi dalam Pacu Kude: Permainan Tradisional di Dataran Tinggi Gayo (2011), acara ini bermula dari kebiasaan sekelompok anak muda yang iseng menangkap kuda menggunakan sarung di sekitar Danau Lut Tawar. Kala itu banyak kuda digembalakan di sana. Mereka lalu memacunya. Kelompok pemuda dari satu desa sering bertemu dengan pemuda dari desa lain yang akhirnya berlomba memacu kuda tanpa sepengetahuan pemiliknya. Lama-lama keisengan itu menjadi tradisi tahunan yang digelar di kampung masing-masing. Tahun 1850, pacu kuda sudah tenar di sekitar Danau Lut Tawar
Antusiasme warga dalam lomba pacu kuda menarik perhatian Pemerintah Belanda yang kemudian menggelar pacuan kuda di Belang Kolak, Takengon, pada 1912. Acara ini dilakukan berbarengan dengan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina. Belanda memberi pakan kuda, piagam, dan sejumlah uang sebagai hadiah. Tradisi ini kemudian berkembang hingga sekarang. Pacu kuda dilakukan setiap memperingati hari kemerdekaan RI pada 17 Agustus atau ulang tahun Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Jika dulu hanya menggunakan kuda lokal Gayo, kini banyak kuda Australia atau peranakan Australia-Gayo (Astaga).
Tujuh hari
Acara ini digelar selama tujuh hari berturut-turut dan gratis. Semua warga dari tiga kabupaten tersebut tumpah ruah di dalam arena seluas 10 hektar di Belang Bebangka, Aceh Tengah. Jumlah penonton di awal-awal pertandingan hanya 3.000 orang. Namun, pada dua hari terakhir, yakni babak semifinal dan final, jumlah penonton meningkat hingga tiga kali lipat.
Menonton pacuan kuda adalah piknik. Selain kumpul keluarga, mereka bertemu teman lama. Bahkan, ada yang bertemu jodoh di sana. ”Ini asyiknya menonton pacu kude. Bisa berkumpul keluarga. Makan bersama. Lupakan dulu kerja,” kata Junaidi (65) yang saat itu datang bersama tujuh anggota keluarganya dari Kabupaten Gayo Lues.
Jika tak sempat membawa makanan, penonton mencari makan di sekitar arena pacu kuda. Warung-warung itu menyediakan berbagai makanan khas Aceh, Padang, hingga Mandailing. Juga tersedia pakaian yang dijual pedagang dari Medan. Selain makanan dan pakaian, penonton dapat membawa anaknya bermain di berbagai wahana yang mengepung arena pacu kuda. Arena pacu kuda seolah berubah menjadi taman bermain raksasa.
Pemandangan jamak di sela-sela penonton adalah lembar-lembar rupiah yang berpindah tangan. Penonton usia belasan tahun sampai lima puluhan tahun ikut bertaruh untuk kuda-kuda yang mereka jagokan. Nilai taruhan mulai Rp 10.000 sampai jutaan rupiah. Mereka secara terbuka menata uang dan mencatat masing- masing kuda yang dijagokan.
Taruhan ini tak kenal kelas sosial dan ekonomi. ”Soal judi itu semua sudah tahu. Selesai pacuan ada yang bisa beli mobil baru karena menang taruhan juga biasa,” kata seorang pemilik kuda yang ikut dalam pacuan.
Badi Silat menjelaskan, sejak dulu taruhan dalam pacuan kuda menjadi pemandangan biasa. ”Hanya saat ini saja. Sebelum dan sesudah pacuan kuda, itu (judi) enggak ada lagi. Dari zaman Belanda sudah ada.”
Orientalis dari Belanda, C Snouck Hurgronje, pada tahun 1903 lewat buku Het Gajoland en zijne Bewoners menceritakan, orang Gayo kerap berjudi di jambur (sejenis pendapa atau tempat pertemuan warga). Biasanya mereka judi untuk sabung ayam. Di Gayo Lues biasa dilakukan pada pagi hari, sementara di daerah Danau Lut Tawar pada malam hari.
Itu mungkin hanya efek samping kegembiraan rakyat. Yang utama, mereka bahagia berpesta di antara deru kaki-kaki kuda. (Mohammad Hilmi Faiq)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2015, di halaman 24 dengan judul "Pesta Di Tengah Deru Kaki Kuda".
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.